Teori Prasangka

Sabtu, 27 Desember 2008

Oleh Politik News

Apa Itu Prasangka?
Definisi klasik prasangka pertama kali diperkenalkan oleh psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport, yang menulis konsep itu dalam bukunya, The Nature of Prejudice in 1954. Istilah itu berasal dari kata praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu.
Lanjut Allport, “Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau generalisasi yang tidak luwes. Antipati itu dapat dirasakan atau dinyatakan. Antipati bisa langsung ditujukan kepada kelompok atau individu dari kelompok tertentu. “Kata kunci dari definisi Allport adalah”antipati”, yang oleh Webster’s Dictionary disebut sebagai “perasaan negatif”. Allport memang sangat menekankan bahwa antipati bukan sekedar antipati pribadi, melainkan antipati kelompok.
Johnson (1986) mengatakan, prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotip kita tentang anggota atau kelompok tertentu. Seperti halnya sikap, prasangka meliputi keyakinan untuk mengambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan. Prasangka yang berbasis ras kita sebut rasisme, sedangkan yang berdasarkan etnik kita sebut etnisisme.
Menurut Jones (1986), prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara mengeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Kesalahan itu mungkin saja diungkapkan secara langsung kepada orang yang menjadi anggota kelompok tertentu. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompok sendiri.
Effendy (1981), sebagaimana dikutip Liliweri (2001), mengemukakan bahwa prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi kegiatan komunikasi, karena orang yang berprasangka belum apa- apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar syakwasangka, tanpa menggunakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, sekali prasangka itu sudah mencekam, orang tidak akan dapat berpikir objektif, dan segala apa yang dilihatnya selalu akan dinilai secara negatif.
Kata Allport, prasangka negatif terhadap etnik merupakan sikap antipati yang dilandasi oleh kekeliruan atau generalisasi yang tidak fleksibel, hanya karena perasaan tertentu dan pengalaman yang salah. Karena itu, menurut Allport, sejak dulu sampai sekarang, pengertian prasangka telah mengalamai transformasi. Pada mulanya, prasangka merupakan pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tak teruji terlebih dulu. Pernyataan itu bergerak pada skala kontinum,seperti suka/tidak suka atau mendukung /tidak mendukung terhadap sifat-sifat tertentu. Sekarang,pengertian prasangka lebih diarahkan pada pandangan emosional dan negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang dibandingkan dengan kelompok sendiri.
Definisi allport ini disanggah oleh para psikolog,yang mengatakan bahwa prasangka selalu berkaitan dengan emosi atau perasaan dan kelakuan personal. Perdebatan ini,dimasa lalu,pernah mengundang diskusi sengit antara Theodore Allport/Thomas Pettigrew (dosen Universitas Harvard),mengenai apakah prasangka merupakan prasangka personal atau kelompok. Menurut Alpport,ada dua aspek penting yang terkandung dalam konsep prasangka, yakni sikap terhadap seseorang/sekelompok orang, dan kategori sekelompok orang yang menjadi sasaran.
Adorno, yang kelak melahirkan teori authoritarian personality, mengemukakan kesimpulannya melalui riset atas pola-pola rasisme yang dilakukan diwilayah selatan As. Ia menemukan bahwa pola-pola rasisme muncul dari kepribadian otoriter, karena kenyataannya orang egaliter yang dinilai baik juga menerima segresi antarras. Jadi, pada dasarnya, secara umum prasangka merupakan salah satu tipe kepribadian. Dengan demikian, kata Adorno, kita tak perlu mempermasalahkan tindakan rasisme karen atindakan itu muncul dari prejudiced person atau racists yang diwarisi dari proses sosialisasi (prejudice is caught not taught). Adorno melihat bahwa tidak ada dua kasus prasangka sosial yang dinilai sama oleh orang-orang yang berbeda, sehingga dia berkesimpulan bahwa prasangka sangat tergantung dari cara suatu isu diinternalisasi dalam inti pikiran seseorang.
Dari beberapa pengertian di atas, kita dapat menyatakan bahwa prasangka mengandung sikap, pikiran, keyakinan, kepercayaan, dan bukan tindakan. Jadi, prasangka tetap ada di pikiran, sedangkan diskriminasi mengarah ketindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi tindakan nyata, ia berubah menjadi diskriminasi, yakni tindakan menyingkirkan status dan peran sekelompok orang dari hubungan, pergaulan, seta komunikasi antar manusia. Misalnya, dengan cara mengurangi pesan dan fungsi, memisahkan tempat tinggal, mengadakan perpindahan penduduk (migrasi, emigrasi, imigrasi), resettlement, dan lain sebagainya. (Lihat uraian diskriminasi sebagai bentuk prasangka).
Prasangka sebagai bagian dari sikap itu dapat dilihat sebagai konstruk dalam beberapa riset berikut. Sebuah riset yang pernah dilakukan oleh Allport menunjukan, kemungkinan relasi langsung antara prasangka rasial dengan konsentrasi orang kulit hitam mengisyaratkan bahwa selalu ada ancaman dari orang kulit hitam terhadap kulit putih lantaran jabatan sosial dan status sosial. Peneliti ini mendukung asumsi yang pernah diajukan oleh Pettigrew (1958, 1959), bahwa sikap inti-kulit hitam sangat tinggi di wilayah AS dan cenderung meningkat.
Giles (1977) menemukan bahwa hubungan langsung antara konsentrasi kulit hitam diikuti oleh kekerasan terhadap kulit hitam. Namun, hubungan itu hanya berlaku di AS selatan, bukan diutara. Blalock (1967) merumuskan seperangkat proposisi tentang meningkatnya sikap anti kulit hitam dan diskriminasi terhadap orang kulit hitam. Mereka mempostulatkan bahwa derajat mobilisasi orang kulit putih untuk menahan laju orang kulit hitam hanya bisa terjadi kalau ada peningkatan jumlah orang kulit hitam yang mendapat jabatan. Giles dan Evans (1986) juga menjelaskan bahwa hubungan kedua belah pihak berubah tidak toleran sekitar pelaksanaan pemilu tahun 1972.
Penelitian lain dari Allport berkaitan dengan hubungan antaretnik dan sikap etnik, yang kelak menemukan hipotesis kontak antaretnik dan antarras (Allport, 1954; Amir, 1969, 1976, Cook, 1985; Hewstone dan Brown, 1986). Hipotesis kontak mengatakan bahwa di bawah kondisi tertentu, kalau status para partisipan seimbang dan hubungan kerja sama dengan teman dilaksanakan secara potensial, maka kontak dengan anggota kelompok dapat dilakukan secara positif. Hipotesis kontak ini konsisten dengan hipotesis mere exposure yang ditampilkan oleh Zajonc (1968). Hipotesis ini mengatakan, jika kita mengurangi terpaan informasi terhadap orang lain, ini akan menghasilkan sikap positif. Sesuai dengan hipotesis kontak dan hipotesis terpaan (mere axposure hypotheses), maka sikap positif dapat dibentuk kalau ada keseimbangan peran diantara kelompok-kelompok yang berbeda.
Secara umum, kita dapat melihat bahwa prasangka mengandung tiga tipe: afektif (berkaitan dengan perasaan yang negatif), kognitif (selalu berpikir tentang sebuah stereotip) dan behavional (tindakan dalam bentuk diskriminasi). Secara umum dapat pula disimpulkan bahwa prasangka antarras atau antaretnik merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada kelompok antarras atau antaretnik tertentu dan difokuskan pada ciri-ciri negatif. Sikap demikian bisa dikatakan menghambat hubungan antarras dan etnik, antara kelompok dominan dan subordinan, antara kelompok superior dan inferior, antara kelompok luar dan kelompok dalam, antara strata atas dan stara bawah.


