Teori Etnik

Sabtu, 27 Desember 2008

Oleh PolitikNews

Istilah Etnik

Istilah etnik atau yang diterjemahkan ke dalam istilah suku-bangsa, berasal dari perkataan Yunani eOvikos yang ertinya heathen, yaitu penyembah berhala atau sebutan bagi orang yang tidak ber-Tuhan. Sementara itu, istilah itu sendiri dalam bahasa Yunani berasal dari akar kata eOvos (’ethnos’) yang diterjemahkan sebagai nation atau bangsa, yaitu suatu istilah yang lazim dipakai untuk menunjuk pada bangsa-bangsa yang bukan Israel. Dengan kata lain, menurut the Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, ada dua pengertian yang terkandung dalam istilah ethnic, (a) menunjuk kepada bangsa-bangsa yang non Kristian atau non Yahudi dan (b) menunjuk kepada bangsa yang masih menyembah berhala. Dalam pengertian berkiutnya, istilah ethnic dikenal luas setelah dipakai secara resmi oleh suatu Ethnological Society, yaitu suatu lembaga yang didirikan di Landon pada 1843, Seterusnya tahun 1848 di Paris ditubuhkan pula institusi serupa iaitu Societe Ethnologique de Paris. Di New York institusi serupa juga sudah ada sejak 1842 yang dipanggil American Ethnological Society.

Merujuk Lioyd Warner dalam tulisan Brian M.du Toit et all (1978:3) dijelaskan bahwa yang terkandung dalam pengertian ethnic menunjuk pada individu-individu guna mempertimbangkan di manakah seseorang atau dirinya termasuk atau dimasukan sebagai anggotanya; iaitu yang didasarkan atas asas latar belakang kebudayaan. Dengan demikian isitilah etnik cenderung bersifat sosio-kultural daripada yang berkaitan dengan ras. Atas asas itu maka dalam kajian ini istilah etnik lebih disesuai dipergunakan.

Merujuk Schemerhorn (1970: 12) yang membezakan diantara satu kumpulan etnik dengan kumpulan etnik yang lain ialah adat resam, pola-pola kekeluargaan dan kekerabatan, agama, bahasa dan nilai kumpulan etnik berkenaan. Beliau mengatakan demikian”..... as a collectivity within a larger society having real or putative common ancestry, memories of a shared historical past, and a cultural focus on one or more symbolic elements defined as the epitome of their peoplehood”. Sebagai contoh daripada berbagai unsure simbolik tersebut meliputi “ kinship patterns, physical contiguity (as in localism or sectionalist), religious patterns, language or dialect form, tribal affiliation, nationality, phenotypical feature, or any combination of these”.

Koentjaraningrat (1990) antropolog Indonesia memberikan batasan sebagai berikut:

“Suatu golongan manusia yang terikat dalam kesadaran dan identitas akan kesatuan, kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali (tapi tidak selalu) diikatkan oleh kesatuan bahasa pula”

Sementara Gardner dan Aronson, 1968: 3 mendefinisikan etnis demikian:

“A collection of people considered themselves and by other people to have in common one or more of the following characteristics: a) Religion; b) Racial origin (as indicated by identitifiable physical characteristics); c) National origin; d) Language & cultural traditions.”

Jadi sebuah kumpulan yang disebut etnis memerlukan karakteristik-karakteristik tertentu seperti agama, ras pribumi, wilayah dan budaya dan tradisi tersendiri.

Thompson (1991 dalam Baron dan Byrne, 1994) mengemukakan bahwa aspek-aspek yang terkait dengan kumpulan etnis adalah aspek fisikal, aspek psikologis dan aspek sosial budaya. Menurutnya aspek fisikal ialah mengenai rasa penerimaan diri atas atribusi fisikal darpada etnis atau ras seperti warna kulit, jenis rambut, dan bentuk fisiologis lainnya. Pada aspek psikologis hal ini menunjukkan rasa kepedulian pada komitmen pada kumpulan etnis atau ras, termasuk rasa bangga pada keahlian dan tanggung jawab pada kumpulannya. Dan yang terakhir, aspek sosial budaya merupakan perwujudan tingkah laku individu terhadap masalah sosial budaya dan isu-isu kemasyarakatan.

1.2. Etnisitas

Merujuk kepada Barker (2005: 255) bahawa etnisitas, ras dan kebangsaan merupakan “titik simpul” identitas yang paling menetap dimasyarakat barat moden. Seterusnya beliau mengatakan bahawa Etnisitas merupakan suatu konsep budaya yang berintikan penganutan norma, nilai, keyakinan, symbol, dan praktik budaya bersama. Etnisitas merupakan suatu konsep relasional yang terkait dengan kategori-kategori identifikasi diri dan askripsi social. Apa yang kita piker sebagai identitas kita tergantung pada apa yang kita pikir bukan identitas kita. (Barker, 2005 ; 258). Etnisitas lebih tepat dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas yang disusun dan dipertahankan dalam kondisi-kondisi sosiohistoris tertentu ( barth, 1969 dalam Barker, 2005 ; 257)

Etnosentrisme

Sumner (dalam Schaefer & Lamm, 1997) menyebutkan bahwa etnosentrisme merujuk pada kecenderungan kumpulan berasumsi bahwa dirinya lebih tinggi dan maju ketimbang kumpulan lainnya. Hal ini yang kemudian diadaptasi oleh kumpulan etnis yang merasa budaya dan cara hidupnya lebih tingggi dan maju ketimbang kumpulan etnis lainnya. Sekiranya seorang yang etnosentris akan merasa bahwa budaya kumpulan lain (yang bukan bagian dari kumpulan dirinya) merupakan penyimpangan dari “normal”. Hal ini muncul sebagai akibat tidak saling kenalnya antarsuku bangsa. Sementara itu rasisme tetap dianggap sebagai masalah kekolotan pribadi ketimbang ketimpangan social. (Barker, 2005 ; 281).

1.4. Kondisi Mayoriti-Minoriti

Hubungan antarkumpulan memiliki banyak bentuk. Salah satunya yang akan dibahas adalah bentuk mayoriti-minoriti. Sering kita mendengar kata mayoriti-minoriti. Secara am mayoriti dianggap sebagai “yang berjumlah lebih besar” dan minoriti berarti “yang berjumlah lebih kecil”. Kinloch (1979, dalam Sunarto, 1999), sosiolog mencoba mendefinisikan konsep mayoriti-minoriti dengan mengajukan pemahaman mayoriti sebagai:

“any power group that defines itself as normal and superior and others as abnormal and inferior on the basis of certain perceived characteristics and exploits or discriminantes against them in consequence.”

Berangkat dari pemahaman tersebut maka mayoriti berarti suatu kumpulan kekuasaan. Kumpulan tersebut menganggap dirinya normal sementara kumpulan lainnya (yang oleh Kinloch selanjutnya disebut sebagai minoriti) dianggap tidak normal serta lebih rendah karena dinilai karakteristik tertentu (semisal fisik, budaya, tingkah laku, dll.). Akibat dari anggapan itulah maka acapkali kumpulan minoriti mengalami macam-macam bentuk eksploitasi dan diskriminasi.

Sebagai tambahan bahwa kondisi mayoriti (yang ditandai dengan “kelebihan” kekuasaan) tidak senantiasa dikaitkan dengan jumlah anggota kumpulan. Bisa saja ada kumpulan kecil tapi menguasai kumpulan yang lebih besar .

0 komentar: