Sabtu, 27 Desember 2008
Oleh PolitikNews
Antropologi di Asia Tenggara telah dikaitkan dengan isu-isu etnisitas dan pembetukan dan perubahan identitas budaya. Walaupun masalah-masalah tentang definisi satuan etnis telah juga ditunjukkan oleh para antropolog dari belahan dunia lain , adalah di Asia Tenggara dimana penelitian telah banyak dilakukan. Pada bab 1 kita membahas tentang kesulitan-kesulitan pendefinisian Asia Tenggara sebagai satu wilayah besar karena wilayah ini ditandai dengan perbedaan etnis, hubungan dengan pihak luar, dan meningkatnya perbedaan kultural dari waktu ke waktu, dan telah disarankan dalam tinjauan antropologi kolonial bahwa kompleksitas ini memberikan sebuah laboratorium yang idela bagi teori tentang evolusi sosial dan difusi budaya . Wilayah ini kemudian, bercirikan etnolinguistik dan dan variasi budaya, khususnya di daerah pedalaman dan dataran tinggi dimana para penduduk minoritas tinggal, menyediakan sebuah arena dimana akan terjadi percampuran kelompok etnis, perubahan identitas dan berbagai kriteria yang digunakan untuk menggambarkan pengelompokkan yang sering tidak tepat atau mendemonstrasikan diskontinuitas untuk memberikan batasan-batasan etnis yang jelas. Bab ini menguji permasalahan yang telah ditunjukkan para antropolog dalam memberi batasan pada satuan etnis sebagai analisis dan cara dimana identitas dan budaya dibangun , ditetapkan dan dirubah. Juga mempertimbangkan tentang kritik terhadap konsep Furnivall tentang masyarakat plural yang diambil dari beberapa contoh dari Burma dan Malaysia; isu-isu disekitar ‘pelabelan’ etnis di Borneo dan konsep ‘masyarakat Brunei’ ; hubungan antara pembentukan dan pembentukan kembali identitas dalam kontek pembangunan pariwisata budaya di Bali dan Tana Toraja; dan studi tentang interaksi antara budaya nasional dan minoritas di Indonesia yang merujuk pada masyarakat Dayak Meratus, Bemun Aru dan Minangkabau.
Kata Pengantar
Percobaan untuk menerapkan definisi cross-kulutral pada identifikasi satuan etnis di Asia Tenggapa biasanya mengalami kegagalan; contohnya, denifisi unum Naroll tentang sebuah ‘kultunit’ atau ‘ satuan pembawa budaya’ sebagai ‘Masyarakat yang berbahasa setempat dari sebuah bahasa yang umum dan yang berada pada negara atau kelompok yng sama’ 91964 : 283-284; 1968) telah dikritik oleh para antropolog seperti Moerman, dalam studinya tentng mosaik etnoloinguistik di Thailand Utara dan khususnya pada permasalahan demarkasi populasi penduduk Lue di daerah itu (1965, 1968b). Moerman membantah bahwa percobaan untuk memformulasikan sebuah definisi cross-kultural yang konsisten dan jelas untuk tujuan perbandingan gagal dalam menunjukkan kesulitan-kesulitan dalam menggambarkan batasan yang jelas disekitar satuan etnis, seringkali mengabaikan keadaan lokal, dan tidak memperhatikan apa yang telah ditekankan oleh sebuah kolektivitas yang diberikan suatu masyarakat dalam mendefinisikan dirinya terhadap pihak luar. Disini Moerman memberikan perhatian pada perbedaan antara definisi yang dibentuk oleh orang luar dan diasumsikan sebagai sesuatu yang ‘objektif’ , dan juga disebut sebagai definis ‘subjektif’ atau ‘folk model’ dari sebuah objek studi (Moerman , 1965: 1215-1216,1221). Berhubungan dengan ini, Narata memperingatkan bahwa ‘ ilmuan sosial harus lebih sensitif terhadap apa yang subjek mereka anggap sebagai sesuatu yang berarti dan kelompok rujukan , dari pada memaksana taksonomi barat yang artinya, bahkan bagi masyarakat Barat sendiri, sering tidak jelas (1975a: 3).
Pada bab 1 dan 2 kita juga merujuk secara singkat pada konsep masyarakat plural yang dibuat oleh J.S. Furnivall dalam studinya mengenai ekonomi politik dari kolonial Burma dan Indonesia. Furnivall adalah salah satu akademisi pertama yang mencoba untuk membuat sebuah kerangka kerja analitis untuk pemahaman kompleksitas etnis pada suatu wilayah, dan untuk memfokuskan pada konsekuwensi sosial ekonomi dari migrasi ekonomi msyarakat Cina dan India kedalam daerah jajahan Barat. Apa yang ia tekankan adalah sebuah pasar sebagai tempat pertemuan dari berbagai macam kelompok budaya yang berbeda dan keunggulan perdagangan yang pada saat yang sama berperan untuk memperkuat pembagian etnis dan menggambarkan ‘kasta ekonomi’. Negara-negara kolonial memberikan baik dalam kontek interaksi antara masyarakat imigran dan asli, dan artinya, melalui penggunan kekuatan politik, untuk menyokong sebuah masyarakat yang berbeda secara etnis. Dengan kata lain, diluar hubungan antara pasar dan kekuasaan, perbedaan budaya mempengaruhi aktifitas keagamaan, keluarga dan masyarakat setempat.
Seperti yang akan kita lihat, konsep-konsep pluralisme diperdebatkan dan direvisi pada studi pasca-perang di negara-negara merdeka baru di Asia Tenggara, khususnya di Malaysia dan Singapura dengan kelompok imigrannya yang banyak. Namun , dimensi lain tentang identitas mulai diperkenalkan dalam studi antropologi pasca-perang dan tidak menampakkan hubungan antara masyarakat imigran Asia dan asli, tetapi antara masyarakat pesisir dan perbukitan, yang sebagian besar merupakan petani beras dan anggota dari sebuah peradaban besar serta stuktur negara di Asia Tenggara (Hindu, Budha, Islam dan Katolik Roma), dengan masyarakat pedalaman yang sebagian besar merupakan peladang, pemburu dan peraih. Dalam bentuk yang lazim dan sederhana , perbedaan di bentuk antara petani dataran lendah dan masyarakat dataean tinggi, dan hal ini disampaikan oleh Peter Kunstadter (1967) dalam hubungan antara penduduk pesisir dan dataran tinggi, dan secara spesifik , hubungan antara suku-suku, minoritas dan bangsa yang mengawali penandaan Asia Tenggara sebagai daerah dengan kompleksitas etnis yang membutuhkan perhatian khusus dan pengembangan konsep terhadap identitas kultural dan perbedaannya.
Seperti yang telah kita lihat pada bab 4, adalah para antropolog Eropa yang memfokuskan penelitiannya pada masyarakat perbukitan di daerah Asia Tenggara, terutama Edmund Leach dan F.K. Lehman, yang menekankan pada permasalahan dalam menggambarkan satuan ‘suku’, cara dimana interaksi penduduk upland dna lowland memperngaruhi pembentukan dan perubahan identitas , sifat-sifat permasalahan batasan budaya. Dalam periode pasca-perang, ada sebuah pergeseran pemikiran tentang pluralisme, dari sebuah pemikiran yang mengkhusukan pada struktur sisial yang dibentuk oleh kekuata kolonial dan seringkali diartikan sebagai kategori-kategori ‘rasial’, kepada konsep etnisitas atau identitas etnis. Konsep ini kemudian diuji pada fonomena nasionalime di Asia Tenggara, hubungan antara ‘komunitas’ sosial (Anderson, 1983, 1991) dan identitas pengelompokan etnis yang mencakupinya. Akhirnya, identitas, baik secara nasional dan sub-nasional, telah dipertimbangkan dalam kontek memproses globalisasi dan dari teori perspektif postmodern dan pasca kolonial; tujuan dalan hali ni adalah untuk memahami multikulturalisme, perubahan budaya dan marginalitas dan cara –cara dimana budaya ‘lain’ dibentuk dan dijalankan (Kahn, 1993, 1995; Permberton, 194; tsing , 1993).
Mungkin tidak bertepatan bahwa salah satu dari studi yang paling berpengaruh pasca-perang tentang asal dan penyebaran nasionalisme – Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1991) – muncul secara signifikan dari refleksi proses pembentukan identitas di Asia Tenggara ( ibid.: 116-133, 155-162, 163-185). Walaupun bekerja dalam bidang ilmu politik, Anderson juga memberikan perhatiannya pada hubungan baik antara politik dan budaya, dan penelitiannya mengenai budaya politik Indonesia, khususnya Jawa dan konsep kekuasaan telah menimbulkan ketertarikan diantara para antropolog, khususnya antropolog budaya Amerika. Perspektifnya pada sebuah negara sebagai ‘komunitas impian’ juga banyak diambil dari ‘semangat atropologi’ (ibid. : 5) dan berhubungan langsung dengan studi antropologi tentang kesukuan dan pembentukan identitas. Ia menguji akar budaya nasionalisme, arti dan nilai yang berhungan dengan kenegaraan, dan keiniginannya untuk menyelami bagaimana identitas , kepemilikan dan persaudaraan di ciptakan dan didukung sepanjang waktu, dan bagaimana batasa-batasan dibuat, dipelihara dan dirubah (ibid.:6-7). Pendeknya, Anderson melihat bagaimana rasa kebangsaan dipikirkan, ditimbulkan dan diberi arti, dan faktor utama serta proses kemunculannya; baginya ini semua adalah perkembangan percetakan dan penerbitan (‘kapitalisme-percetakan’) dan kreasei yang berhubungan, keistimewaan dan standarisasi dari bahasa –cetak ‘nasional’; kreasi satuan administratif dan penyatuannya melalui pasar dalam konteks ekspasi Eropal pembangunan kapitalisme , birokrasi national dan borjuis dan kepentingan dalam sebuah wilayah koloni. Contoh ekstrim dari sebuah pembentukan negara di Asia Tenggara adalah Laos, dan dapat dikira bahwa masyarakt Laos dataran rendah merupakan sebuah kelompok etnis yang terpisah yang mewakili keseluruhan bangsa Lao (Halpern, 1964), Evans memperlihatkan bahwa negara Laos modern terbentuk hanya karena pejajahan Perancis (1999:21). Tanpa intervensi bangsa Eropa, ‘hampir pasti daerah dataran rendah Laos mennjadi bagian dari Thailand, karena sesungguhnya populasi penduduk yang berada di Timur Laut Thailand adalah Lao, dan berbagai kelompok yang tinggal di daerah dataran tinggi mungkin menjadi bagian dari Vietnam’ (ibid 21).
Dalam bab ini kita akan menghadirkan sebuah pilihan studi dalam berbagai aspek identitas etnis dan sebagai mana di bab 5, dimana kita akan menmbahas hubungan ekonomi antara komunitas skala-kecil dengan sistem yang lebih luas dimana mereka adalah bagain dalam kontek transformasi pedesaan, kita akan mempertimbangkan perspektif dalam etnisitas dan hubungan komunitas lokal dengan negara dan proses-proses globalisasi , dan cara-cara bagaimana identitas dibentuk, didukung dan diubah, Kita juga ingin memberikan beberapa studi kasus tentang Indonesia dimana pembangunan pariwisata internasional telah mempengaruhi identitas etnis dan representasi nya. Studi indentitas etnis telah menjadi sebuah subjek yang ideal bagi para antropolog postmodern . Selanjutnya, antropolog telah mempertanyakan cara-cara bagaimana mereka merepresentasikan ‘perbedaaan budaya’ .
Dari apa yang telah kita katakan, adalah jelas bahwa konspe etnisitas, yang akan kita pakai disini, tumpang tindih dan telah digunakan mirip dengan konsep-konsep seperti ras, bangsa, identitas, komunitas, budaya , masyarakat, dan yang lainnya, dan juga seperti dalam situasi keanekaragaman etnis seperti konsep alternatif yakni multietnis, multirasial, multikultural, dan plural . Tentu saja, defenisi kamus sering mengaburkan arti ‘etnis’ dengan artian lain seperti ‘suku’, ‘kelompok ras’ atau ‘bangsa’; Nagata mengindikasikan istilah yang sering disalah artikan dan bersifat rancu dan kadang-kadang disamakan dengan ‘promordialisme’ (1975a: 2, 1979: 188-189) dalam, contohnya, tulisan Geertz (1963c) dimana ‘ kelompok plural’ diartikan sebagai loyalitas dasar yang berasal dari ikatan kekeluargaan, keturunan, ras dan tempat asal. Masalah dalam mengkonsentrasikan ‘pemberian dasar’ identitas adalah, seperta yang ditunjukkan oleh Dentan, mereka menterjemahkan hal tersebut dengan terlalu mudah kedalam gagasan etnisitas yang melihat kelompok etnis sebagai kelompok yang statis, homogen, ekslusif, dan terikat, dan membawa nilai budayanya sendiri (1976: 71ff). Kebalikannya, ketika kita mempelajari tentang etnisitas, kita memberikan perhatian kita terhadap proses dan faktor sosial dan budaya yag mengangkat persamaan dan perbedaan , dan cara bagaimana pengelompokan dalam masyarakat membangun, memelihara dan mengubah identitas budaya dan sosial mereka. Dalam proses pembentukan ini, pembatasan diciptakan untuk tujuan interaksi dan penghindaran sosial. Adalah dalam hubungan ini bahwa Lehman, melihat identitas atau kategori etnis adalah sebagai ‘peran’ dimana masyarakat mengambil dan memainkannya (1967: 106-107), dan Barth mengusulkan bahwa kelompk etis danapt dikonseptualiskan sebagai sebuah ‘tipe organisasi’ yang melibatkan proses ‘pengeluaran’ dan ‘penggabungan’ sosial dan pilihan oleh aktor itu sendiri yang dianggap sebagai proses pembentukan dan pembatasan identitas yang penting (1969:13-15).
Dalam pembahasan mengenai hubungan antara pemikiran indentitas dan hubungan sosial beberapa antropolog telah membuat perbedaan antara sebuah ‘kategori etnis’ dan ‘kelompok etnis’ (Rosseau , 1990). Nagata mengatakan , bahwa banyak ‘kelompok etnis’ dikenal sebagai kategori oleh para antropolog, yang mengalami transformasi secara periodik dan episodik menjadi pengelompokan berdasarkan tekanan isu dan kepentingan (1979: 203). Dalam keadaan tertentu, kemudian, tekanan populasi dan ketidak seimbangan demografi, atau kompetisi mendapatkan sumberdaya ekonomi dan kekuasaan politik, menyebabkan identitas etnis seringkali mengkristal dan pembatasannya menjadi semakin tajam.
Tidak ada artinya bahwa banyak atropolog yang telah mempelajari etnisitas tidak melihatnya ,sebagai sesuatu yang ideologis dan superstrukturalis, menyamarkan hubungan antar kelas, tetapi sebagai sebuah prinsip organisasti yang memiliki konsekwensi langsung terhadap mode kebiasaan dan interaksi. Namun, ada beberapa keadaan dimana perbedaan kelas sosial ditunjukkan sebagai perbedaan etnis dan budaya, atau etnisitas digunakan untuk menjelaskan hubungan politis dan sejarah (Rosseau , 1975:32-49). Dalam keadaan tertentu, indentitas etnis seringkali diciptakan oleh fungsionaris negara, dilakukan dan diperlihatkan kembali oleh pihak-pihak yang menggangap hal tersebut dapat menjaga dan memelihara dominasi negara (Kahn, 1993: 278-280; Tsing, 1993:5-37).
Identitas etnik adalah sebuah hal tentang identifikasi diri yang paling utama (Moerman, 1965; Dentan 1976: 75-76; Nagata, 1979), dan ini didasari pada asumsi tentang asal muasal; orang yang memiliki kategori etnikal yang sama mengklaim bahwa mereka berasal dari akar yang sama dan identitas mereka merupakan ‘pemberian’ dasar.; yang telah ditetapkan, dikokohkan dan tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini etnisitas menyerupai kategori antropologi ‘ikatan keluarga’ (termasuk keturunan) (King dan Wilder , 1982: 1-6). Dengan ikatan keluarga, etnisitas mengatur kesetiaan utama, keturunan diklaim dari nenek moyang yang sama dan sering menggunakan justifikasi biologis termasuk pertalian ‘darah’ atau sifat-sifat alami seperti layaknya pohon , yakni akar, tanah, dan cabang yang sama.
Seringkali di Asia Tenggara, ketika seseorang diminta untuk menidentifikasi dirinya, ia memebrikan identifikasi yang langsung, dimana baik secara natural dan kultural , bahwa ia adalah ‘seorang lelaki’, ‘perempuan’ atau ‘seseorang’; dengan kata lain , ia dan yang yang lainnya adalah manusia dan secara fisik berbagi ‘kemanusiaan’, dengan implikasi bahwa ‘orang lain’ yang berbeda dengan mereka , dalam beberapa hal lebih rendah dari manusia. Menariknya, istilah etnis yang dipakai oleh mayoritas masyarakat penduduk dataran rendah sampai ke pedalaman dan pegunungan diartikan sama dalam penggunaannya, namun seringkali memiliki konotasi peyoratif, dan memiliki arti yang sama dengan ‘barbar’, ‘budak’ , atau ‘orang gunung’.
Asal muasal masyarakat dapat diekspresikan dalam artian mereka memiliki tempat lahir yang sama dan berasal dari daerah yang sama pula. Lagi di Asia tenggara, orang dapat mengklaim bahwa ia berasal dari daerah yang sama, bahwa mereka datang dari ‘hulu’ atau ‘dari pantai’ atau ‘seberang lautan’ atau dari sebuah tempat seperti sungai atau gunung. Migrasi dan perpindahan boleh tidak memeberikan suatu identifikasi namun lebih kepada ketetapan fisik;identitas etnik dalam kasus ini diekspresikan dan ditegaskan dalam bentuk asal muasal, jika seseorang secara terus menerus menepati ‘suatu daerah’, dimana “Kita telah berada di sini sejak awal’. Patokan pada tempat juga sering diasosiasikan dengan sebuah habitat dan ekologi tertentu sehingga individu tertentu dapat mengidentifikasikan diri mereka atau diidentifikasi sebagai penduduk pantai, orang bukit/gunung, orang hutan, atau sebagai nelayan dan peladang. Sesungguhnya Barth menentang pernyataan bahwa keadaan ekologii ‘menandai dan melebih-lebihkan perbedaan’ (1969: 14), da sering kali menimbulkan sebuah perkembangan dan saling ketergantungan dalam perdagangan dan hubungan yang lainnya.
Etnisitas sesungguhnya dinyatakan sebagai produk dari masa lalu, mengungkap asal muasal yang sama, hubungan sosial dan berbagi nilai seperti bahasa dan agama. Bagaimanapun, dimensi identitas historis juga menunjukkan bahwa identitas seringkali diubah dan bisa didapatkan, dari pada ditetapkan, dan tudak diubah-ubah. Aspek‘melewati’ atau ‘melintasi’ batasan etnik adalah sesuatu hal yang didalami oleh Barth dalam tulisannya yang berjudul Ethnic Groups and Boundaries, membahas hal tersebut dari pada berfokus pada identitas kultural dan sosial dimana seseorang seharusnya menguji mekanisme pemeliharaan batasa-batasan dan bagaimana batasan tersebut tidak hanya di dilintasi tetapi juga dilangkahi. Barth membuat poin-poin penting bahwa identitas diciptakan, dipelihara, dan dirubah emlalui interaksi dan hubungan antara sesiapa yang dinyatakan sebagai ‘kita’ dan orang lain yang dinyatakan sebagai ‘mereka’ (ibid.:9-10). Dengan kata lain, etnisitas adalah relatif, dan kategori etnik, dan kelompok tidak berada dalam isolasi satu dengan yang lain. Nagata, dalam analisisnya tentang etnisitas di Malaysia, mengindikasikan bahwa, saat penelitiannya dilaksanakan, ia berpindah dari sebuah hal dengan ‘kelompok etnik’ kepada ‘sebuah keasyikan dengan batasan-batasan mereka sendiri’ (1979: 3). Seperti yang kita telah lihat pada bab 4, Leach, dalam studinya tentang Dataran Tinggi Burma, mendemonstrasikan bahwa identitas Kachin diciptakan dan diubah dalam hubungannya dengan masyarakat penghuni lembah Shan agar orang Kachin mendefinisikan dirinya sendiri dan didefinisikan sebagai ‘orang Shan yang lain’ . Selain itu, dalam studinya yang monumental tentang etnohistori masyarakat Dataran Tinggi Tengah Vietnam pada pertengahan 1970an (1982a, 1982b, 1993), Hickey membantah bahwa elit antar etnis yang berpendidikan adalah ‘sesuatu yang instrumental dalam mengangkat etnonasionalisme masyarakat dataran tinggi’ dan rasa etnisitas ‘montagnard’ dalam responnya terhadap tekanan dan meningkatnya interaksi denan masyarakat pesisir yang mendominasi negara (1982a: xvii). Leach juga memberikan bukti bahwa dalam beberapa waktu orang kachin telah ‘menjadi orang Shan’ melalui proses dengan masuk agama Budha dan asimilasi yang gradual, seringkali melalui perkawinan, dalam masyarakat Shan dan tergantung dari keadaan dimana orang Kachin menunjukkan identitas Kachin dan dilain waktu menjadi orang Shan. Perubahan dalam identitas etnik dapat juga melibatkan konversi individu ataupun kelompok atau keduanya. Kunstadter, dalam penelitiannya terhadap masyarakat perbukitan dan lembah (petani) di Timur laut Thailand, menyatakan bahwa selalu ada ada hubungan antara mereka dan sistem sosial yang tidak pernah secara tajam didefinisikan. Ia menambahkan bahwa ‘Mungkin kita sebagai antropolog menyalahkan ide bahwa ‘suku’ tersebut adalah unit yang di definisikan, dibatasi dan dipadukan.’ (1969:70). Proses paralel dapat dilihat dalam dunia Islam di Asia Tenggara dimana bekas masyarakat penyembah berhala yang telah masuk Islam dan dalam beberapa waktu mengubah seluruh identitas etnik mereka. Di Borneo contohnya, banyak orang yang sekarang dikenal sebagai ‘Melayu’ tidak memiliki nenek moyang Melayu dan dalam beberapa waktu masyarakat trasisional ini dapat diidentifikasikan dalam proses perubahan identitas mereka namun meneruskan kebiasaan lama mereka (sebelum masuk Islam) (King, 1993: 31ff,). Seringkali adalah identitas diri dari sebuah kelompok minoritas yang secara jelas diciptakan dalam hubungannya dengan kelompok mayoritas. Dalam hubungan ini, Dentan, dalam studinya tentang penduduk asli semenanjung Malaysia, memiliki pertanyaan yang menarik ‘Jika tidak ada orang Melayu, akan jadi apa orang Semai ?’ karena apa yang menyatukan orang Semai merasa bahwa mereka datang dari tempat dimana orang Melayu tinggal. Ia juga mengatakan bahwa perpindahan dan manipulasi identitas adalah biasa di Asia Tenggara, khususnya diantara masyarakat perbukitan. Tulisan penting yang dibuat oleh Nagata menyelidiki berbagai hubungan antara masyarakat Melayu yang secara politik dan budaya dominan di Malaysia dan menunjukkan bahwa bagi orang Melayu, dan juga pendatang Cina dan Idia, ‘identitas adalah bersifat kaku dari yang ditujukan pada ‘masyarakat tribal’ yang lebih dapat menyesuaikan dalam afiliasi etnis, dan lebih dapat menerima peran perpindahan etnis dan untuk membentuk indentitas mereka dalam hubungannya dengan kelompok yang lebih dominan (1975a: 4-10). Konversi agama dan perkawinan adalah dua mekanisme penting dalam perubahan identitas etnik. Yang lain adalah praktek adopsi anak antara kelompok etnis , asimilasi dengan mitra dan budak yang diambil dari masyarakat lain., masuknya kelompok asing dalam sturktur politik negara, perubahan aktifitas ekonomi, ketika masyarakat yang tadi nya nomaden mengadopsi sistem pertanian tetangganya. Seringkali beberapa proses tersebut terjadi secara bersamaan. Kahn menunjuk pada proses hubungan masyarakat di Asian tenggara dengan orang Barat dan berpengaruh pada ‘kontak budaya’ , ‘westernisasi’ dan ‘globalisasi’ (1993: 17-18, 22-23). Dalam hal ini, apa yang kita asumsikan sebagai penanda identitas tradisional oleh antropolog awal adalah merupakan penemuan atau ciptaan dari kolonialisme barat. Kita telah melihat pada bab 3 bagaimana lembaga kampung Thai adalah sebuah ciptaan administratif dan di Jawa berdasarkan studi Breman (1982) telah menunjukkan bahwa masyarakt kampung yang tertutup dibangun oleh Belanda untuk tujuan administrasi dan untuk memungkinkan pihak kolonial untuk menerapkan dan memelihara sistem pertanian di abad ke 19. Bagaimana pun, Kahn membantah bahwa kita seharusnya waspada terhadap perbedan yang belebihan terhadap tradisi yang diciptakan dan budaya yang asli karena semua tradisi diciptakan dalam konteks sosial dan historikal tertentu dan digunakan sebagai ‘yang asli’ oleh pembawanya, dan bahwa budaya tersebut bukan hany asekedar ciptaan orang luar karena masyarakat lokal juga secara aktif terlibat dalam penciptaan budaya mereka sendiri.
Pluralisme yang dipertimbangkan kembali
Dalam kontek Burma adalah para ilmuwan politik dan sejarah yang memakai dan merevisi konsep Furnivall tenang masyarakat plural. Dua diantaranya yang dikenal secara luas adalah Robert Taylor (1987 dalam studinya tentang Burma pada masa penjajahan dan pasca penjajahan dan hubungannya dengan masyarakat sipil, dan Michael Adas (1974) dalam penelitiannya tentang pembangunan ekonomi kolonial dan pertumbuhan industri beras di daerah Delta Irrawaddy dari pertengahan abad ke 19 . Kedua penulis menganggap konsep Furnivall berguna dalam memahami stuktur sosial Burma Inggris dan dalam penekanan cara-cara bagaimana sebuah masyarakat multietnis diciptakan dan diatur secara politik oleh pemerintahan kolonial dalam pencariannya untuk menciptakan kemakmuran’ (Taylor , 1987:68). Bagaimana pun, ada pemikiran yang mereka kritisi dimana Furnivall telah gagal untuk menunjukkan kompleksitas dari masyarakat yang plural. I atelah menunjukkan sebuah gambaran yang terlalu stagnan dari hubungan sosial (ibid.:79). Konsep masyarakat plural Frunivall terdii dari‘kelompok ras yang terpisah’ (Eropa, India, Cina dan Burma asli), pembagian yang kentara antara mereka bertepatan dengan adanya fungsi ekonomi yang terpisah; mereka dibagi secara budaya dan sosial, tanpa kehendak sosial dan politik yang sama; setuap kelompok adalah sebuah tingkatan orang-orang dan bukan sebuah kelompok yang organis dan terpadu; kebanyakan non-Burma adalah imigran bebas, penduduk sementara, yang daerah asalnya berada di tempat lain dan komitment terhadap daerah yang mereka tinggali sangat rendah; dan mereka hanya mencari keuntungan ekonomi, sehingga kehidupan sosial mereka tidak sempurna. Taylor, menunjukkan bahwa hubunagn antara etnisitas dan kelas sosial (atau fungsi ekonomi) lebih kompleks dibandingkan konsep Furnivall, dan hal ini bisa menjelaskan sifat-sifat hubungan antara kelompok yang berbeda (ibid.:123-147). Jauh dari homogen secara ekonomi, masyarakat dataran rrendah Burma membangun kelas masyarakat baru dibawah pemerintahan Inggris; yaitu masyarakat Burma kelas menengah yang merupakan pekerja kerah putih perkotaan yang utamanya bekerja dibidang administrasi publik dan terikat pada pemerintah kolonial. Pecahan lain dari masyarakat kelas menengah Burma adalah yang bermukim di pedesaan, sebagai pemilik lahan luas, rentenir, kreditor pertanian dan pedagang di pedesaan. Bagaimanapun, penduduk Burma adalah petani atau pemilik lahan, buruh tani dan tingkat ketidakpunyaan lahan dan proletarianisasi meningkat sejak industri beras menjadi sangat terikat dengan pasar dunia, dan tekanan penduduk akan lahan meningkat. Sejak pekerjaan semakin sulit untuk didapatkan, khususnya selama saat Depresi tahun 1930an, pekerja Burma pindah ke daerah perkotaan dan bersaing dengan pekerja India dalam bidang buruh pelabuhan, transportasi dan manufakturing. Orang India juga, kelasnya juga termasuk didalam proletariat perkotaan; tetapi sejak pertanian beras meningkat, pekerja India juga berpindah ke luar kota untuk mencari pekerjaan, dan mereka bersaing dengan para buruh tani Burma, namun seperti orang Cina, mereka bukanlah pekerja kerah putih, tetapi terkonsentrasi di bidang perdagangan dan industri di daerah perkotaan, rentenir India juga terlibat dalam pembiayaan industri beras disekitar ibukota dan daerah perkotaan lainnya. Taylor menunjukkan bahwa hal ini tidak bertepatan dengan kelas dan etnisitas (kasta ekonomi Furnivall) yang menjelaskan konflik antar etnik, tetapi lebih kepada kompetisi antara anggota kelompok etnik yang berbeda yang memiliki posisi kelas yang sama. Contohnya, konflik komunal yang terjadi di tahun 1930 di pelabuhan Rangoon antara pekerja Burma dan India yang bersaing dalam pekerjaan. Yang lebih penting lagi, Taylor membantah bahwa stuktur sosial ini diciptakan oleh sebuah negara kolonial yang mendukung sistem ekonomi laissez-faire tetapi memonopoli semua instrumen koersi,sanksi dan kontrol.
Ada juga menguji perubahan antar hubungan antara kelompok budaya yang berbeda dan mencatat bahwa apa yang menyebabkan hubungan simbiotik pada pertengahan abad ke 19 saat lahan melimpah dan harga beras pada pasar dunia meningkat, secara gradual berubah menjadi sebuah konfik hingga Perang Dunia Ke 2 saat populas dan jumlah pekerja meningkat, pasar beras tutup dan harga beras jatuh (1974: 104-106, 122-123, 166ff). Adas menyangkal bahwa masyarakat plural adalah bentuk organisasi sosial yang mudah goyah dan tidak stabil’ (ibid.:192), dan membutuhkan kontrol politik langsung dalam menjalankannya. Sekalipun begitu, ia menekankan bahwa ancaman kekuatan fisik oleh rezim otoriter bukanlah hanya berarti menjaga pembagian kelas. Anggota elit dari berbagai kelompok budaya non-Inggris masuk kedalam lingkungan orang-orang Inggris melalui pendidikan dan hukum Inggris, dan berbagai bidang ekonomi yang mendukung hubungan saling ketergantungan. Batasan antara kelompok yang berbeda tidaklah mudah ditembus seperti pada konsep Furnivall tentang puralisme; ada perkawinan, ‘kumpuk kebo’ antar etnik dan konversi agama yang meningkat kepada percampuran kelompok seperti Anglo-India dan Anglo-Burma (ibid.: 108). Seperti Taylor, Adas juga menekankan pembagian dalam berbagai kelompok budaya, khususnya pembagain kelas dan fakta bahwa kekerasan komunal Burma-India terjadi tidak pada semua level masyarakat, namun pada pekerja pertanian dan pelabuhan. Ia juga menarik perhatian pada pembagian budaya dalam kelompok yang berhubugan dengan pembagian kelas. Khususnya pada komunitas orang India, ada perpecahan antara Hindu dan kasta-kastanya, Muslim, Sikh dan jain (ibid.: 106), dan diantara penduduk asli Burma, istilah Furnivall, ‘orang Burma’ menyamarkan fakta bahwa selain penduduk lowland Burma yang beragama Budhasebagai mayoritas disini, ada juga orang Mons dan Arakan, dan beberapa minoritas – Karen, Chins, Kachin, Naga, Shan – yang mendiami lembah, bukit dan gunung sekitar daerah persawahan. Apa yang juga ia tunjukan adalah bahwa karakteristisasi petani Asia adalah pasif dan tidak merespon rangsangan pasar, seperti yang digambarkan dalam konsep Boeke tentang masyarakat ganda, adalah sebuah produk dari keadaan politik, sosial dan sejarah.Orang Burma, saat dihadapkan pada kesempatan untuk bertanam padi untuk kebutuhan pasar dan memperluas produksi, memiliki motif akan keuntungan, mencari barang-barang konsumen dengan kelincahannya dna menjadi terlibat dalam masyarakat yang mobile (ibid,:210-213). Adas juga mengindikasikan bahwa perbedaan budaya dalam masyarakat yang plural juga terwujud dalam istilah perbedaan rasial dan fisik, dan ke 4 kelopok ras berdasarkan stereotip yang digabungkan ke dalam aturan dan praktek administratif kolonial Inggris. Ke 4 kelompok ini dalam kenyataannya bukanlah dalam kelompok secara keseluruhan dalam artian bahwa mereka memberikan tempat berinteraksi dan komunikasi berbasiskan pembagian nilai, namun lebih kepada ketegori ideologi yang dipakai untuk tujuan administratif politis dan yang menyatakan hubunagn kelas, status dan kekuasaan serta asumsi tentang superioritas dan inferioritas rasial dan kecocokan dari perbedaan ras untuk kegiatan ekonomi yang berbeda dalam ekonomi kolonial.
Malaysia
konsep pluralisme digunakan dan dipertimabngkan secara luas dengan rujukan pada Malaysia, walau konsep tersebut juga sering tertukar dengan artian ras, hubungan etnis dan komunalisme. Ada literatur yang berkembang dalam pluralisme Malaysia untuk alasan yang jelas. Tidak dimana pun diwilayah ini, kecuali Singapura, ada banyak kelompok besar yang berasal dari imigrasi ke bekas jajahan Inggris tersebut dari luar Asia Tenggara. Baik di Malaysia dan Singapura, walaupun jumlah masyarakat India sangat banyak, adalah orang Cina yang menjadi komunitas terbesar. Di Singapura, orang Cina mencakup ¾ dari keseluruhan penduduk, sementara di Malaysia, lebih dari ¼ dari keseluruhan penduduk. Adalah antropolog Inggris Maurice Freedman yang merupakan salah satu peneliti pasca-perang yang meneliti tentang sejaran dan struktur komunitas Cina di Semenanjung Malaya dan Singapura. Dalam kondisi yang tidak aman selama Keadaan Darurat Malaya (1948 -1960), sebagai seorang antropolog yang ditugaskan oleh Colonial Social Science and Research Council diakhir 1940an untuk melaksanakan penelitian etnografik dasar di wilayah Inggris di Asia Tenggara, berkonsentrasi pada masyarakat Cina di Sigapura (1957, 1961, 1962). T’ien ju-K’ang juga melaksakan studi pada masyarakat Cina di Sarawak (1953). Bagaimanapun, tulisan Freedman tentang penciptaan masyarakat plural di Malaya (1960) menstimulasi refleksi tentang kepatutan konsep bagi pemahaman sturktur sosial Malaysia. Seperti halnya di Burma , identitas etnik diciptakan dalam negara kolonial Inggris. Ketiga kategori etnik level makro (kadang-kadang disebut sebagai ‘ras’) di Malaysai (Melayu, Cina dan India) merupakan istilah yang baru. Walaupun ada perbedaan budaya yang nyata antara masyarakat lokal dan imigran Asia, hal ini tidak mengkirstal kedalam kategori enik yang luas sampai muculnya organisasi politik dan politisasi etnisitas dalam dua dekade sebelum Perang Dunia ke II dan dalam perjalanan menuju kemerdakaan Federasi Malaya tahun 1957. Etnisitas menjadi sangat berhubungan dengan identitas politik dengan orang Melayu, Cina dan India membentuk partai-partai komunal dan berdasarkan etnik mereka sendiri (UMNO, Malaysian Chinese Association, dan Malaysian Indian Congress), dan perbedaan antara kategori-kategori ini ditunjukkan dalam bentuk ketidakseimbangan ekonomi, khususnya antara Cina dan Melayu, dan dalam istilah ‘hak istimewa’ orang Melayu sebagai orang pribumi/bumiputera dalam sektor pekerjaan publik, pendidikan dan bidang ekonomi umum. Nagata juga menunjukkan bahwa di daerah perkotaan Malaysia dimana ‘kategori etnik dan hubungannya telah menjadi sangat menyolok dan bermasalah’ (1979: 4), dan disinilah dimana seseorang menemukan contoh yang menarik tentang sebuah percobaan yang dilakukan oleh orang Melayu, dengan cirikhas pedesaan dan dasar pertanian mereka, untuk mendefinisikan identitas mereka sebagai orang Melayu perkotaan yang modern dan hidup dalam lingkungan multikultural (Kahn, 1997:118-119). Meskipun demikian, pembahasan kerangka kerja etnik mulai dibangun oleh Inggris sejak akhir abad ke 19 , dan melalui sensus , klasifikasi dan penstereotifan ada sebauh proses yang berlanjut dari rasionalisasi dan simplifikasi , membawa banyak pengelompokan etnis kedalam beberapa kategori etnis utama. Pemerintah kolonial juga memisahkan identitas etnik secara ekonomi dan administratif. Sultan Melayu dan keturunannya digabungkan kedalam sebuah sistem pemerintahan tak langsung dan masyarakat Melayu dibawa ke berbagai macam bidang administrasi, ke tentaraan dan kepolisian. Pemerintah Inggris menetapkan dan melindungi posisi masyarakat Melayu atas tanah sebagai petani karet dan padi skala kecil, sementara menyokong imigran Cina untuk menempati bidang perdagangan dan bisnis didaerah perkotaan yang diperlukan bagi ekonomi negara. Banyak orang Cina juga menjadi buruh di pertambangan tembaga, pertanian komersial, transportasi, manufaktur dan pelayanan publik. India, yang berasal dari India utara, datang dan berprofesi sebagai pedagang, rentenir dll. Pekerja Tamil yang berasal dari selatan India bekerja pada perkebunan karet, dan orang Sikh berprofesi sebagai tentara dan polisi. Batasan antara kelompok etnis semakin progresif kedatangan para pendatang baru yang secara ekonomi dan demografi mengancam keberadaan penduduk lokal. Imigrasi skala besar baik pria dan wanita di akhir masa penjajahan juga memberikan kesempatan bagi perkawinan dalam kelompok etnis daripada perkawinan antar kelompok etnis dan mendukung ‘kecukupan’ budaya khususny diantara orang Cina (Nagata , 1979: 30-31). Pemerintah kolonial sebagai penengah diantara kelompok etnis, dan dalam artian sebuah ideologi dalam perbedaan ras, sebuah sistem pemerintahan tak langsung , bertindak untuk memisahkan anggota-anggota dari berbagai macam kelompok satu dengan yang lain dan membawa mereka kedalam masyarakat yang plural (Nagata, 1975b:117-121). Kecocokan kelompok tertentu untuk suatu tugas dan pekerjaan tertentu dijelaskan dalam istilah karakteristik ‘bawaan’ ras atau nilai budaya ‘tradisional’, dimana konservatisme, fatalisme dan ketergantungan orang Melayu berhadapan dengan rasionalisme, keberanian mengambil resiko-isme, dan kemandirian-isme orang Cina (Nagata , 1979: 81-82). Kelompok minoritas lain di Semenanjung Malaya dan Borneo Inggris juga mengalami proses yang sama dalam rasionalisasi etnis; Keanekaragaman komunitas asli non-Melayu di Semenanjung disatukan melalui istilah ‘Orang Aseli’ dan dipisahkan secara administratif (Dentan, 1997 : 98-134) dan yang di Borneo secara gradual di satukan dengan label ‘Dayak’ (Winzeler, 1997: 1-29). Bagaimanapun, secara historis pembagian intra-etnis adalah penting, juka tidak lebih penting dari ketiga kategori utama diatas, dan bahkan saat ini pada tingkatan lokal, interaksi intra dan antar etnik terasa lebih komplek dan beraneka ragam dibanding pad tingkat nasional. Seperti yang kita lihat pada kasus di Burma , komunitas Indoa dibagi dalam bentuk agama, kasta, tempat asal di India, pekerjaan, kelas, bahasa dan cirikhas budaya lainnya. Melalui waktu yang panjang, administrator Inggris di Malaya dan Singapura cenderung tidak menyatukan ‘orang India’ bersama , namun membeda-bedakan mereka kedalam sub kelompk yaitu Tamil, Bengali, Gujarat, Sikh, Chulia (Muslim dari pantai Coromandel), Parsi (dari Bombay), Malayalis (dari Malabar) dan lainnya. Berkenaan dengan orang Cina ada pembagian budaya dan bahasa dalam masyarakat tersebut, contohnya Hokkien, Teochiu, Cantonese, Hakka, Hainan, dan Foochow, dan , sebagaimana Freedman, T’ien dan yang lainnya juga telah menunjukkan kecenderungan untuk membagi kelompok-kelompok dialek, dalam pekerjaan dan spesialisasi ekonomi tertentu. Kategori ‘Melayu’ juga memiliki perbedaan kelas dan status dan meliputi kelompok-kelompok sub-regional yang berbeda, yang telah lama berkembang di Semenanjung dan merupakan masyarakat migran seperti orang Jawa dan madura, Minangkabau dan Aceh dari Sumatra, Banjar dari Kalimantan dan Bugis dari Indonesia bagian Timur (Clammer 1986: 54ff). Definisi ‘Melayu’ dalam bentuk agama, bahasa dan adat istiadat, telah menajdi tetap dan diatur secara konstitusional. Pengelompokan melalui payung etnik lebih bermacam-macam dibandingkan dengan definisi secara politik, konstitusional, dan administratif yang ada (Nagata, 1979: 14). Sama seperti di Burma, ada juga masyarakat campuran di Malaysia yang berasal dari perkawinan campuran dan pertukaran budaya yang menyatukan batas-batas antar kelompok. Diantaranya adalah Peranakan atau Cina Baba, yang telah lama tinggal di Malaka dan Penang, dan yang mengkombinasikan elemen budaya Cina dan Melayu; orang Eurasia yang sebagaian besar merupakan keturunan campuran antara orang Portugis dan Melayu yang tinggal di Malaka; orang Jawi Peranakan atau Muslim India yang merupakan perpaduan India-Melayu dan India Baba atau Chitty Malaka yang merupakan keturunan India Hindu namun banyak menyerap budaya Melayu (Clammer, 1980,1986; Nagata, 1979:25-49).
Diantara para peneliti yang melakukan studi tentang hubungan etnis pra-1963 di Federasi Malaysia yang baru terbentuk dengan merujuk pada konsep pluralisme, Judith Nagata mungkin adalah peneliti yang paling terkemuka (1974, 1975b, 1979). Seperti komenator tentang pluralisme Burma, dia juga meneliti hubunagn antara etnisitas dan ketidaksamaan sosial, walau di bawah bendera stratifikasi, ia mempertimbangkan baik hubungan kelas dan sosial (1975b: 114-115,121-130; 1979:144-183). Ia melakukan penelitian lapangan di Georgetown, Penang dan kota kerajaan Melayu di Bintang , Kedah. Tidak seperti Taylor dan Adas, hal ini membawa perhatiannya pada perbedaan antara analisis ‘objektif’ perbedaan (kelas) dan subyektif (status, pangkat dan prestise) dan mempelajari bagaimana anggota kelompok etnik yang berbeda merasakan hirarki sosial. Hal ini membolehkannya untuk menunjukkan bahwa dalam bentuk obyektif ada hubungan kelas yang muncul yang memotong batasan etnik dalam negara Malaysia modern, walaupun orang Malaysia secara subyektif tidak merasakan masyarakatnya dalam istilah kelas. Malahan, mereka menunjukkan ‘perbedaan sosial dalam sebuah idiom etnik’, dan menekankan ada sifat plural dari masyarakatnya daripada sebuah kesadaran kelas antar-etnik. Untuk alasan ini Nagata memilih untuk menyebut kelas-kelas masyarakat yang baru muncul ini, yang meliputi bisnismen (pedagang, wiraswasta), profesional, pegawai negeri dan buruh (1975b: 130-133; 1979: 164 -172). Ketiga kelompok etnis tersebut (Melayu, India, Cina) memiliki sistem status kesukuan mereka sendiridan mereka memiliki persepsi yang berbeda terhadap keseluruhan stuktur sosial Malaysia. Dalam artian ini sebuah kelompok etnis juga berhubungan dengan sebuah evaluasi kehormatan dan gaya hidup ideal (1975b: 117). Lee juga menyangkal bahwa konflik antara kelompok etnik merupakan disebabkan oleh karakter dari konflik status dimana setiap kelompok ingin merendahkan yang lain dan memperkuat apa yang diyakininya sebagai cara pandang yang secara moral dibenarkan. (1986b: 29).
Sistem ststus internal Melayu secara tradisional berasal dari perbedaan antara sistem tingkatan sekuler yang menempatkan pihak kerajaan dan aristokrat pada tingkatan atas, dan hirarhi religius yang memberikan penghargaan tertinggi kepada orang-orang keturunan Arab dan/atau keturunan Nabi, dan kemudian pemimpin agama dan guru serta orang yang telah naik Haji (Nagata, 1979:147-150). Ada sebuah pengolonggan yang komplek terhadap posisi status, banyak diantara penyandangnya menyertakan titel khusus dan di tempatkan di kantor-kantor. Bagaimanapun, perbedaan yang besar terjadi antara penguasa (rajah) dan rakyat biasa. Dalam Malaysia modern, sistem status internal melayu tetap memberikan status tertingginya pada keluarga kerajaan dan para aristokrat dan kepada pemimpin tinggi agama. Dalam hal tingkatan status masyarakat Malaysia yang lebih luas, pegawai negeri senior memiliki posisi tertinggi yang kemudian diikuti oleh para pebisnis dan profesional, saat kelompok etnik lain dimasukkan, orang Cina ditempatkan diatas orang Melayu dan India. Nagata menyarankan agar orang Melayu tidak merasakan pengelompokan etnisnya sendiri atau masyarakat Malaysia yang lebih luas dalam bentuk kelas (1975b: 122-123). Mereka terlena dengan sistem tingkatan status yang terdiri dari urutan status yang berlanjut dan terpilih. Bagi orang Cina, status didasarkan pada kemakmuran , pekerjaan di daerah perkotaan dan pendidikan ala Inggris. Karena itulah, pebisnis memiliki prestise tertinggi diatas profesional dan pegawai politik dan pemerintah. Pekerjaan di daerah pedesaan ditempatkan pada skala terbawah. Menariknya, pihak kerajaan Melayu dan aristokratnya dianggap sebagai yang paling prestisius, walau ‘oleh mereka sendiri...hampir lepas dari masyarakat yang sesungguhnya’ (1975b: 124). Kemudian datanglah elit politik orang Melayu; orang Cina melihat dirinya tidak memiliki seorang elit tingkat nasional. Tingkatan yang paling bawah adalah para petani Melayu. Dengan sistem mereka sendiri, orang Cina cenderung menekankan pada hubungan marga, dialek dan daerah asal daripada perbedaan kelas (1979: 160). Diantara orang India, Nagata menyatakan bahea prinsip utama kategorisasi adalah afiliasi keagamaan yang diikuti oleh perbedaan daerha dan bahasa dari pada sebuah hirarki status orang India pada umumnya (ibid.: 162). Saat menanyakan secara spesifik tentang status, mereka menyatakan bahwa yang paling penting adalah kemakmuran , diikuti posisi profesional, kualifikasi dan bahasa Inggris. Pebisnis medapat kehormatan tertinggi yang diikuti oleh pegawai pemerintahan dan para profesional. Pada tatanan yang lebih luas,elit politik Melayu dan elit ekonomi Cina ditempatkan di atas masyarakat India yang dilihat pada tingkatan terbawah dari hirarki (1975b: 125).
Nagata menyimpulkan bahwa masyarakat Malaysia sedang bergerak dari..
Apa yang digambarkan sebagai tipe pluralisme Furnivallian dengan sistem tingkatan status yang berbeda untuk setiap bagian etnik kepada sebuah bentuk stratifikasi obyektif dimana adanya peningkatan kompetisi untuk status dan sumberdaya yang sama oleh seluruh anggota kelompk etnis. (ibid.: 133-134)
Kriteria tingkatan status yang sama – bidang politik dan pemerintahan, pekerjaan, bahasa Inggris, pendidikan tinggi dan kemakmuran melalui bisnis dan perdagangan – adalah awal untuk mengasumsikan pentingnya kesamaan antara garis etnis. Bagaimanapun, ‘pluralisme subyektif’ berlanjut untuk mengaburkan dan mengahlangi proses ini sehingga kelompok status dan pekerjaan dalam masyarakat Malaysia terpotong oleh persepsi intraetnik, aliansi dan relasi, daln dalam model msyarakat Malaysia ada kecenderungan untuk menempatkan kelompok etnis satu diatas yang lain. Perbedaan tidak dirasakan dalam bentuk perbedaan kelas meliankan dalam kepribadian (ibid.: 127). Dalam studi nya tentang 2 kota di Malaysia, Nagata menunjukkan bahwa hampir seluruh hubungan sosial adalah ‘berada dalam hirarki secara etnis, daripada melalui hubungan partai-partai politik etnis atau perkumpulan atau melalui ikatan nonformal dari pemimpin’, dan ‘kesetiaan probadi dan antipati, perlindungan dan konfrontasi, menyerap kejutan dari apa yang digeneralisasikan untuk sebuah bentuk konflik kelas (1979:143, 178). Akhirnya, Nagata mengajukan pertanyaan bagaimana rasa kebangsaan diciptakan dalam negara seperti Malaysia dari sebuah situasi perbedaan etnis, khususnya saat instrumen koersif dari pemerintahan kolonial menghilang. Ia mengindikasikan bahwa ada 4 arah yang mungkin dimana pemerintah Malaysia dapat merujuk dalam menciptakan persatuan nasioanl: (1) asimilasi kepada ke-Melayu-an; (2) Penciptan sebuah budaya hibrida Malaysia yang mencakup element-element yang berasal dari seluruh kelompok etnis yang berbeda; (3) Sebuah pengaturan pluralistik dimana seluruh komunitas memelihara perbedaan budayanya; (4) Asimilasi kepada budaya Barat yang ‘netral’ diatas identitas individu (ibid.: 219ff). Ia menunjukkan model plural sebagai situasi yang paling cocok dengan Malaysia, ada elemen pendekatan awal dalam mengistimewakan Bahsa Melayu dan simbol-simbol negara yang diambil dari budaya dan masyarakat Melayu (Islam sebagai agama negara, sultan sebagai kepala negara, lagu kebangsaan Melayu, layang-layang Melayu sebagai lambang airline negara), kedua , dalam presetasi dari identitas rakyat Malaysia secara umum (sejarah, masakan, pakaian, musik dan tarian) khususnya dalam promosi pariwisata dan keempat, dalam pengaruh pembangunan dan modernisasi bahasa yang merupakan bukti dalam meningkatnya Barat-nisasi dalam politik, birokrasi dan perdagangan. Bagaimanapun secara keseluruhan, Nagata melihat ‘mosaik’ pluralisme tetap dipelihara dan mendesak untuk melanjutkan pentingnya pemahaman tentang masyarakat Malaysia dalam hal hubungan antar etnisitas, kelas, status dan kekuasaan.
Etnisitas di Borneo Indonesia dan Brunei: identatas diri, penyebutan etnis dan sistem sosial
Mari kita membahas sebuah kasus permasalahan pelabelan etis di Borneo, dan masalah defenisi diri. Michael Moerman , dalam penelitiannya di Lue, Thailand Utara, memyangkal akan pentingnya indetitas diri dan penamaan diri dalam membatasi pengelompokan etnis, tetapi mengakui bahwa klasifikasi penduduk asli dan penamaan tidak akan memberikan bukti yang jelas tentang identifikasi satuan-satuan terpisah untuk penelitian (1965). Klasifikasi masyarakat asli, yang merupakan percobaan untuk membawa kepada hubungan sosial budaya yang dinamis dan komplek, seringkali membawa suatu kumpulan kategori dan penamaan etnis yang tumpang tindih dan bermasalah. Komunitas tetangga yang lain mungkin memiliki sistemklasifikasi yang lebih berbeda untuk menempatkan dan mendefiniskan dirinya dan tetangganya, dan hal ini biasanya melebar melewati konteks lokal dalam sebuah cara ad hoc untuk mencakupi komunitas lain yang jauh secara fisik dan budaya.; mereka juga mencakupi sebuah campuran kategori dan label yang diturunkan sendiri maupun secara eksternal yang tidak saling cocok bagi satu dengan yang lain. Beberapa unit boleh jadi dengan mudah didefinisikan dan secara jelas terikat dari pada yang lain. Masalah identifikasi etnik dan nomenklatur telah tampak secara luas dalam study etnografi masyarakat Borneo, dengan banyak prbedaan dan sering bertentangan skema klasifikasi antropologi yang diberikan. Rousseau memusatkan diri pada dilema ini dalam percobaannya untuk memahami hubungan antar kategori etnis dan hubungan sosial di Borneo. (1975, 1990). Ia mengatakan : Adalah sulit untuk menidentifikasi satuan-satuan etnis, karena kelompok yang bernama sama memiliki bahasa yang berbeda, sedangkan kelompok yang memiliki nama yang berbeda terlihat identik. Borneo Tengah tampil sebagai dalam bentuk papan catur satuan etnis yang terbagi-bagi secara acak melalui migrasi. Tidaklah mungkin untuk mengasumsikan secara jelas batasa-batasan antara pemburu-peraih dan swiddener karena mereka kadang-kadang berbahasa yang sama dam saling berhubungan dekat satu dengan yang lain. Pendekatan Rousseau adalah untuk mempersoalkan tentang ‘orang-orang yang menggunakan sebuah idiom kategori etnik untuk menjelaskan kenyataan politik’ (1975: 350). Sebuah contoh yang bagus adalah istilah ‘Dayak’, sebuah istilah peyoratif derivasi yang digunakan oleh para penghuni daerah pesisir untuk menyebut masyarakat pedalaman dan hulu sungai, dan kemudian diadopsi oleh pemerintah kolonial Inggris dan Belanda. Setelah kemerdekaan, istilah ini dipakai oleh elit politik masyarakat asli dan dipakai sebagai nama berbagai macam partai politik baik untuk membedakan masyarakat asli yang non Muslim-Melayu dari masyarakat Melayu yang dominan dalam politik, dan untuk menciptakan dan membangun kesadaran dan dukungan politik yang lebih luas (King, 2001a: 3). Islitah ‘iban’, yang saat ini diketahui secara baik dalam literatur antropologi Borneo, tidak diterima oleh masyarakat luas sampai saat ini. Komunitas tersebut tidak merasa dirinya dalam kategori etnis yang homogen dan terdefinisi secara eksplisit sampai pertengahan abad ke 19 saat keluarga Brooke, ‘raja putih’ Sarawak, membawa mereka kedalam sistem administrasi, hukum dan pendidikan yang lebih luas dan membangun komunikasi antara komunitas-komunitas yang terisolasi. Mereka mendapat dorongan setelah berakhirnya PD 2 saat masyarakat asli mulai memobilisasi diri secara politik sebagai respon pada pembentukan partai-partai Melayu dan Cina. Disebutkan bahwa istilah ‘iban’ berasal dari kata ‘ivan’ (yang berarti penggembara,pengelana), yang di populerkan oleh orang Kayan, bekas musuh yang kemudian menyebutnya ‘iban, merujuk pada perpindahan dan perburuan kepala secara agresif yang melanggar batas teritorial mereka pada pertengahan abad ke 19. Istilah ‘iban’ berangsur-angsur menggantikan istilah lokal yang dipakai oelh mereka sendiri dan bahkan istilah umum ‘Dayak Laut’ atau ‘Dayak’ yang dipakai oelh pemerintah kolonial Inggris (Wadley, 2000:86). Sebuah kasus menarik tentang defenisi etnik dan nomenklatur adalah pada orang ‘Maloh’ di hulu sungai Kapuas , Kalimantan Barat (King, 1985; istilah etnik ditempatkan dalam tanda kutip karena tidak diterima secara keseluruhan). Orang ‘Maloh’ bukanlah penduduk yang homogen secara budaya dengan batasan-batasan yang jelas, walaupun ada penandaan budaya yang mengizinkan kita untuk membedakan kelompok etnis di hulu sungai Kapuas dari kelompok yang lainnya. Bahasa ‘Maloh’ merupakan bahasa tersendiri di Borneo, walau penuturnya meminjam perbendaharaan kata dari bahasa lain seperti Iban dan Melayu; mereka memiliki keahlian khusus dibidang pengolahan perak dan emas yang merupakan sifat khusus dari kebudayaan Maloh, walaupun tidak lagi dipraktekkan secara luas; ada juga elemen budaya dan ritual dan nilai yang membuat mereka sebagai penanda batasan, walau orang Maloh telah menyerap banyak hal dari kelompok etnik lain sehingga beberapa pengamat telah menyatakan bahwa bentuk utama organisasi sosial orang Maloh berasal dari hubungan dan gabungan dengan/kedalam dunia polik dan budaya Muslim-Melayu (Thambun, 1996; Bernstein, 1997). Beberapa komunitas lain juga beralkulturasi dengan komunitas Iban. Yang menjadi problematika tentang orang‘Maloh’ adalah bahwa mereka adalah komunitas yang terbagi-bagi, minoritas yang secara historis bermukim di zona hubungan budaya antara Kayan, Iban dan komunitas yang berhubungan dengan Iban, dan daerah kekuasaan Melayu di sepanjang pantai dan sungai. Karena itu, ada semacam pertukaran budaya, perkawinan, konversi agama dan asimilasi di daerah ini. Secara internal, orang‘Maloh’ mengadopsi identitas-identitas yang berbeda tergantung dari situasi, tujuan, dan tingkat kekontrasan yang mereka inginkan dan hadapi. Selain dari identifikasi dengan nama komunitas, sungai dan kampung tertentu di sepanjang daerah tempat mereka tinggal, sebuah identitas yang lebih tinggi adalah yang dimana telah disebut sebagai ‘divisi’ atau sub-pengelompokan’ yang terdiri dari 3 : Embaloh (atau Tamambaloh), Taman (Kapuas) dan Kalis (king, 1985: 33-34).Ketiga divisi ini berdasar pada bahasa dan perbedaan budaya lainnya dan mereka menyebar secara geografi.
Kesulitan utama yang dihadapi oleh King selama penelitiannya diawal tahun 1970an adlah untuk memutuskan istilah etnis atau etnonim yang dipakai untuk menyebutkan orang-orang pedalaman Borneo ini karena hal tersebut tidak secara luas diterima (ibid.: 35). Literatur kolonial Belanda tentang Borneo merefleksikan pengamatan ini bahwa penulis Belanda biasanya menggunakan nama yang berdasarkan nama sungai dalam klasifikasi mereka terhadap populasi secara keseluruhan . Selain itu, masyarakat Embaloh/Tamambaloh menyatakan bahwa itu adalah istilah untuk divisi mereka yang seharusnya diperluas untuk mencakupi yang lain juga, sedangkan masyarakat Taman menyatakan bahwa setiap orang adalah Taman. Masyarakat Kalis, tidak menerima disebut sebagai Embaloh atau Taman. Ada juga perbedaan mitos asal dan cerita sejarah migrasi yang dipakai sebagai sesuatu yang mendukung klaim atas budaya dan sejarah. Daripada memilih salah satu nama , King memilih untuk menggunakan istilah ‘Maloh’ yang merupakan nama umum...yang digunakan oleh oran Iban yang merujuk pada masyarakat di hulu sungai Kapuas yang memiliki keahlian mengolah logam’ (ibid.: 35). Penamaan ini berasal dari nama ‘Embaloh’ sebuah sungai yang terdekat dengan pemukiman Iban disekitar perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, yang kemudai diterima oleh masyarakat yang dinamakan tersebut. Masyarakat Iban termasuk dalam tujuan pasar barang-barang kerajinan perak dan emas orang Maloh; pengerajin Maloh berpergian sepanjang daerah orang Iban, beberapa diantaranya tinggal dan menikahi wanita Iban; mereka kemudian membawa barang-barang dagang yang dibuat oleh orang Iban seperti kain tenun, kembali ke kampung mereka. Banyak orang Maloh pandai berbahasa Iban dan ekspansi Iban kedalam daerah orang Maloh telah menghasilkan asimilasi Maloh ke dalam komunitas dan budaya Iban. Istilah ‘Maloh’ dipakai secara luas di perbatasan Sarawak dan Kalimantan ; dan merupakan istilah yang dikenal luas dalam literatur Inggris pasca perang tentang Borneo; dan orang Maloh menerima istilah tersebut sebagai sebutan resmi yang memisahkan mereka dengan komunitas lain. Sejak tahun 1970an, issu pelabelan etnis telah menimbulkan banyak pertentangan. Kerajinan logam makin berkurang pada sekitar 1960an dan telah hilang sejak 1970an karena persaingan dengan perhiasan impor. Lalu, dalam konteks dimana istilah ‘Maloh’ telah dipakai tidak lagi relevan. Istilah tersebut menjadi bermasalah dan tidak lagi dapat diterima. Beberapa tulisan King juga dibaca oleh intelektual muda ‘Maloh’ yang mulai mendebatkan istilah ini. Wadley telah mengatakan bahwa pada ssat ini orang ‘Maloh’ yng berpendidikan telah sepakat untuk mencari sebuah label etnik yang umum dan pada saat yang sama menantang etnografi barat tentang kelompok merekadan untuk menegaskan otoritas intelektual mereka pada dunia luar. Salah satu tantangan awal datang dari Jacobus Frans, seorang politisi dan pegawai pemerintahan, yang nenek moyangnya merupakan campuran Iban-maloh dan berasal dari divisi Embaloh. Ia dan pendukungnya telah mengenalkan etninim ‘Dayak’ (atau Daya) Banuaka’ yang merupakan kombinasi yang menarik tentang rujukan untuk penduduk asli non Muslim, yang biasanya diterjemahkan sebagao ‘orang pedalaman’ atau ‘orang darat’, dan bahasa Maloh ‘banuaka’ , yang berarti orang kita’ atau ‘orang dari tempat kita’ (King, 2001a: 15). Istilah ini kemudian dipakai secara luas untu merujuk kepada institusi dan kegiatan yang bersifat ‘Maloh’, namun sampai saat ini tidak dipakai sebagai etnonim. Menariknya, istilah tersebut dipersoalkan oleh akademisi lokal lainnya dari divisi Taman atau Kapuas. Thambun Anyang, dalam thesis doktoralnya di Belanda, tidak yakin bahwa istilah banuaka cukup membedakan karena ia mempersoalkan bahwa arti utamanya adalah ‘kita bersama’ dan dapat diperluas kepada orang yang bukan ‘Maloh’ (1996: 4). Sebaliknya ia memilih istilah ‘Taman’ atau ‘keluarga Taman’ sebagai label etnik yang paling cocok (ibid.: 18ff). Secara bersamaan, orang Kalis tetap menolak kedua penamaan tersebut. Perbedaan pandangan ini dilihat sebagai ekspresi perbedaan antara ketiga divisi Maloh dan ketidaksetujuan internal tentang prioritas kultural dan sejarah. Wadley mempersoalkan bahwa debat internal antar akademisi Maloh tentang label etnik yang cocok bagi mereka adalah untuk mendapatkan hasil yang menarik, tergantung pada posisi politis dan administratif dari para pemain lokal, dan pencarian label etnik yang disetujui oleh kedua antropolog dan politisi masyarakat asli boleh jadi akan sia-sia’ (2000: 96, 97-98). Apa yang kemudian terjadi adalah para antropolog akan memusatkan perhatiannya pada pengelompokan Maloh dan menggunakan istilah lokal yang cocok (Arts, 1991; Diposiswoyo, 1985; okuno, 1997) atau menggunakan istilah gabungan seperti ‘Maloh/Banuaka’ (Bernstein , 1997: 19). Apa yang ditimbulkan oleh pertentangan ini adalah masalah homogenitas budaya terhadap variasi budaya dan cara kelompok-kelompok etnis saling berhubungan dalam hubungan sosial. Dalam tulisan mengenai sekelompok masyarakat masih ada tendensi untuk mengganggap apa yang di definiskan oelh orang luar terhadap mereka lebih penting dari apa yang membagi mereka secara internal. Masalah penamaan etnik diantara orang ‘Maloh’ adalah pada perbedaan internal diantara mereka sendiri dan kenyataan bahwa kelompok etnik ‘Maloh’ tidak coterminous dengan sebuah ‘kelompok’ atau ‘kelompok sosial’, atau pun berhubungan dengan pengelompokan budaya modern. Contohnya, walaupun untuk tujuan tertentu, antropolog dan orang Maloh sendiri membedakan orang Maloh dengan orang Melayu, Iban, Punan dan lainnya, ketiga kelompok tersrbut memiliki sistem sosial yang sama dan kita tidak dapat mengerti tentang Maloh tanpa merujuk kepada hubungan sosial dalam sebuah sistem yang lebih luas. Hal ini juga menegaskan bahwa tidak semua komunitas Maloh menikmati hubungan dengan kelompok non-Maloh daripada dengan kelompok Maloh yang lain. Hal ini terjadi dalam hubungan mereka dengan orang Melayu di daerah kekuasaan mereka di hulu sungai, yang telah didirikan sejak awal abad ke 19 , karena daerah ini telah menjadi daerah penting bagi orang maloh; kita telah melihat bahwa Leach menggambarkan sebuah peran penting dalam kehidupan sosio-politik dan budaya kachin ([1954] 1970). Dalam studinya mengenai etnomedicine Taman, Bernstein megamati bahwa ‘di dalam kampung orang Taman....dukun Melayu....memainkan peran yang penting dan orang Taman telah banyak melakukan apa yang dibuat oleh orang Melayu (1997: 41, 430). Apa yang menjadi jelas adalah pada abad ke 19 banyak orang Maloh yang masuk Islam dan mengubah identitas etnik mereka dengan ‘masuk Melayu’. Para aristokrat Maloh bekerja sama dengan keluarga penguasa Melayu untuk memelihara posisi ekonomi dan politiknya dan biasanya terjadi perkawinan dan konversi ke Islam. Ada juga bukti bahwa beberapa aristorkrat Maloh keluar dari rumah panjang dengan para pengikutnya dan menempati pusat perdagangan orang Melayu. Beberapa orang Maloh juga menikahi orang Melayu dan pindah ke pemukiman Melayu yang kadang-kadang dikarenakan oleh ketidakpuasaan akan posisi sosial politik mereka dan untuk mencari kesempatan di tempat lain. Karena itu, kelompok etnik Maloh dan Melayu dapat dilihat sebagai pihak utama dalam sistem masyarakat; keduanya saling bergantung satu dengan yang lain. Hal yang sama juga terjadi antara hubungan orang maloh dengan Iban dan Punan.
Brunei
Situasi yang sama terjadi dalam hubungan antara penduduk asli non Muslim dan komunitas Melayu di Brunei. Kesultanan Brunei telah menjadi pusat penting dalam penyebaran Islam dan budaya Melayu selama 500 tahun dan merupakan pusat perdagangan internasional di abad 15 dan 16 (king, 1994). Brunei juga menjadi fokus secara polotik, ekonomi dan budaya badi daerah sekitrnya. Apa yang telah King sebut sebagai ‘masyarakat Brunei’ adalah, berbeda dengan pandangan Brown (1970, 1998), tidak sama dengan Melayu Brunei sebagai sebuah kelompok etnis karepa kesultanan Brunei mencakup dan masih mencakup atas masyarakat sosial yang plural (King, 1996a). Konsep masyarakat Brunei mesti memasukkan , tidak hanya etnis Brunei, tapi juga Muslim Kadayan dan kelompok etnis Dayak non Muslim seperti Dusun (Bisaya), Murut ( Lun Bawang/Lun Dayeh), Tutong dan Belait. Secara sejarah, sebelum pendirian negara Brunei dan Borneo Malaysia yang terpisah, masyarakat Brunei juga terbagi atas beberapa komunitas seperti Iban dan Melanau (King, 1994,1996a).
Pikiran mengenai masyarakat Brunei yang terbagi atas kelompok2 etnis , sebuah konsep ‘masyarakat’ atau stuktur sosial yang pertama kali dikembangkan oleh leach dalam hubungan studinya tentang kachin, memiliki arti untuk 4 alasan. Pertama, akar dari Melayu brunei sebagai sebuah kelompok etnik dapat dirujuk pada penduduk aboriginal penyembah berhala di daerah teluk Brunei. Mereka memiliki warisan budaya dan mitos asal yang sama. Kedua, adanya hubungan yang berlanjut dan dinamis antara Melayu Brunei dengan lainnya melalui konversi berbagai kelompok ke dalam Islam , khusunya melalui perkawinan, praktek pemberian gelar dan jabatan kepada pemimpin komunitas penyembah berhala dan memasukkan mereka kedalam sistem administrasi dan politik yang sama, dan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Ada juga proses interaksi dan asimilasi yang terjadi antara masyarakat non-Melayu, khususnya antara Kadayan dan Murut. Ketiga, adanya prinsip-prinsip sosial organisasi yang sama dan pembagian kelompok sosial , yang meliputi pangkat, kelompok etnik dan satuan lokal yang hidup bersamaan dan memerintah beberapa kelompok di daerah teluk Brunei. Bagaimanapun, masing-masing komunitas mengartika hubungan diantara mereka dengan caranya msing-masing tergantung dari keadaan mereka sendiri. Akhirnya, sistem sosial Brunei disokong oleh kecenderungan untuk mengisi fungsi-fungsi yang berbeda dalam pembagian kerja. Dalam kasus kadayan , contohnya, mereka adalah penyedia makana, khususnya beras, dalam negara Brunei dan Melayu Brunai yang menjadi pegawai pemerintahan, pedagang , pengrajin dan nelayan (King 2001a: 31). Kasus hulu Kapuas dan Brunei menunjukkan pentingnya pusat perdagangan, ritual dan pemerintahan Melayu sebagai titik simpul yang melingkupi sistem sosial dan hal ini bukan berasal dari orang luar , melainkan diturunkan dari transformasi komunitas non Melayu.
Etnisitas, ‘negara budaya’ Indonesia dan Kolonialisme Belanda
Kita sekarang ingin membahas isu pembentukan identitas masyarakat minoritas dengan mempelajari kasus dari Indonesia yang mengadopsi perpektif postmodern. Kita mulai dengan studi Pemberton tentang nasionalisme Indonesia dibawah Presiden Suharto dan dasarnya dalam sebuah identitas Jawa yang ditempa sejak zaman kolonial Belanda (1994). Kita kemudia pindah ke sebuah pertimbangan tentang cara-cara yang diciptakan oleh masyarakat minoritas ciptakan dan bagaimana mereka merespon ke marginalan mereka dalam negara Indonesia modern dengan merujuk pada 2 studi kasus : studi T’sing tentang Dayak Meratus di Tenggara Kalimantan (1993) dan penelitian Spyer tentang orang Aru di Maluku (2000). Tema penciptaan dan transformasi identitas dilakukan dalam arah yang sedikit berbeda dengan pertimbangan pembangunan pariwisata yang berhubungan dengan identitas dan budaya orang Bali dan Tana Toraja di Sulawesi. Kita akhiri dengan analisis Kahn tentang ‘keadaan’ identitas orang Minangkabau dalam konteks hukum kolonial Belanda (1993). Kahn menunjukkan bagaimana pemerintahan kolonial Belanda berperan dalam penciptaan gambaran dan identitas masyarakat didaerah jajahannya dan hubungannya dengan studi ‘turisifikasi’ budaya bali , yang dimulai selama masa penjajahan , dan dengan studi Pemberton tentang masyarakat Jawa.
Mengenai ‘Jawa’
Analisi post modern Pemberton tentang budaya Indonesia yang didominasi Jawa membuka bagaimana elit politik di Indonesia memakai konsep ‘nilai tradisional’ , ‘ritual’ dan ‘warisan budaya’ untuk memelihara kendali dan pemerintahan terpusat dinegara ini (1994). Hal ini mengatakan kepada kita tentang cara penciptaan dan transformasi identitas masyarakat Jawa, tetapi yang lebih penting lagi adalah hal tersebut mengatur keadaan untuk studi kasus kita dengan mempertimbangkan praktek-praktek dan ideologi para pemimpin di Jakarta. Perlakuan negara sangat memperngaruhi seluruh wilayah dan identitas masyarakat minoritas seperti Dayak Meratus melalui sistem pendidikan nasional, penggunaan bahasa Indonesia, penyiaran simbol-simbol kenegaraan di radio , tv dan media cetak,pengenalan tentang program pembangunan regional dan lokal, termasuk pembangunan pariwisata, dan intervensi dalam politik dan administrasi lokal. Pemimpin politik Indonesia dibentuk berdasarkan aturan warisan Belanda dalam mendefinisikan dan mengklasifikasikan kelompok etnik dan penggambaran orang Eropa tentang budaya tradisional. Pemberton sebenarnya datang untuk memperlajari tentang musik Gamelan di Indonesia tahun 1971 dan 1975 – 1977, namun ketertarikannya dengan budaya meningkat dan kembali ke Jawa Tengah untuk penelitian lanjutan di tahun 1982 – 1984, yang berfokus pada hubungan antara sejarah , politik dan budaya di kesultanan Surakarta (Solo) (ibid.: ix-xi). Perjalanannya ke Jawa bertepatan dengan pemilu Indonesia yang ke 3 di tahun 1982. Selain mempelajari tentang politik budaya Orde Baru, Pemberton juga meneliti lebih dalam melalui manuskrip Jawa dan arsip tulisan Belanda tentang penciptaan budaya di Jawa Tengah khususnya Surakarta dan ‘pemusatan perkembangan ritual dalam budaya Jawa (ibid.: 1). Apa yang sebenarya diteliti adalah fakta bahwa sampai jatuhnya rezim Suharto, Orde Baru secara umum tidak terganggu oleh protes dan perlawanan. Kerusuhan sosial jarang terjadi, khusunya di jawa dan apabila terjadi, dengan cepat hal itu dapat diatasi. Politik, termasuk penyelenggaran pemilu, berada dalam efek depolitisasi di Indonesia dan dinyatakan secara umum dalam bidang budaya dan ritual. Pemberton mencatat bahwa pemerintahan Suharto yang merupakan pemilik dari Golkar, selalu memenangkan pemilu sejak tahun 1982, sebuah ‘pesta demokrasi’, sebuah ritual nasional yang besar. Walaupun rezim otoriter Suharto menggunakan kekuatan penuh untuk memelihara kekuasaannya, rezim tersebut menunjukkan jatidirnya dalam bentuk lain. Dan inilah yang dinamakan penciptaan citra, representasi kultural dan pembentukan ideologi yang Pemberton teliti. Pemberton mempersoalkan bahwa budaya di Indonesia digunakan untuk mengangkat kepentingan politik dan kelas dan untuk menyatakan karakter esensial dan konsekwensi dari kepemimpinan Orde Baru; stabilitas sosial dan negara yang kuat yang dinyatakan dengan merujuk pada ‘nilai tradisional’, ‘warisan budaya’ dan ‘riutal’, sehingga even politik seerti pemilu dijadikan sebagai ritual dan upacara belaka. Pemberton juga menempatkan asal dari budaya tradisional Indonesia yang berfokus pada norma sosial khususnya di jawa, karena itulah orang jawa sangat dominan dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Ekspresi budaya ini mencakup tidak hanya pada jabatan-jabatan ofisial di pemerintah pusat, tapi juga pada berbagai even pada tingkatan kampung dimana pemerintah mendukung, menjaga, dan memperkenalkan hal tersebut sebagai ‘tradisi’. Satu contoh ritual tingkat lokal, dimana Geertz menuliskannya dalam The Religion of Jawa, adalah slametan, sebuah acara komunal yang berhubungan dengan perkawinan, yang seperti Geertz katakan, mengekspresikan dan mempekuat aturan budaya umum dan kekuasaannya untuk melawat kekuatan lain (1960: 14). Pemberton merujuk pada ‘pencarian rasa ketidaksempurnaan’ dalam proses memperbaiki budaya karena pada masa Orde Baru , hal tersebut dinyatakan dalam istilah yang umum (Pemberton, 994, 10-11). Ketidaksempurnaan ini menuntut perhatian untuk mengulangi ritual serta doa yang ditujukan untuk melaksanakan tradisi. Mengenai Orde Baru, selain mewakili rasa persatuan budaya yang berfokus di Jawa, juga mengakui keanekaragaman yang tidak hanya diantara masyarakat jawa tetapi juga bagi keseluruhan rakyat Indonesia. Dalam hubungan ini, Pemberton mencurahkan perhatian pada sebuah taman, yaitu ‘Taman Mini’, yang dibangun di Jakarta. Ide Taman Mini Indonesia Indah datang dari Ibu Negara, Ibu Tien Suharto, setelah mengunjungi Disneyland sebelum pemilu 1971 (ibid.: 12). Taman tersebut dibuka pada tahun 1975 dan dirancang, seperti namanya, sebagai miniatur dari Indonesia. Selain sebagai tempat rekreasi dan liburan , ada sebuah danau dengan pulau-pulau kecil buatan yang menggambarkan kepulauan Nusantara, beberapa monumen kuno yang menggambarkan kejayaan Indonesia dimasa lalu, dan sebuah arena dengan 26 rumah pameran yang dirancang mewakili setiap model arsitektur rumah-rumah tradisional dari 26 propinsi di Indonesia (ibid.: 152-161). Penting untuk dicatat bahwa yang tergambarkan pada taman tersebut adalah budaya daerah dan bukan budaya dari sebuah kelompok etnis, dan, seperti yang akan kita lihat dalam pembahasan mengenai Bali, negara Indonesia mendefinisikan budaya dalam bentuk jelas, elemen yan terstandarisasi seperti artefak, kostum, tarian , musik dan upacara. Pusat dari taman tersebut adalah sebuah pendopo bergaya jawa Tengah , bukan miniatur, melainkan lebih besar daru pada ukuran aslinya, dimana upacara tradisional dilaksanakan. Seperti yang Pemberton katakan, Taman Mini Jawa centris ini, dekat dengan ibukota negara, menghancurkan masa lalu dan sekarang dari keanekaragaman rakyat Indonesia menjadi sebuah ruang budaya yang terorganisir , terkendali, dan teratur. Untuk membahas tentang asal budaya Jawa di Indonesia, Pemberton kembali pada pembangunan istana Surakarta, yang menarik perhatian kita kembali pada peran VOC dalam pembentukan kerajaan Jawa ditahun 1745. Apa yang ia tunjukkan adalah, dalam usahanya untuk menjauh dari kekuasaan asing, bangsawan Surakarta, hadir, dan menciptakan sebuah ‘gaya Jawa’, yang pada abad ke 19 dlihat sebagai identitas budaya Jawa. Dalam kisah tentang Surakarta , dalam literatur dan budayanya seperti perkawinan, memunculkan identitas Jawa yang berbeda yang berbeda seperti pada masa sebelum penjajahan (ibid.: 22023). Ide tentang budaya Jawa ini dinilai sebagai sesuatu yang otentik, asli dan tradisional oleh para akademisi Belanda yang belajar tentang ‘Javanologie’ ,melalui Java Institute, yang didirikan di Surakarta tahun 1919, serta oleh jurnal institut, Djawa, yang diterbitkan antara 1921 dan 1941. Adalah identitas dan keaslian dari budaya Jawa inilah yang menjadi dasar bagi Orde baru untuk hadir sebagai Jawa yang otentik, dan sebagai inti dari identitas nasional indonesia. Namun, ini adalah sebuah identitas yang diciptakan oleh para penulis kisah dalam konteks sebuah kerajaan yang menjadi daerah kekuasaan Belanda, tanpa kekuatan politik yang sebenarnya dari 1830, namun telah mempertahankan bentuk-bentuk seremonial, pakaian, status dan etika dalam sebuah budaya yang teratur (ibid.: 28-147). Menariknya, di Malaysia, proses yang sama juga terjadi; Kessler mencatat bahwa budaya Malaysia saat ini di dasarkan pada pemerintahan tradisional Melayu, dalam hubungannya antara Raja dan rakyat, dan hal ini berasal dari model tradisional dan sejarah kesultanan Malaka. Tak dapat dipungkiri, seperti yang kita telah lihat, bahwa budaya adalah sesuatu yang dapat di rundingkan, tidak bersifat tetap dan homogen. Pembentukan tanah impian Orde baru (Pemberton, 1994: 318) dalam proses penciptaan dan penyebaran identitas nasional, dan pelaksanaan kendali atas rakyat , telah memiliki konsekwensi terhadap masyarakat minoritas di luar Jawa. Kita akan mambahas berbagai cara yang mereka lakukan dalam merespon masuknya agen-agen negara – sebuah proses yang dilakukan Belanda saat zaman penjajahan – dan identitas yang diciptakan dalam proses tersebut, baik oleh negara maupun oleh masyarakat minoritas tersebut. Seperti yang Kahn katakan ‘Sangat sedikit analis yang mengakui bahwa ke Indonesiaan adalah identitas yang diciptakan , begitu pula dengan etnisitas pada tingkaan yang lebih rendah seperti ke-Balian, ke Jawaan, Minangkabau dan lainnya’ 91998: 13).
Masyarakat yang terpinggirkan: Dayak Meratus dan Bemun Aru
Kedua studi kasus berikut menunjukkan respon masyarakat pulau terluar terhadap perlakuan negara Indonesia dibawah kepemimpinan Suharto, dan cara –cara penciptaan dan pengekspresian identitas dalam hubungannya dengan kampanye persatuan dan pembangunan nasional dalam memelihara kontrol sosial. Penelitian Anna T’sing yang dilaksanakan antara 1979 dan 1981 serta 1986 memfokuskan pada masyarakat Dayak di Gunung Meratus , Tenggara pulau Kalimantan dan penciptaan maerginalitas secara kultur dan politis’ (1993: 5). Bukan hanya tentang bagaimana orang Dayak Meratus terpinggirkan oleh kekuasaan negara dan persepsi serta perbuatan yang dilakukan oleh suku mayoritas seperti Melayu Banjar terhadap mereka, tetapi juga bagaimana mereka sendiri menanggapi identitas marginal mereka melalui potes, tantangan , negosiasi dan penjelasan status mereka melalui cerita, lagu, dan narasi . Tsing juga mempelajari perbedaan perspektif kaum lelaki dan wanita mereka tentang marginalitas, dimana secara umum bahwa ‘wanita adalah aktor politik yang tidak berguna’ (ibid.: 8). Ia merekam percakapan dengan seorang informan wanita, Uma Adang. Perspektif postkolonial dan post modern Tsing melibatkannya dalam sebuah analisis tentang ‘pembahasan marginalitas, institusi, dan pengalaman tentang dominasi dan perbedaan dan perhatian terhadap perbedaan antara peradaban, modernitas, kemajuan, hukum dan kekuasaan pada suatu pihak dan keprimitifan, tradisional, keterbelakangan, nomadik, ketidakberaturan di phika yang lain (ibid.: 5-6). Ia meneliti tentang keterbatasan dan kelemahan kekuasaan negara dan batasannya. Menariknya, seperti pada kasus orang ‘Maloh’, komunitas orang Meratus tidak dengan mudah dilabelkan.Deangn pertolongan seorang mahasiswa lokal, Tsing memutuskan istilah ‘Meratus’ untuk menggambarkan apa yang ia pelajari; ini bukanlah istilah yang digunakan oleh orang mereka sendiri, tetapi diciptakan oleh seorang antropolog. Ia melakukan ini karena tidak adanya sebuah penamaan yang otentik secara internal. Sedangkan istilah lain dianggap peyoratif dan bersifat menghina.; orang banjar menyebut mereka dengan istilah ‘Bukit’, yang telah digunakan dalam literatur etnografik, tetapi dengan konotasinya yang berarti ‘orang gunung’ membuat istilah tersebut tidak diterima secara lokal. Tsing kemudian memutuskan menyebutnya Dayak Meratus, karena, merujuk pada masyarakat Dayak di daerah pegunungan Meratus, dan bagi mahasiswa nya kata tersebut berakar dari kata ‘ratus’ ; itu adalah sebuah penamaan anti-etnik....untuk sebuah kelompok masyarakat yang sangat berbeda dengan orang lainnya(ibid.: 52). Hal tersebut menunjukkan bahwa marginalisasi telah menimbulkan keanekaragaman lokal, penolakan, mobilitas dan bahkan isolasi sejauh mungkin dan bukan seperti orang Kachin, Kajang atau Semai yang bersatu untuk mengahdapi kelompok mayoritas yang lebih dominan. Orang Meratus kemudian bergeser menjadi peladang dan perambah hutan dan unit sosial utamanya adalah umbun, atau kelompok yang bertani bersama-sama, dimana mereka bangga akan ke-otonomi-annya’ (ibid.: 64). Tsing mengatakan bahwa orang Meratus mengahargai nilai ke-otonomi-an mereka untuk berpindah dan berladang dimana mereka mau dan untuk membentuk perbedaan, pergeseran identitas dan afiliasi dalam hubungan dengan mobilitas (ibid.: 63). Ia tidak menemukan komunitas ‘kampung’ yang secara jelas terdefinisi untuk dipelajari dan menemukan bahwa adalah baik untuk berpergian keseluruh wilayah, tinggal ditempat berbeda dalam kelompok umbun. Dalam hubungannya , ia kemudian mengetahui hubungan orang Meratus sebagai percabangan , pergeseran dan pembentukan kembali, dan budaya mereka tidak tetap dan stabil tetapi sebagai sesuatu yang variabel, dan terbuka. Perbedaan kategorikal utama adalah antara orang Melayu Banjar dan orang Meratus dan dengan memberikan mereka sebuah penamaan etnik secara umum. Tsing melakukan pemisahaan identitas Dayak Meratus dengan yang lain. Hal ini tidak terlalu sulit, seperti contoh, orang Banjar menyetujui hal ini berdasarkan perbedaan ras dan budaya, sedangkan orang Meratus menyangkal apa yang dikemukakan orang Banjar dan banyak yang mengatakan bahwa keduanya berbahasa yang sama , yaitu bahasa Banjar (ibid.: 53). Adalah aturan negara,baik kolonial maupun pasca kolonial, yang cenderung untuk membagi satu dengan yang lainnya dan membuat orang Meratus sebagai kelompok terposah dan terpinggirkan (ibid.: 41ff). Bagaimanapun, walau negara dan pemerintah menjadi dominan dan otoriter terhadap mereka, keduanya saling berhubungan dengan baik (ibid.: 22-26), dan tsing menunjukkan bagaimana orang Meratus memahami, berbicara dan mewakili kekuasaan negara dalam bentuk kekerasan, terorisme, proyek seremonial dalam bentuk pembangunan dan pengambilalihan. Hal yang sama dilakukan oleh Patricia Spyer dalam studinya tentang orang Aru bemun di pulau Barakai di Tenggara Maluku, sebuah komunitas pencari mutiara laut dan pengumpul hasil laut yang telah terlibat sejak lama dalam perdagangan lintas laut internasional (2000). Ia melaksanakan penelitiannya disana di tahun 1984, 1986-1988 dan 1994. Bagaimana pun, disini kita tidak berhadapan dengan komunitas Dayak yang terisolasi, namun dengan masyarakat maritim. Spyer mempelajari pembentukan identitas dan hubungan masyarakat Bemun dengan dua kelopon ‘Aru’ dan ‘Melayu’ dan juga keterlibatan mereka dengan modernitas dan dunia diluar Aru. Bagi masyarakat Bemun, seperti orang Dayak Meratus, mereka berada dalam kekuasaan kolonial Belanda dan kemudian negara Indonesia merdeka yang juga termarginalkan dalam sistem ekonomi dan politik yang lebih luas. Mereka menjadi subyek dan terlibat dalam kekuasaan. Bagi orang Benum, ekpresi hubungan problematikal mereka dengan modernitas dan negara dan konseptualisasi hubungan antara disini dan disana, antara lokal dan yang jauh, dan antara komunitas dan dunia luar adalah dalam istilah ‘harapan’ , ‘keinginan. Secara spesifik mereka bertanya kepada Spyer mengenai kehilangan akan sanak saudara di laut dan keinginan mereka untuk membangun kembali hubungan dengan keturunan mereka. Konsekuensi dari keterlibatan ini adalah, persepsi bahwa dunia dalam hal tertentu berada di tempat yang lain, bukan hanya sekedar diseberang lautan (ibid.L 4).
Pariwisata dan Etnisitas : Orang Bali dan Toraja
Pembangunan pariwisata etnis dan budaya di Asia Tenggra memiliki konsekuensi dimana masyarakat yang menjadi objek pariwisata menilai diri mereka dan orang lain, dan bagaimana mereka merespon program pembangunan nasional dan pembentukan identitas. Selama dua dekade yang lalu, studi antropologi tentang pembangunan pariwisata dan hubungannnya dengan budaya dan masyarakat telah menghasilkan posisi penting dalam bidang ini. Adalah tulisan Valene Smith berjudul Host and Guest: The Anthropology of Tourism (1977), yang diterbitkan dalam sebuah edisi revisi (1989), yang merangsang minat akan efek pariwisata pada budaya da identitas lokal. Tulisan tersebut juga berisi artikel yang ditulis oleh Philip McKean tentang Hindu Bali dan Eric Crystal tentang Tana Toraja di Sulawesi tengah. McKean, mempersoalkan tenatng pesimistis awal yang memandang bahwa pariwisata massal menhancurkan budaya tradisional; lebih spesifik ia meragukan pernyataan bahwa pertunjukkan budaya dan cinderamata yang dihasilkan bagi pasar pariwisata Indonesia telah kehilangan makna dan artinya. McKean, menyatakan bahwa pariwisata di Bali, jauh dari merendahkan budaya Bali, dan mengarahkannya pada revitalisasi (1976, 1989). McKean menunjukkan bahwa orang Bali memisahkan produk budaya untuk pariwisata dari budaya nya yang asli. McKean juga menunjukkan bahwa pariwisata juga memberikan pendapatan bagi masyarakat Bali, dimana pendapatan tersebut diinvestasikan kembali dalam bidang pelatihan musik dan tarian dan pembuatan kerajinan tangan. Minat wisatawan akan budaya mereka memberikan rasa kebanggaan pada para seniman Bali dan menolong masyarakat Bali untuk memperkuat identitas nya dalam kontek negara Indonesia. Thesis yang sama disampaikan oleh Crystal dalam analisanya tentang sebuah elemen utama dari indentitas orang Toraja, Aluk To Dolo, atau upacara leluhur, yang termasuk dalam ritual penguburan (1989). Diawal tahun 1970an, pemerintah Indonesia berencana untuk menjajaki kemungkinan menarik minat para wisatawan pada budaya Toraja dan membentuk pandangan untuk menjadikannya sebagai Bali yang lain; upacaa penguburan dianggap sebagai atraksi utama yang sangat potensial, dengan patung orang mati yang dipajang dibukit batu, arsitektur rumah yang khusus dan pemandangan perbukitan yang indah (Volkman, 1984, 1990; Adams, 1997: 159). Infrastruktur transportasi dan fasilitas pariwisata lainnya seperti hotel dan guest-house dibangun dan kunjungan wisata meningkat dengan pesat, sehingga pariwisata Toraja yang sebelumnya hanya sekedar wisata etnis berubah menjadi wisata massal dalam beberapa tahun. Sampai pada perkembangan pariwisata, Crystal menganggap bahwa buadaya Toraja kelihatannya akan hilang karena tekanan dari aktifitas misionaris Kristen, penyebaran pendidikan modern dan promosi identitas nasional Indonesia. Bagaimanapun,mengikuti dukungan pemnerintah terhadap kepercayaan orang Toraja sebagai pusat perhatian wisata, pemimpin-pemimpin Toraja memiliki etika wisata. Crystal mengatakan bahwa upacara kematian ditetapkan kembali dalam perencanaan ekonomi regional dan prioritas negara (1989; 148), dan dengan kekuatan dari ritual yang eksotik ini, Toraja mendapa status sebagai primadona wisata dan mendapat tampat yang baik dalam hirarki kelompok etnik di Indonesia (Adams, 1997: 159). Seperti penelitian McKean terhadap budaya Bali,Crystal menidenifikasi efek positif dari pembangunan pariwisata dalam memberikan insentif bagi masyarakat Toraja untuk memelihara dan memperbaharui ritual dan tradisi artistik mereka, dan untuk menunjukan identitas mereka yang, memberikan kontribusi pada pembangunan nasional Indonesia dan menekankan sifat-sifat ke-Torajaan dalam negara Indonesia. Selama tahun 1980an, pariwisata di Tana Toraja telah menjadi sebuah fenomena internasional’ (Crystal, 1989: 161). Walaupun jumlah kunjungan wisatawan asing meningkat, mayoritas wisatawan yang datang ke Tana Toraja adalah orang Indonesia yang berasal dari kelompok etnis lain dan perhatian yang diberkan oleh orang Indonesia sendiri telah menambah antagonisme etnic yang telah berlangsung lama’, khususnya antara masyarakat dataran tinggi dan dataran rendah seperti Bugis dan Makasar yang hidup ditengah bayang-bayang keterkenalan budaya Toraja (Adams, 1997: 174). Selain dari pengaruh positif dari budaya dan identitas Toraja, Crystal juga menunjukkan konsekwensi negatif dari meningkatnya jumlah wisatawan dengan cepat: hilangnya benda-benda pusaka dan artefak yang dicuri dan dijual ke pasar ‘barang antik’ internasional, potensial akan hilangnya integritas budaya sebagai sebuah upacara belaka dan terpisah dari arti yang sebenarnya. Perhatian akan efek positif dan negatif dari pembangunan wisata pada budaya dan identitas lokal telah membawa ke sebuah usaha untuk mengevaluasi kembali pemikiran dari sebuah budaya. Penelitian Rober Wood (1984,1993) dan michel Picard (1990,1993,1996) telah menjadi sangat penting dalam hal ini. Meningkatnya kepentingan pemerintah dalam memperkenalkan rasa kebangsaan dan identitas nasional serta medorong kegiatan budaya lokal untuk pariwisata dalam meningkatkan pembangunan nasional, telah dibahas dalam studi tentang hubungan antaa pariwisata, etnisitas dan negara (Picard dan Wood, 1997). Wood telah mengatakan dalam hubungannnya dengan masyarakat Asia dan pasifik pada tulisannya bersama dengan picard di tahun 1997 bahwa ‘negara memainkan peran utama tidak hanya dalam mendatangkan wisatawan tapi juga dalam membentuk dan mengendalikan bentuk-bentuk yang terlihat dari etnisitas’ (ibid.: 5). Negara dapat, mendukung secar resmi penandaan budaya dan penamaan etnis lokal dan melarang pihak lain dalam hubungannya dengan pembangunan dan pengenalan identitas nasionla. Dalam hal ini Wood merujuk pada domestikasi etnisitas dibeberapa tempat seperti Singapura dimana penduduk lokal mendefinisikan identitas dirinya dalam istilah sub kelompok Cina seperti Hokkien atau Kantones dan India seperti Tamil atau Sikh tetapi pemerintah Singapura dan industri wisata membagi seluruh raykat Singapura kedalam 4 etnis utama :Cina , India , Melayu dan lainnya (ibid.: 12). Dengan kata lain, secara resmi identitas diri ditiadakan, ras dilihat sebagai sesuatu yang unik, terpisah dan terikat dan individual ditekan untuk mengidentifikasikan diri kedalam suatu kelompok etnis, untuk mencari akar etnisitas mereka sndiri, dan untuk berbuat sesuai dengan stereotip resmi tentang tradisi budaya mereka’ (Leong, 1997.: 94). Seperti yang kita telah lihat, asumsi bahwa etnisitas , dan tentu saja perangkat budaya yang menunjukkan identitas etnis , adalah promordial, tetap dan melekat, telah dipertanyakan , dan dalam antropologi wisata, Wood telah mempersoalkan bahwa apa yang kita sebut ‘budaya tradisional’ adalah pokok persoalan untuk reformulasi yang berlanjut dan pembentukan simbol’ (1993:60); dengan kata lain, budaya secara konstant dan simbolis di ciptakan kembali dalam interaksi antara kelompok etnis yang berbeda dan menjadi meningkat dalam hubungannya dengan aturan negara. Hal ini juga berlaku pada ide tentang ke otentikan budaya dengan merujuka pada pengalaman wisatawan bahwa masalah utamanya adalah untuk memahami proses dimana elemen-elemen budaya tertentu di tunjuk dan mendapatkan keotentikan. Cohen mengatakan bahwa ke-otentik-an ‘budaya tradisional’ dan ‘identitas etnis’ bukanlah tetap dan dapat dinegosiasikan, dan ini membantu untuk menjelaskan mengapa sebuah produk budaya, yang pada suatu waktu dinyatakan tidak otentik dapat menjadi otentik pada suatu waktu (1988: 379). Masyarakat Bali, melalui penelitian Michel Picard, memberikan sebuah contoh terbaik tentang sebuah masyarakat yang secara dinamis mengubah identitas budaya mereka dalam konteks pembangunan pariwisata (1996,1997). Picard, seperti yang Wood katakan, menunjukkan pertentangan antara pihak yang mempersoalkan bahwa pariwisata merendahkan dan merusakkan budaya lokal dan pihak yang tetap melestarikan dan mempromosikannya; ia juga meneliti apa yang dikemukakan McKean bahwa orang bali dapat membangun batasan antara budaya yang sakral dan duniawi (budaya untuk pariwisata). Picard mengatakan bahwa pengamat-pengamat ini telah menanyakan pertanyaan yang salah (1996;8). Bukanlah ya atau tidaknya kebudayaan Bali dapat bertahan terhadap masuknya pariwisata, namun bagaimana budaya bali tersebut telah dibentuk dan diubah dari dalam oleh pariwisata . Picard menunjukkan bahwa istilah ‘budaya turistik’ dalam risetnya adalah untuk menjelaskan bahwa pariwisata bukanlah kekuatan luar untuk mengubah budaya Bali, namun sebuah proses perubahan masyarakat Bali dari dalam , dan bahwa masyarakat Bali telah secara aktif terlibat dalam mengubah budaya mereka sendiri dan kesadara etnis dalam merespon peluang wisata. Tak dapat dipungkiri, proses ‘turifikasi’ budaya Bali ini , mengaburkan batasan antara luar dan dalam,...antara yang memiliki budaya dan yang tetap pada ‘pariwisata’” (1997: 183), telah dilakukan oleh administrator kolonial Belanda yang menanggap Bali sebagai museum hidup, yang merupakan peninggalan peradaban Hindu-Jawa yang masih bertahan (ibid.: 285; dan Schulte Nordholt, 1999). Seharusnya dicatat bahwa Belanda telah menyelesaikan ‘pasifikasi’ Bali, dimana sering digambarkan sebagai daerah liar, pemberontak dan penuh peperangan, di tahun 1908 ‘setelah dengan perjuangan yang panjang dan berdarah’ (Vickers, 1989: 2, 11-36). Setelah ‘dijinakkan’ oleh Belanda, citra Bali sebegai daerah yang ‘liar’ tidak lagi sesuai dan Belanda kemudian melindungi, dan memelihara Belanda mendefinisikan identitas masyarakat Bali dan integritas budayanya dalam bentuk Hinduisme, dan perlawanannya terhadap Islam; mereka juga cenderung untuk menekankan pentingnya hirarki kasta dan kerajaan Hindu (Boon 1977: 41-46, 68, 70). Aturan perlindungan budaya yang dikenal sebagai Balinisasi Bali (Baliseering) dan ditujukan untuk memperkenalkan kebangkitan budaya Bali dan untuk meyakinkan masyarakat Bali untuk tetap ‘menjadi orang Bali asli’ (Picard, 1997: 186). Kontek politik dari aturan ini adalah bahwa Belanda ingin untuk memperbaiki citranya setelah ‘menaklukan Bali dengan keji’ dan untuk memerangi penyeebaran radikalisme Islam dan nasionalisme Indonesia dengan mendukung kaum bangsawan Bali dan memperkuat pemerintahan administratif tradisional (Vickers, 1989: 3; Picard, 1997: 186). Tak dapat dipungkiri, adalah Belanda dan bukan para bangsawan Bali yang memegang kekuasaan, dan dalam proses memelihara kebudayaan dan masyarakat Bali dalam bentuk yang tetap dan tanpa batasa waktu, mereka mengubahnya, mengorganisir administrasi kampung, menyusun hukum adat, menciptakan para inteligensia Bali yang berpendidikan Belanda, dan menekankan pada aspek-aspek khusus pada budaya Bali. Mereka melarang perbudakan dan pengorbanan kaum janda, melarang kegiatan seperti sabung ayam, penggunaan opium, dan mengubah struktur organisasi pemerintahan (Vickers, 1989: 92). Dengan kata lain, ‘Belanda mengatur kerangka kerja dimana masyarakat Bali dapat mendefinisikan dirinya’ (Picard, 1997: 186), dan mereka juga mulai membuka pulau tersebut untuk pariwisata sejak 1920 dan 1930 an. Bali kemudian dipromosikan dalam brosur-brosur wisata dan buku perjalanan asbagai pulau yang ‘eksotik,erotik, permata kepulauan Sunda, Surga yang terakhir, pulau yang mempesona, Pulau para seminan, Pulau bertelanjang dada’ (Picard, 1996: 23, 27-32; Vickers, 1989: 77-130). Para antropolog seperti Margaret mead, gregory Bateson, dan Jane Belo, dan artis, aestetis dan penulis luar seperti Gregor Krause, Walter Sipes, Beryl de Zoee, Colin McPhee, Vicki Baum dan Miguel Covarrubias yang mengunjungi Bali di tahun 1920an dan 1930an juga memberikan kontribusi pada eksotisme dalam deskripsi mereka tentang pulau ‘para dewa dan setan’ ini (Picard, 1996: 32-33). Gambaran ini juga diakarkan dalam gambaran tentang petani yang hidup didesa dan mewujudkan esensi dari budaya masyarakat Bali (Vickers, 1989: 89-91, 107,110,117). Seperti yang Picard katakan, Bali digambarkan sebagai : Sebagai tanah dari budaya tradisional yang tertutup dari dunia modern dan perubahannya, yang memiliki , dan dikarunai dengan talenta-talenta seni yang luar biasa, yang memberikan waktu dan harta bendanya untuk menyelenggarakan berbagai upacara bagi kesejahteraan dan dewanya – dan saat ini , untuk hiburan para turis. Diakhir masa penjajahan masyarakat Bali yang berpendidikan juga mulai untuk mengkontemplasikan apa yang disebut sebagai ‘ke-Balian’ dan datang dengan istilah dan pemahaman mengenai perubahan yang mempengaruhi budaya Bali. Sekolah dan yayasan keagamaan untuk studi tentang budaya Bali didirikan dan berperan sebagai forum debat dan diskusi mengenai sifat-sifat agama dan masyarakat bali. Menariknya, hal ini ditulis bukan dalam bahasa Bali tetapi bahasa melayu, yang merupakan dasar dari bentuk bahasa Indonesia (1997; 187). Pada waktu ini ada dugaan mengenai masyarakat Bali, sekelompok etnis yang lain, yang didefinisikan dalam istilah agama dan adat; kedua elemen ini dinyatakan terpisah oleh masyarakat Bali degan bahasa melayu sebagai agama dan adat. Apa yang sebelumnya terjadi adalah sebuah pulau dengan variasai budaya , dengan Hinduisme yang termodifikai, agama lokal yag berdasarkan nenek moyang, yang dipadukan dengan hubunagn sosial dan adat istiadat, menjadi sebuah identitas ke-pualuan yang berfokus pada Hinduisme sebagai adalam dunia (terhadap Islam dan Kristen), dan meliputi lingkungan kepercayaan dan tindakan yang dinyatakan dalam tradisi artistik (ibid.: 187-192). Diatas semuanya itu, masyarakat bali , khususnya pada tingkatan elit, memiliki susunannya sendiri dan menggunakan nya untuk tujuan nya msing-masing; mereka menerima bahwa budaya mereka adalah aset yang harus di hargai dan dilestarikan. Identitas Bali kemudian diubah sejak kemerdekaan Indonesia. Pendiri negara Indonesia membentuk sebuah ideologi dan identitas nasional yang berdasarkan pada ‘peradaban tinggi’ negara ini khusunya pada masyarakat jawa (imigran Cina dan etnis minoritas tak termasuk). Semboyan negara ‘Bhinneka Tunggal Ika’ didasarkan pada gagasan tentang bentuk budaya kesukuan Indonesia secara keseluruhan, identitas bangsa Indonesia berdasarkan atas kesamaan adat istiadat dan juga penggunaan bahasa yag sama (bahasa Indonesia), persamaan sejarah dan persamaan daerha. Pemikiran akan kesamaan konsep dari komunitas sosail, , ketergantungan antar komunitas, kewajiban dan tanggung jawab yang saling menguntungkan, pengambilan keputusan dengan musyawarah dan mufakat di tekankan (Hitchook dan King, 1997: 8-9). Untuk mengkonsolidasikan rasa kesadaran akan keterlibatan seluruh kelompok etnik di Indonesia, elit politik juga memformulasikan sebuah dasar negara pancasila yang menekankan bahwa kelahiran negara Indonesia melalui perjuangan kemerdekaan dari Belanda dan terinspirasi dari filosofi politik Eropa. Hal ini menjadi batu penjuru yang sakral bagi persatuan bangsa indonesia , dan tergabung dalam 5 sila yang mencakup (Ketuhanan YME, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia , Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dan permusyawaratan perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) (Holtzappel, 1997). Lalu, ke-etnisan Indonesia adalah bentuk politis pasca perang yang melebur bersama dengan berbagai elemen dari prinsip dan tradisi yang berasal dari filosofi politik Eropa. Dengan memperhatikan definisi etnisitas dalam artian agama, negara sekuler Indonesia dengan prinisip kebangsaan nya yang ‘percaya kepada Tuhan YME’, mengakui dan melindungi agama ‘asli’. Agama