3. Sebab-sebab prasangka
Prasangka antarras dan antaretnik, meski didasarkan pada generalisasi yang keliru pada perasaan, berasal dari sebab-sebab tertentu. Jhonson (1986) mengemukakan, prasangka itu di sebabkan oleh (1) menggambarkan perbedaan antarkelompok; (2) nilai-nilai budaya yang dimiliki kelompok mayoritas sangat menguasai kelompok etnik dan ras yang merasa superior sehingga menjadikan etnik atau ras lain inferior.
Zastrow (1989) mengemukakan bahwa prasangka bersumber dari (1) proyeksi (upaya mempertahankan ciri kelompok etnik/ras secara berlebihan); (2) frustasi, agresi, kekecewaan yang mengarah pada sikap menentang; (3) ketidaksamaan dan kerendahdirian; (4) kesewenang-wenangan; (5) alasan historis; (6) persaingan yang tidak sehat dan menjerumus kedalam eksploitasi; (7) cara-cara sosialisasi yang berlebihan; dan (8) cara memandang kelompok lain dengan pandangan sinis.
Gundykunst (1991), mengutip van Dijk, mengatakan bahwa prasangka bersumber dari timbulnya kesadaran terhadap sasaran prasangka (ras atau etnik lain), yakni kesadaran bahwa (1) mereka (ras/etnik) adalah kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan seta mental-kesadaran “kami” versus “mereka”; (2) kelompok etnik atau ras lain tidak mampu beradaptasi; (3) kelompok etnik atau ras lain selalu terlibat dalam tindakan negatif (penganiayaan, kriminalitas); dan (4) kehadiran kelompok etnik atau ras lain dapat mengancam stabilitas sosial dan ekonomi.
Sejak lama, sosiolog Robert K. Merton (1949, 1976) meneliti tentang prasangka dan kriminalitas. Ia pernah mengemukakan hasil penelitian tentang hubungan antara sikap dan prilaku negatif yang diarahkan kepada sekelompok orang. Ia lalu menemukan empat kategori tipe manusia: (1) orang yang tidak berprasangka dan tidak diskriminatif; (2) orang yang tidak berprasangka namun diskriminatif; (3) orang yang berprasangka namun tidak diskriminatif; dan (4) orang yang berprasangka dan diskriminatif.

0 komentar: