Minggu, 28 Desember 2008
Menurut Lukmantoro (2008:2) Politik identiti adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan. Kemunculan politik identitas merupakan respon terhadap pelaksanaan hak-hak asasi manusia yang seringkali diterapkan secara tidak adil. Lebih lanjut dikatakannya bahwa secara konkret, kehadiran politik identitas sengaja dijalankan kelompok- kelompok masyarakat yang mengalami marginalisasi. Hak-hak politik serta kebebasan untuk berkeyakinan mereka selama ini mendapatkan hambatan yang sangat signifikan.
Politik Identitas ini terkait dengan upaya-upaya muali sekedar penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai-nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni penentuan nasib sendiri atas dasar keprimordialan. Dalam format keetnisan, politik identitas tercermin mula dari upaya memasukan nilai-nilai kedalam peraturan daerah, memisahkan wilayah pemerintahan, keinginan mendaratkan otonomi khusus sampai dengan munculnya gerakan separatis. Sementara dalam konteks keagamaan politik identitas terefleksikan dari beragam upaya untuk memasukan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk menggejalanya perda syariah, maupun upaya menjadikan sebuah kota identik dengan agama tertentu.
Secara teoritis munculnya politik identitas merupakan fenomena yang disebabkan oleh banyaknya faktor seperti : aspek struktural berupa disparitas ekonomi masa lalu dan juga masih berlanjutnya kesulitan ekonomi saat ini yang telah memberikan alasan pembenaran upaya pemisahan diri sebuah kelompok primordial yang bertautan dengan aspek keterwakilan politik dan istitusional.
Dalam konteks keterwakilan politik belum meluas dan melembaganya partisipasi danketerwakilan politik masyarakat secara komprehensif telah memicu munculnya kebijakan yang diskriinatif dan eksklusif yang pada akhirnya memperkuat alasan kebangkitan politik identitas.
Menurut Barker (2005:217), Karena terdorong perjuangan politik serta minat terhadap filsafat dan bahasa, ’identitas’ berkembang menjadi tema utama kajian budaya di era 1990-an. Politik feminisme, etnisitas, dan orientasi seks, juga tema-tema lain, menjadi minat utama yang memiliki kaitan erat dengan politik identitas.
Politik Identitas didasarkan pada esensialisme strategis, dimana kita bertindak seolah-olah identitas merupakan entitas yang stabil demi tujuan politis dan praktis tertentu. Hall (1993:136) mengatakan bahwa setiap gagasan mengenai diri, identitas, komunitas identifikasi (bangsa,etnisitas, seksualitas, kelas, dan lain-lain), dan politik yang mengalir darinya hanyalah fiksi yang menandai pembakuan makna secara temporer, parsial, dan arbitrer. Politik tanpa penyisipan kuasa secara arbitrer kedalam bahasa, pemotongan ideologi, pemosisian, persilangan arah, retakan adalah mustahil.
Camen dan Champion mengatakan Bahwa, “identitas dari suatu etnik adalah integrasi dari etnisiti dan perasaan kesamaan ras dalam sutu konsep diri. Harus diakui bahwa etnisitas juga merupakan salah satu akibat dari identitas diri yang mengalir dari nilai, tata cara, gaya, dan latar belakang individu seseorang. Identitas etnik tidak mengalir dari opini atau prasangka yang berkembang dalam suatu masyarakat luas. Identitas etnik dibangun dari dalam” (Carmen Guanipa-Ho, 1998). Ini juga berarti setiap orang mempunyai identitas personal mulai dari jenis kelamin, warna suara, gaya bicara, tipe wajah hingga status perkawinan, jumlah anak, tingkatpendidikan dan tempat tinggal. Setiap orang juga mempunyai identitas etnik atau suku bangsa yang dapat dikenal melalui pakaian dan makanan, bahasa, adat-istiadat dalam perkawinan, kelahiran, inisiasi, dan kematian. Identitas kelompok etnik merupakan kunci untuk membentuk identitas manusia sebagai perkembangan manusia.
Konsep- konsep tentang identitas dan bahkan identitas itu sendiri semakin dipandang sebagai akibat dari adanya sebuah interaksi yang dinamis antara konteks (dan sejarah) dengan construct. Eriksen (1993) telah menunjukan sebagian dari proses proses yang terlibat dalam konstruksi histories identitas etnik dalam kasus orang-orang India yang bermigrasi ke Mauritius dan Trinidat. ( Mauneti, 2004:25).
Picard (1997) dalam Mauneti (2004:29) mengatakan bahwa identitas etnis dibangun sesuai dengan situasi yang ada. Demikianpun Eriksen (1993:117) mengatakan bahwa identitas itu sifatnya situasional dan bisa berubah . Sifat penanda identitas yang stuasional dan selalu dapat berubah ini tampak jelas dengan dimasukannya perbedaan agama ke dalam konstruksi identitas. Dalam konteks Kalimantan misalnya ke-dayak-an seseorang pun dikaitkan dengan agama Kristen dan dipertentangkan dengan Islam. Bila seorang Dayak masuk Islam, mereka tidak lagi dianggap sebagai Dayak, tetapi justeru menjadi orang ’Melayu’ (lihat Coomans, 1987). Sejalan dengan itu Winzeller (1997:219) menengarai bahwa dikalangan Dayak Bidayuh” biasanya menjadi Muslim berarti tidak lagi menjadi Bidayuh. King (1982:38) juga mengatakan hal yang sama suku Taman di Kapuas Hulu yang memeluk Islam akan menjadi seorang Melayu.
Penanda-penanda identitas ’budaya’ bisa berasal dari sebuah kekhasan yang diyakini ada pada agama, bahasa dan adat pada masyarakat yang bersangkutan (Mauneti,2004:30). Namun tidak sesederhana itu pula, karena King juga mengatakan bahwa konstruksi identitas budaya bersifat kompleks sebahagian karena konstruksi ini merupakan salah satu produk sejarah.
8.1.2. Teori Konversi agama dan transformasi Etnik
Konversi berasal dari kata “conversio” yang berarti tobat, pindah, dan berubah (agama). Selanjutnya dalam kosakata Inggris, kata tersebut dipakai (conversion) dengan pengertian berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke keadaan atau agama yang lain. Jadi, konversi agama (religious conversion) secara umum dapat diartikan dengan berubah pendirian terkait ajaran agama atau bisa juga berarti masuk agama. Max Heirich mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya. Starbuck memetakan konversi agama kedalam dua tipe: (1) tipe volisional atau perubahan bertahap; dan (2) tipe self-surrender atau perubahan secara drastis.
Pada awalnya terdapat dua hal pada pikiran orang yang akan berkonversi: Pertama, rasa ketidaklengkapan atau kesalahan yang ada pada masa kini, "dosa" yang darinya orang itu sangat ingin terbebaskan; dan kedua, ideal positif yang sangat ingin ia raih. Bagi sebagian besar dari kita, kesadaran akan kesalahan kita merupakan sebuah fakta kesadaran yang jauh lebih jelas dibandingkan dengan imajinasi ideal positif yang menjadi tujuan kita. Bahkan dalam sebahagian besar kasus, "dosa" hampir selalu menguasai perhatian, sehingga konversi adalah "sebuah proses perjuangan melepaskan diri dari dosa, bukan upaya untuk mencapai kesalehan".
Proses konversi seperti dikemukakan William James menjadi model konversi berarti pertobatan dari merasa diri benar sendiri dan egois akhirnya menemukan kebahagiaan karena merasa dekat dengan Tuhan dan muncul pula perasaan perduli kepada orang lain. Inti konversi dari perspektif ini adalah "bangkitnya gairah" dan "penuh minat" terhadap agama yang baru dipeluknya itu.
Selain teori di atas Willem James juga mengemukakan teori "transformasi", bahwa konversi terjadi secara terus menerus. Teori ini tidak hanya melihat konsep konversi sebagai perpindahan agama, melainkan juga proses berkelanjutan dalam mentaati agama yang dianutnya.
Menurut George Coe Spilka, salah satu kriteria utama dalam konversi adalah suatu perubahan yang sangat besar dalam diri. Perubahan ini bukan suatu persoalan kematangan yang sederhana tetapi teridentifikasi dengan satu keputusan yang sangat tipis sekali, antara secara tiba-tiba atau secara bertahap untuk menerima suatu perspektif lain yang dalam perspektif baru itulah dari yang baru itu dapat diidentifikasi. Bisa jadi perubahan dalam diri itu adalah suatu perubahan dalam gaya atau cara hidup yang sama sekali baru atau perubahan yang baru ini terlihat demikian tinggi sehingga subjek merasa terbebaskan dari dilemma hidup masa lalu yang kurang bernilai.
Aliran obyektivisme dalam Psikologi Sosial berpandangan sebaliknya bahwa masyarakatlah yang menentukan individu, atau dikatakan dengan istilah lain faktor sosiologislah yang menentukan faktor psikologis. Dalam konversi agama pun salah satu penyebabnya berasal dari faktor luar, yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok. Kekuatan dari luar ini kemudian menekankan pengaruhnya terhadap kesadaran, mungkin berupa tekanan batin sehingga memerlukan penyelesaian oleh orang yang bersangkutan.
Fuat Deniz mengemukakan bahwa kini diperkirakan ada 300 juta orang di muka bumi yang merasa sebagai penduduk asli dengan identitas etnik tertentu. Meskipun konsep penduduk asli masih dapat diperdebatkan, keberadaan penduduk asli di seluruh dunia dapat dikategorikan pertumbuhannya melalui tiga cara yang berbeda: (1) penduduk asli, dan penduduk asli yang ditetapkan di saat berakhirnya masa penjajahan; (2) batas-batas negara ditinjau kembali, artinya batas-batas itu tidak lagi ber dasarkan garis batas etnik (ethnic line); dan (3) migrasi dari satu negara kenegara lain; penduduk asli kemudian menjadi penduduk pertama yang berdiam di tempat yang baru didatangi itu.
Perkembangan terakhir menunjukan bahwa dari 300 juta orang yang merasa sebagai penduduk asli itu, sebagian besar mulai merasakan tidak saja pergeseran makna, tetapi pergeseran status dan peran mereka dalam masyarakat. Bahkan disebagian besar negara, penduduk asli yang tadinya mayoritas kini berubah menjadi kelompok minoritas etnik. Sekurang-kurangnya ada tiga “gelombang” modernisasi yang mempengaruhi komunitas dan identitas etnik, yaitu:
1) Modernisasi yang dialami oleh etnik-etnik penduduk asli antara abad ke-19 dan ke-20.
2) Transpormasi itu makin terasa saat negara-negara modern menerapkan batas-batas wilayah pemerintahan sehingga mengganggu identitas kolektif.
3) Migrasi dari bangsa-bangsa barat ke timur maupun gelombang migrasi bangsa timur ke barat di paruh abad ke-20 hingga ke-21.
Fuad mengatakan bahwa keberadaan penduduk asli sekarang mulai “tergugat”, karena telah timbul beberapa gejala berikut:
1) Orang-orang yang dikategorikan sebagai warga keturunan yang mempertahankan suatu wilayah tertentu sebelum diinvasi atau dipindahkan. Artinya, mereka lebih dulu tinggal disana (kini mulai dipindahkan, digusur!).
2) Orang-orang keturunan etnik asli kini secara politis tidak lagi merupakan kelompok dominan.
3) Ada perbedaan budaya antara penduduk asli dan kelompok dominan (kelompok dominan menggeser peran penduduk asli).
Pergeseran penduduk asli itu digambarkan oleh Fuad sebagai terbentuknya suatu kategori bangsa-bangsa “dunia keempat”. Pergeseran penduduk asli dari “dunia ketiga” ke “dunia keempat” itu bukan baru terjadi sekarang. Setiap bangsa yang pernah dijajah tahu betul kelakuan para penjajah. Ketika para penjajah memasuki wilayah geografis tempat tinggal penduduk asli, mereka mengubah batas tanah, mengubah tradisi dan sejarah kehidupan mereka sebagai penduduk asli. Disini patut di ingat bahwa masalah penduduk asli itu juga muncul karena dua hal: pertama, perubahan pandangan terhadap kesamaan status dari semua suku bangsa: bahwa sebagai warga negara, setiap suku bangsa memiliki otonomi yang sama tanpa campur tangan pihak lain. Kedua, secara historis faktor sejarah juga tidak memberikan jaminan self determinatiaon bagi keamanan hidup penduduk asli.
8.1.3. Teori Difusionisme- Faktor Sejarah
Teori Difusionisme menyatakan kebudayaan masyarakat sejagat terbentuk hasil daripada proses ’pinjam-meminjam’ daripada kebudayaan lain. Teori ini di gagaskan oleh Frans Boas, seorang ahli antropologi Amerika Syarikat kelahiran Jerman pada awal abad ke-20. (Anwar Din, 2008:40). Teori beliau dinamakan juga historical particularism kerana teori itu menyatakan setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang mempunyai ciri-ciri keunikan tersendiri. Ini kerana setiap masyarakat mengalami sejarah yang berbeza.
Teori ini tidak memberi ’hukum’ tetapi melihat bahawa perubahan yang berlaku pada sesuatu kebudayaan bergantung kepada peristiwa yang terjadi dalam sejarah yang dilalui oleh masyarakat berkenaan. Teori ini menyatakan setiap masyarakat melakukan proses ’pinjam-meminjam’. Daripada proses pinjam-meminjam inilah terbentuk sesuatu kebudayaan.
Sungguhpun begitu, teori ini juga menyatakan sesuatu masyarakat melakukan ’inovasi secara dalaman’. Inovasi dalaman itulah yang memungkinkan berlakunya difusi (pinjam-meminjam). Kebudayaan terbentuk kerana inovasi dalaman menjadi ’tapak’ kepada perkembangan seterusnya. Sekiranya tidak berlaku inovasi dalaman maka tidak akan berlaku difusi.
Teori ini masih relevan sehingga hari ini. Teori ini cukup berpengaruh, terutamanya dalam memperkatakan tentang modernisasi dan pembangunan di Negara-negara sedang membangun. Ini kerana terbukti bahawa negara-negara tersebut meminjam banyak unsur daripada peradaban Barat, khususnya dalam bidang sains dan teknologi.
8.1.4. Fenomenologi
Fenomenologi adalah suatu kaedah penelitian yang ’melihat dari dalam’ masyarakat itu sendiri. Fenomenologi tidak mementingkan teori tetapi lebih menekankan fakta sebenar. Pendekatan ini menyarankan supaya penjelasan tentang sesuatu perkara harus didahului oleh ’fakta’ yang terdapat dalam masyarakat berkenaan, bukannya didahului dengan penggunaan teori. Tokoh penting pendekatan ini ialah Edmund Hesserl (1930-an), seorang ahli fikir Jerman (Anwar Din, 2008: 46).
Menurut Edmund Hesserl penelitian tentang sesuatu kebudayaan harus dilihat darpada kaca mata masyarakat yang mendokong kebudayaan itu sendiri. Pendekatan seperti ini dinamakan juga ’deskripsi secara empati’, iaitu pengkaji mengalami sendiri cara kehidupan masyarakat yang dikaji dan merasa penuh simpati terhadapnya. Dengan cara ini barulah sesuatu kajian itu dapat menjelaskan pengertian sebenar sesuatu kebudayaan.
Fenomenologi bukanlah suatu teori tetapi suatu ’falsafah’. Fenomenologi adalah satu falsafah yang bersifat berkecuali, iaitu tidak terikat pada mana-mana teori. Fenomenologi mengembalikan kepentingan kajian bersifat deskriptif, iaitu menekankan fakta yang selama ini diabaikan oleh para pengkaji kerana terlalu ghairah dengan teori. Suatu deskripsi yang menyeluruh dan mendalam serta diasaskan kepada fakta-fakta sahih akan dengan sendirinya menjelaskan sifat sesuatu kebudayaan. Fenomenologi adalah pendekatan yang paling berpengaruh pada hari ini.
8. 2. Pengaruh Agama Kristen dan Islam
Di Kalimantan Barat pada umumnya, hubungan Orang Melayu Sambas —Dayak berada pada situasi yang unik. Cerita lisan seperti yang dikutip Bambang Hendarta (1999) mengenai asal-usul orang Dayak dan Melayu di Sambas serta cerita-cerita lisan dari berbagai daerah di provinsi ini menyiratkan bahwa orang Dayak maupun orang Melayu berasal dari satu garis nenek moyang. Syahzaman dan Hasanuddin (2003) bahkan secara eksplisit mengatakan bahwa Dayak dan Melayu “..mempunyai satu asal nenek moyang yaitu Proto Melayu dari Melayu Austronesia”. Mengenai asal usul orang Melayu, King (1993, p. 31) mengatakan bahwa sebagian besar dari kelompok ini berasal dari orang-orang bebas (bukan budak) penduduk asli pulau ini yang menjadi Islam.
Penduduk asli—yang sekarang diistilahkan sebagai Dayak—setelah proses menjadi Islam ini kemudian di-reklasifikasikan menjadi Melayu. King (1993) menambahkan bahwa ada kelompok Islam lain yang menambah jumlah kelompok Melayu ini, yakni orang Bugis dari Sulawesi Selatan (p. 33). Mengapa orang Dayak yang menjadi Islam kemudian dinamakan Melayu adalah karena di antara yang membawa pengaruh Islam tersebut adalah orang-orang Melayu (Bambang Hendarta,1999: 30).
Dari catatan-catatan masa lalu yang dikutip oleh King (1993, p. 122-123) hal ini nampak jelas. Pada tahun 1504 atau 1505, Ludovico Varthema dari Bologna mencatat bahwa kapal mereka tiba di sebuah pulau bernama Bornei (Sebutan untuk pulai ini pada masa itu) di mana mana penduduknya adalah orang-orang orang-orang yang bukan pemeluk agama (pagan). Pada tahun 1514 Kapten Jendral Portugis yang berkuasa di Malaka menulis kepada Raja Portugal Manuel I mengenai rombongan yang datang ke Malaka dari Borneo; rombongan tersebut terdiri dari 3 kapal (junk): rajanya bukan pemeluk agama (pagan) tetapi pedagangnya adalah orang Mor (Moor=pemeluk agama Islam). Pada tahun 1515 Tomé Pires mencatat bahwa hampir semua penduduk Borneo bukan pemeluk agama (istilah yang dia gunakan heathan) namun ada satu wilayah yang terkemuka yang didiami oleh orang-orang Muslim; ini terjadi tidak lama setelah sang Raja menjadi Muslim.
Dari catatan-catatan ini kita dapat mengambil Kesimpulan sementara bahwa datangnya orang-orang Melayu ke Kalimantan bersamaan dengan penyebaran agama Islam dan terutama di Brunei hal itu terjadi pada kurun waktu 1504—1515 di mana proses Islamisasi terjadi pertama-tama pada lingkungan kerajaan yang kemudian baru diikuti oleh rakyatnya. Vleming, seperti dikutip Bambang Hendarta (1999, p. 28-30) menghubungkan Islamisasi sebagian elite Dayak ini sebagai mobilitas vertikal dan mengkategorikannya sebagai segregasi sosial: “…Dengan menjadi orang Melayu, pada umumnya mereka menganggap dirinya sudah melakukan mobilitas sosial vertikal dari status rendah sebagai orang Dayak meningkat menjadi orang Melayu.” Dari sisi orang Melayu, hal ini menguntungkan dalam hal klaim mengenai asal-usul: “…Pada sisi lain, melalui proses Melayunisasi orang Dayak yang masuk Islam maka suku Melayu dapat memiliki kapasitas sebagai “pribumi asli” yang sama kedudukannya dengan orang Dayak.”
Realitas historis ini cukup penting untuk memahami relasi Dayak—Melayu pada masa kini. Seperti telah dikemukakan di atas, para penganalisis persoalan yang berhubungan dengan etnisitas tidak banyak mengupas mengenai relasi antaretnis. Eriksen (1993), misalnya hanya mengatakan bahwa bahwa relasi-relasi antaretnik dapat berada dalam situasi keterbukaan atau ketertutupan, dominasi atau kesetaraan; bisa saja terdapat korelasi antara relasi interetnik dengan persoalan pembagian kerja.
Sebagaimana uraian terdahulu bahwa orang Dayak pada dasarnya menerima pengaruh luar yang masuk ke daerah mereka. Lebih 500 tahun mereka berada dalam pengaruh Hindu dan Budha, setelah sebelumnya hidup dalam’ paganisme’.
Dari penelusuran sejarah di Selako tua terungkap bahwa penduduk di sana hampir semuanya telah memeluk Islam. Demikianpun penduduk Dayak lainnya di sepanjang aliran sungai Selako. Sekarang yang paling muda daripada mereka yang Islam sudah generasi ketiga bahkan ada yang kelima. Mereka yang Islam ini menyebut diri mereka melayu Sambas. Peningkatan kualiti ke-Islaman Melayu di Selako tua ini baru terjadi pada generasi kedua dan seterusnya. Generasi pertama yang masuk Islam biasanya masih juga mengamalkan sebagian dari ritual tradisionalnya, terutama yang berkaitan dengan kehidupan ’ magis’ kecuali ’ makan babi’.
Sikap orang Dayak yang selalu dipengaruhi oleh ’budaya luar’ inilah yang mempercepat berkembang pesatnya Islamisasi di kawasan ini. Dari penelitian Yusriadi (2006)di Embau diketahui bahwa’ apabila pada saat yang sama banyak orang akan memeluk Islam, maka mandi srotunya dilakukan secara beramai-ramai dengan membuat lumpur di sungai dan ketika air keruh , semua orang yang akan masuk Islam tadi mandi secara bersama-sama di sungai yang airnya keruh tersebut. Dari cerita nenek di Selako tua tadi, hal yang demikian dulunya terjadi juga. Orang Dayak secara beramai-ramai masuk Islam pada saat yang sama.
Posisi geografis Sambas di daerah Pesisir yang diunjang kemudahan sarana transportasi sungai juga turut mempengaruhi Islamisasi di daerah ini. Adapun kampung sasak dan seterusnya hingga ke Biawak (malaysia) orang Dayak Selako tidak masuk Islam, karena daerah ini memang terisolir sehingga sulit dijamah oleh pengaruh luar. Sampai tahun 1990 tidak ada transportasi darat ke daerah ini kecuali dengan perahu dan motor air sampai di Desa santaban saja. Seterusnya ke daerah pedalamannya mesti dengan jalan kaki puluhan kilometer. Andaikan daerah ini mudah di akses, diyakini mereka juga sudah Islam semua, hal ni diakui Dolaher yang berusia 60-an tahun. Dari beliau diketahui pula bahwa tidak ada informasi penolakan Islam di daerah mereka, tidak ada juga perang akibat persoalan agama ini.
Agama Kristen masuk pada daerah-daerah yang terisolir begini. Para misionaris sanggup berjalan kaki puluhan kilometer untuk mengunjungi kampung-kampung di pedalaman. Hal demkian tampaknya tidak mampu dilakukan oleh penyiar-penyiar agama Islam. Di setiap kampung yang didatangi mereka disambut ’bak-tamu istimewa’, mereka dipanggil Tuan. Misisonaris fase pertama di kalbar beruntung menemukan kampung Nyarumkop, kawasan yang didiami Dayak Selako. Kampung in sebenarna berada di pesisir juga tetapi belum tersentuh oleh Islam ketika itu. Di kampung yang strategis inilah dibangun persekolahan katolik yang peryama dan bermutu hingga hari ini. Proses kristenisasi di seanteroi Kalimantan Barat boleh dikatakan digodok dan dikembangkan dari kampung ini. Orang dayak dididik menjadi guru di sini. Guru-guru tersebut kemudian berperan besar menyiarkan dan membantu misonaris untuk menyebarkan agama Kriste/ khususnya Khatolik di seantero Kalimantan Barat.
Di Sambas tidak ditemukan data perang agama. Penduduk yang sudah Islam tetap dengan ke-islamannya sementara yang Kristen terus dengan ke-kristenannya. Islam berada pada daerah-daerah yang mudah di akses dunia luar (pinggir pantai dan Daerah aliran Sungai besar) sementara kristen berada di daerha pedalaman yang relatif sulit dijangkau. Akses ke kampung-kampung Dayak yang kristen baru mudah dijangkau ketika pembangunan jalan raya dilakukan pemerintah. Pembangunan jalan ini di Kabupaten sanggau misalnya ternyata membuat sebaliknya, melayu yang dulunya mudah di akses karena bermukim dipinggir sungai Kapuas sehingga dilalui setiap hari oleh motor-motor air, sekarang justru sulit diakses karena angkutan sungai hampir hilang. Sekarang yang mudah diakses adalah kampung-kampung Dayak yang Kristen karena kampung mereka dilintasi jalan Raya yang setiap hari dilewati kendaraan mobil maupun sepeda motor .
Dalam suatu kurun waktu tertentu, identitas juga bisa berubah, dihilangkan atau mengantinya dengan identitas baru. Menurut Connoly (2002:64) sebagai berikut :
An identity is established in relation to a series of differences that have become socially recognized. These differences are essential to its being. If they did not coexist as differences, it would not exist in its distinctness and solidity. Entrenched in this indispensable relation is a second set of tendencies, themselves in need of exploration, to conceal established identities into fixed forms, thought and lived as if their structure expressed the true order of things. When these pressures prevail, the maintenance of one identity (or field of identities) involves the conversion of some differences into otherness, into evil, or one of its numerous surrogates. Identity requires differences in order to be, and it converts difference into otherness in order to secure its own self-certainty.
Struktur sosial masyarakat Dayak, dapat diubah oleh pengaruh agama yang masuk sebelumnya. Kita dapat melihat pengaruh Hindu misalnya Budha dan Islam. Orang Arab dengan latar belakang Islam dan orang Eropa dengan latar belakang Kristen ikut mengubah institusi sosial di Kalimantan. Kühr (1995 : 78) mencatat pada tahun 1892, di Serawai, Kabupaten Melawi , menemukan monumen Hindu dari zaman dahulu, yang dianggap sebagai tempat suci untuk meletakkan sesajen oleh orang Melayu dan Dayak agar panennya dikabulkan. King (1978 : 2) menyatakan bahwa pembelahan (fission) dan perpaduan (fusion) sosiokultural terjadi karena anggota masyarakat sering meminjam unsur-unsur sosial yang semakin lama semakin mempersulit kategorisasi kelompok etnik. Enthoven menjelaskan dalam buku yang ditulis pada tahun 1903 (King, 1978 : 3) bahwa masyarakat Dayak di Kalimantan Barat yang baru masuk Islam, yang dalam bahasa daerah mereka disebut sanganan atau turun Melayu. Mereka tidak melepaskan kebiasaan tinggal di rumah panjang, minuman tradisional yang beralkohol dan makan jenis daging yang menurut ajaran Islam tidak halal. Nilai atau kepentingan sosial bersama mewujudkan struktur sosial masyarakat. Radcliffe Brown (1980: 223) menyatakan bahwa hubungan sosial tidak muncul dari persamaan kepentingan tetapi diwujudkan dari kepentingan bersama sampai meninggal dunia, dan juga mengikuti siklus alam dan irama hidup. (Van Gennep 1960 : 194)
Penyebaran agama kristian merupakan dasar pemerintah penjajah Hindia Belanda dikalangan suku-suku bangsa bukan Islam. Khususnya di kalangan suku bangsa Dayak Selako. Oleh sebab itu, Belanda sengaja menyekat kemasukan agama Islam di pedalaman sungai Selako. Agama kristian telah disebarkan secara besar-besaran pada tahun 1880-an ( Omar, 1999:33). Salah satu sebab utama mudahnya orang dayak Selako masuk Kristian kerana agama ini melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan adat resam Dayak yang pra-kristian, bahkan adat resam ini masih dikekalkan. Hal ini khususnya dilakukan oleh agama Katolik.
Penyesuaian seperti ini telah menyebabkan suku Dayak Selako menganuti agama kristian beramai-ramai kerana struktur masyarakat mereka tidak diancam. Suatu kesan yang amat ketara ialah penubuhan sistem sekolah yang didirikan oleh mubaligh-mubaligh Kristian di daerah Selako, misalnya didirikan Sekolah pertama di Nyarumkop pada tahun 1917. Sekolah ini amat bermutu, sehingga ramai tokoh-tokoh tua Dayak di Kalimantan Barat adalah pelajar di sekolah ini.