Bali tidak termasuk dan secara resmi hanya memiliki status sebagai agama ‘adat’ karena berdasar pada adat istiadat. Setelah lobi yang panjang yang dilakukan oleh masyarakat Bali dan formalisasi dan penyusunan kembali, agama Hindu Bali , diberikan pengakuan sebagai agama ‘yang sebenarnya’ di tahun 1958. Pada saa itu disebut sebagai ‘Agama Hindu Bali’, namun saat pengakuan resmi diberikan pada tahun 965, agama Bali disah kan sebagai agama Hindu (Picard 1997: 194-195). Hal ini menyebabkan perpisahan antara agama Bali dari adat istiadatnya, dan meningkatnya unsur-unsur Hinduisme dalam mendefinisikan masyarakat Bali, walaupun Picard menyatakan bahwa agama resmi ini tidak terlalu memiliki kemiripan dengan praktek keagamaan sehari-hari (ibid.: 195). Sebagai tambahan terhadap perubahan identitas dan budaya etnik maysrakat Bali dari tahun 1920an, perubahan penting telah berada dalam konteks meningkanya kunjungan wisata di Bali sejak tahun 1970an. Dan berasal dari dibukanya Indonesian terhadap investasi asing dan tekanan akan pembangunan ekonomi oleh Presiden Suharto setelah berakhirnya pemerintahan presiden Sukarno tahun 1965. Rancangan PembangunanPariwisata Bali telah diterbitkan dalam 6 volume di tahun 1971 sebagai bagian dari tujuan negara Indonesia untuk memformulasikan aturan tentang pariwisata nasional dan mengamankan posisi pada pasar pariwisata internasional (Picard, 1996: 45ff). Pariwisata merupakan bagian dari agenda politik Orde Baru untuk mempromosikan persatuan nasional dan untuk membangun kembali posisi Indonesia dan meningkatkan kembali citra Indonesia di dunia untuk menarik investasi asing (Adams, 1997: 156ff). Bali adalah ‘contoh nyata’dan promosi wisata budaya berperan sebagai model untuk pembangunan pariwisata nusantara di masa depan’ (Picard, 1993: 79). Kenyataannya ekspansi pariwisata tidak selalu pada jalannya sampai akhir 1980an saat pemerintah Indonesia mengendorkan aturan penerbangan nasional dan membuka bandar udara Denpasar bagi airline asing, yang didukung di tahun 1990an oleh kampanye promosi pemerintah, yang ditargetkan khususnya untuk menarik minat turis-turis kaya untuk menempati hotel-hotel berstandar internasional di resort-resort tepi pantai (ibid.:81). Saat pemerintah Indonesia memfokuskan pada pembanguna pariwisata di Bali sebagai proyek nasional, politisi Bali, administrasi senior dan para intelektual ,mencurahkan perhatiannya pada ketertinggalan masyarakat Bali dalam rencana ini dan potensi dari konsekwensi yang tidak diinginkan dari pariwisata masal (Picard, 1996: 127, 182ff). Prioritas mereka adalah untuk mengamankan keuntungan ekonomi masyarakat Bali dan untuk mempromosikan identitas dan status masyarakat Bali dalam negara Indonesia. Disamping itu, mereka setuju bahwa budaya Bali, yang penting bagi pariwisata harus dilindungi dan dipelihara. Bagaimanapun, pandangan masyarakat bali terhadap efek pariwisata internasional dan dan konsekwensi untuk melindungi budaya Bali berkurang selam tahun 1980an. Apa yang ingin dinyatakan baik oleh orang luar dan masyarakat Bali adalah sebuah kebangkitan budaya oleh pariwisata. (cf. Picard. 1993: 88-89). Kemudian Picard menarik perhatian kita pada perubahan-perubahan konsepsi budaya Bali yang terjadi selama pemerintahan Siharto, sebuah proses yang dimulai oleh Belanda ditahiun 1920an. Definisi budaya dalam bentuk nilai dasar hubungan sosial, ekonomi dan politik serta moral telah berpindah kepada sebuah fokus tentang ‘ekspresi artistik’ dan ‘seni budaya’ yang berfokus pada pariwisata (tarian, musik, pakaian, cinderamata dan arsitektur) yang ditekankan oleh Departemen Pendidikan dan kebudayaan (1993: 90; 1996: 167-171, 198-199). Vickers juga mempersoalkan bahwa diskusi publik tentang kebudayaan Bali tidak hanya tantang kebudayaan sebagai ‘kebiasaan yang berarrti’ tetapi lebih kepada ‘pemikiran yang lebih sempit tentang aktivitas atristik dan keagaman’ (1989: 195). Kebudayaan Bali sebagai sebuah etnis telah berasimilasi dengan pemikiran sebagai sebuah ‘budaya daerah’. Budaya daerah Bali berdasarkan pada pertunjukan budaya yang digabungkan dengan yang lain untuk membentuk suatu budaya nasional Indonesia. Lalu, kebudayaan bali di angkat dan diatur kedalam elemen-elemen yag sesuai dengan budaya nasional yang kemudian didukung oelh pemerintah (Picard, 1996L 171-179). Picard setuju bahwa budaya Bali yang seperti inilah yang berasimilasi dengan masyarakat Bali sendiri dan mengalami kebangkitan kembali (1997: 203). Tak dapat dipungkiri, bahwa kerangka referensi yang dengan bebas diberikan secara bebas oleh negara sebagai saluran aman dalam pengekspresian etnisitas di Indonesia , menjadi subyek dari negosiasi dan perdebatan, dan walaupun mayarakat Bali adalah kontestan terlemah dalam hubungannya dengan negara, mereka telah menolak elemen ‘peng-indonesia-an’ tertetu , dan menggunakan kelebihan mereka dalam mengekspresikan identitas masyarakat bali (ibid.: 202 – 206). Kesimpulan McKean, dan seperti yang dikutip oleh para intelegensia Bali, adalah bahwa masyarakat Bali telah dapat memelihara budaya tradisional mereka dengan membedakan hiburan untuk wisata dari ritual asli bagi mereka sendiri, adalah sulit untuk meneria ketika budaya Bali telah ‘dipariwisatakan’ selama 80 tahun hingga saat ini. Apa yang ada, adalah, bahkan jauh sebelum pengaruh pariwisata datang, bahwa sulit untuk membedakan antara aspek ritual dan teatrikal dari tarian Bali. Dalam sebuah analisis tarian , Picard menunjukkan bahwa ada pertunjukkan khusus seperti Legong dan Ramayana yang merupakan ‘kreasi modern’ , yang dirancang untuk menghibur para penonton non-Bali, namun ini telah kembali digabungkan dalam pertunjukkan asli masyarakat Bali. Ada juga berbagai pertunjukkan lain yang ditujukan bagi turis, yang elemen-elemennya digunakan dalam eksorsime dan ritual masyarakat Bali, dan masih berasal dari upacara keagaman Bali yang diadopsi sebagai atraksi bagai para turis (1996: 134-163). Salah satu tarian, Panyembrana, dimulai dengan kontek ritual, menjadi suatu hiburan dan kembali ke kontek ritualnya (Picard, 1990: 62). Picard menunjukkan dengan jelas bahwa pembanguna pariwisata budaya di Bali telah mendorong kesadaran masyarakat Bali akan nilai dan pentingnya budaya mereka, dan perannya dalam mendefinisikan identitas etnik masyarakat Bali , namun budaya adalah berbeda dari apa yang didefinisikan pada awal abad 20 karena ‘pertunjukan bagi wisatawan dianggap sebagai tradisi bali’ (ibid.: 73). Sebagai tambahan, ‘bagi masyarakat Bali, seni, hiburan dan ritual , bukan merupakan sesuatu yang berbeda – dan ...isi dari pertunjukkan budaya saling tumpang tindih antara yang satu dengan yang lain (1996:198). Untuk menunjukkan bahwa tidak hanya dalam konteks pembangunan pariwisata , hubungan antara komunitas lokal dengan pemerintah yang membentuk dan mengubah identitas etnik dan budayanya, mari kita melihat pada penelitian Joel kahn tentang penetapan identitas masyarakat Minangkabau (1993,1995). Kahn sendiri mengatakan : Saat terjadinya pertemuan yang intens antara Bali dan (dunia) Barat ditahun 1920 dan 30an membuat proses yang terjadi dalam pembentukan wacana modern mengenai keunikan budaya Bali, adalah menarik untuk mencatat proses yang sangat mirip yang terjadi pada saat yang sama di bagian lain Hindia Belanda, dimana pariwisata adalah sesuatu yang penting. (1997: 110)Dengan kata lain, pembentukan identitas adalah bagian dari pertemuan antara kekuatan kolonial Barat dengan pihak-pihak yang ter-kolonial-kan.
Pembentukan Identitas Masyarakat Minangkabau
Seperti yang kita lihat di bab 5. Kahn melaksanakan penelitiannya di Sumatera Barat di awal 1970an dan kemudian diantara imigran Minangkabau di Negeri Sembilan. Setelah itu, ia bermaksud untuk memahami bagaimana keadaan yang ia amati di tahun 1970an itu dikemudian hari, dan karena itu ia menganalisa sejumlah literatur sejarah Minangkabau dari perspektif globalisme dan teori budaya, mencatat bahwa mereka telah tergabung kedalam sistem ekonomi yang lebih luas selama masa perdagangan dengan bangsa Eropa, dena saat mereka mejadi subyek terhadap proses ‘modernisasi’ selama ,masa penjajahan Belanda, tepatnya diakhir abah ke 19. Ia mencoba untuk memahami mengapa beberapa pengamat yang melihat akan punahnya kebudayaan Minangkabau, dan identitas tradisional mereka sebagai hasil dari ‘kebebalan pra modern’, ‘kesendirian’ dan lainnya (1993: vii, 21). Bagaiaman kontradiksi antara citra modern dari masyarakat Minangkabau sebagai individualis, kompetitif, komersialis dan rasionalis dan citra tradisional yang berfokus pada sifat kekeluargaan matrilineal, ‘republik kampung’, panen padi, pembuatan barang kerajinan tangan dan perambah hutan dapat dijelaskan (ibid.: 3-4) ? Kesimpulan utama Kahn, mengatakan bahwa kita telah melihat penemuan antropolog seperti Picard di Bali, Pemberton di Jawa ,adalah bahwa asal dari tradisi orang Minangkabau yang ditemukan pada masa penjajahan Belanda tidak berada jauh dari masa pre kolonial. Ia juga menindikasikan bahwa tugasnya dalam analisis sejarah adalah lebih sulit karena perubahan pemikiran dalam lingkaran antropolog dan kritiisme mengenai dasar pemikiran, konsep dan metode sebelumnya, khusunya keraguan dalam ilmu sosial postmodern terhadap kemampuan ‘orang luar’ untuk menganalisa, menjelaskan dan merepresentasikan budaya lain. Bahakan preasumsi yang para antropolog seharusnya kemukakan dipertanyakan sebagai ‘etnosentris’ dan ‘orientalis’. Dalam semangat ini, Kahn mempersoalkan bahwa catatannya tentang kebudayaan Minangkabau adalah ‘ citra yang diciptakan’, tetapi sebagai sesuatu yang perlu di evaluasi dalam konteks sosial dan historikalnya (ibid.: ix).Kahn menarik perhatian pad kenyataan bahwa masyarakat Minangkabau tidak dapat dibatasi secara obyektif dan rancu sebagai sesuatu yang bercirikhas, tak berubah dam homogen (ibid.: 16-19). Secara umum, ‘tidak pernah mungkin untuk memperlakukan ‘masyarakat’ Indonesia sebagai ‘suku terasing’, karena hubungannya dengan dunia barat selama berabad-abad (ibid.: 22). Baginya, citra yang dipakai untuk merepresentasikan masyarakat Minangkabau telah diciptakan oleh proses sosial dan historikal. Satu diantaranya diciptakan oleh perbahan ideologi , hukum dan tindakan kolonial Belanda sejak akhir abad 19 dalam hubungannya dengan administrasi kampung dan tanah (ibid.: 32); birokrasi kolonial meningkat dalam hal ukuran, kekuasaan, pengaruh dan fungsinya, setiap kampung harus didirikan dewan sebagai titik kontak administrasi dan dibiayai dari pajak lokal, organisasi supra-kampung ditiadakan, dan hak penduduk asli atas tanah dilindungi sementara tanah kosong dapat sewakan, sebagai konsesi tambang dan hutan lindung (ibid.: 187ff), Proses ini, menurut Kahn , baik di Sumatera Barat dan negeri Sembilan, telah meliputi apa yang ia sebut ‘modernisasi’ (perbedaan sosial dan pembentukan kelas, komoditisasi produksi dan hubunagn sosial) dan tradisionalisasi atay petanisasian (pembentukan hubunagn tanpa kelas, komunalisasi) namun dalam kontek modern secara keseluruhan (ibid.: 62067). Penggunaan stategi non-kapitalis dan non-komoditi adalah satu respons terhadap inovasi teknologi dan komersialisasi pertanian. Sejak akhir abad ke 19 , penulis Belanda membentuk ‘beberapa citra’ terpilih terhadap kaum tani tradisional Minangkabau. Pengamat yang sangat berpengaruh adalah sosiolog Belanda Bertram Schrieke (1955, I: 13), yang merepresentasikan masyarakat Minangkabau abad ke 19 sebagai orang yang bekerja pada skala kecil, berekonomi tertutup, berorientasi pada nafkah bukan keuntungan, bergantung pada pertanian, dan diatur secara total oleh hukum adat. Sistem ini kemudian menghilang oleh komersialisasi, termasuk dengan adalanya sistem perpajakan dengan uang pada abad ke 20. Schrieke berpandangan bahwa masyarakat Minangkabau sedang dalam modernisasi. Secara umum, pandangan orang Belanda didasarkan pada asumsi evolusionis, namun ada berbagai macam posisi yang diambil, beberapa menyukai transisi kapitalis di Indonesia sementara yang lain menolak. Beberapa yang lain mempersoalkan keinginan pembuat hukum kolonial liberal tentang perdagangan bebas, upah buruh dan kebebasan modal yang dapat membuat rakyat Indonesia terus maju mengikuti modernisasi; yang lain, pergerakan ‘etika’ – memelihara agar baik rakyat yang terjajah tidak dapat mengikuti modernisasi untuk membenarkan aturan-aturan liberal atau rakyat Indonesia membangun menurut logika dan ke-dinamisan budaya mereka sendiri dan mereka mempertanykan jalan Barat dalam mencapai modernitas (Kahn, 1993: 78). Adalah kritik terhadap liberalisme yang berkontribusi terhadap pembangunan masyarakat dan budaya Indonesia dan keunikan budaya ini juga didukung oleh orang-rang Indonesia yang berpendidikan , termasuk para intelektual dan aktivis politik Minangkabau, yang mulai menulis tentang tradisi pra-modern dan pra-kolonial mereka sejak tahun 1920an (Kahn, 1995: 66-69, 94-98). Walaupun begitu, sepertai yang Kahn tunjukkan, masyarakat Minangkabau pada abad ke 19 terlibat dalam produksi dan perdagangan berbagai macam komoditi ada variasi antara komunitas maupun perubahan pada komunitas yang sama pada saat itu (1993: 173ff). Karena itu, kebudayaan Minangkabau digambarkan oleh orang Belanda dan intelektual Minangkabau adalah sesuatu yang diciptakan pada abad ke 20 (ibid.: 186). Hal tersebut dibentuk dalam konteks tindakan birokrasi negara kolonial yang memperluas kekuasaannya sampai ke tingkat komunitas lokal namun tanpa mengubah Hindia Belanda menajdi negara yang berekonomi kapitalis. Pentingnya hubungan birokratik negara dan pihak individu maupun kelompok terhadap hal tersebut dalam menentukan kesempatan hidup, kemakmuran dan kekuasaan berlanjut pada masa setelah kemerdekaan. Kahn mempersoalkan bahwa perdebatan antara fungsionaris-fungsionaris negara yang mendukung perluasan aturan liberal tentang pembangunan dan menghilangkan tradisi dan pihak yang menolaknya dan membangun ‘budaya lain’ , juga mengenai perdebatan ‘tentang apa yang akan mendasari mode dominasi yang paling efektif’ (ibid.: 278). Pihak yang mengkritik program yang bersifat Eurocentrik dan etnosentrik untuk modernisasi komunitas tradisional dan meletakkan pentingnya keunikan masyarakat Indonesia , cenderung memandang pemerintah untuk lebih efektif jika memasukkan setiap kelompok etnik yang memelihara cara hidup tradisionalnya sebagai elemen utama dalam pemerintahan.
Kesimpulan
Apa yang telah kita lakukan pada bab ini, khusunya melalui berbagai macam studi kasus, adalah untuk menunjukkan bahwa etnisitas dan identitas adalah bagian dari proses sosial dan historikal, dan sebagai sesuatu yag di ciptakan dan diubah sebagai hasil dari interaksi. Hal yang perlu dicatat dari kaum minoritas di Asia Tenggara adalah identitas mereka telah dibentuk dalam interaksi mereka dengan sistem kekuasaan negara: peradaban masyarkat pesisir, rezim kolonial Eropa dan pemerintahan pasca kolonial. Pluralisme juga adalah hasil dari persatuan bersama kelompok etnik berbeda yang dilakukan oleh kekuatan kolonial untuk tujuan dagang dan profit mereka. Seperti konsep budaya, kita telah berfokus pada aspek dinamik tentang identitas dan karakternya yang variable, dan fleksibel. Dalam literatur tentang etnisitas, ada sebuah penekanan penting pada apa yang disebut sebagai perspektif post modern dan pasca kolonial, yang berhubunagn dengan analisis ‘teori dan praktik’ tentang berbagai hal seperti tradisi, budaya, identitas dan ke-otentikan dan bagaimana wacana tertentu mendapat tempat otoritas dalam hubungannya dengan struktur dan hirarki kekuasaan.
0 komentar:
Posting Komentar