Agama Kristian telah memperkenalkan perubahan-perubahan yang amat ketara terhadap struktur masyarakat Dayak Selako. Yang amat penting ialah kemudahan-kemudahan kebendaan seperti sistem persekolanan yang bermutu tinggi, hospital dan institusi-institusi kebajikan yang lain. Ekoran daripada ini cita-cita kebendaan suku Dayak Selako dan Suku Dayak lainnya meningkat. Keterangsingan masyarakat Dayak telah tamat dan ciri-ciri dinamis dan perubahan sosial secara progresif telah dijadikan salah satu daripada nilai-nilai sosial suku Dayak yang disanjung.
Bagi suku Dayak Selako seolah-olah agama Kristian telah memberi sahala (kuasa) yang lebih unggul kepada mereka. Gereja mengukuhkan lagi kekuatan suku di kalangan berbilang kaum di kalimantan Barat. Muncul pula suatu kesedaran tentang kebolehan diri mereka, motivasi terhadap peningkatan kebendaan masyarakat Dayak, dan ini menjadikan militansi Dayak dikemudian harinya. Penubuhan parti Persatuan Dayak pada tahun 1959 adalah hasil nyata daripada proses ini.
Dalam soal agama ini, dasar Belanda yang menekankan dasar pecah dan perintah telah menimbulkan suatu keadaan ketegangan antara suku-suku bangsa di Kalimantan Barat. Islam di dapati di 80 peratus wilayah Sambas, sepanjang sungai Kapuas sampai ke Putussibau, sepanjang sungai mempawah, sungai Landak, Sungai Pawan dan Sukadana. Tetapi di bagian pedalaman yang jauh dari aliran sungai agama Kristian bertapak disitu oleh kerana Belanda telah menyekat Kemaraan Islam kesana. Penyekatan di Sungai Kapuas dilakukan Belanda dengan menubuhkan gereja di Sejiram, bahkan gereja disini adalah yang mula-mula di Kalimantan Barat.
Sehingga kini di Kalimantan Barat perasaan suku amat kuat, dan jelaslah bahawa agama Kristian dan agama Islam tidak berjaya mengatasi sentimen ini. Perpecahan menurut suku begitu ketara dan agama Islam serta Kristian memperkuat perpecahan ini.
Menurut Sellato (2002 : 128) aktivitas orang Dayak sebenarnya beradaptasi dengan lingkungannya dan juga tergantung sosialisasi dengan suku tetangganya. Dia berpendapat bahwa kelompok nomaden, hunter and gathers, yang tinggal di pelosok secara pindah-pindah, dan juga tinggal jauh dari kelompok lain mereka senantiasa berswadaya. Kelompok Dayak lain juga beradaptasi dengan lingkungannya tetapi mereka tidak berswadaya secara menyeluruh seperti kelompok yang disebut di atas. Ada juga kelompok ketiga, yang berasimilasi total dengan pendatang baru, mereka tetap bertani dan membudidayakan binatang-binatang tertentu dan mungkin juga mengadopsi bahasa dari imigran sekitarnya. Bahasa Dayak menurut para ahli linguistik diklasifikasikan sebagai Malayo Polynesia dari keluarga bahasa Austronesia (www.ethnologue.com : 2004). Menurut hipotesis Adelaar, Borneo dilihat sebagai homeland, daerah asal, bahasa Malay(ic) (Adelaar 2004 : 4). Ada ahli bahasa lain yang berpendapat bahwa homeland bahasa Malayic berada sekitar 100 kilometer dari hulu sungai Sambas, tetapi pendapat itu harus dipertimbangkan dengan hati-hati, karena belum cukup data yang mendukung hipotesis itu, menurut Adelaar. Walaupun ada persamaan keluarga bahasa, namun tidak harus memiliki persamaan etnis. Belum cukup temuan arkeologis yang didapat untuk membuktikan asal usul orang Dayak. Hipotesis-hipotesis dan tulisan tersebut di atas hanya mengindikasikan bahwa suku Dayak sudah lama berada di Kalimantan.
Tampaknya sekitar abad ke-11 suku Melayu masuk (atau kembali) ke Sambas, Mempawah, Sanggau, Sintang dan kemudian menyebar ke tempat lain. Menurut pendapat umum agama Islam menyebar ke Kalimantan sekitar abad ke-15. Ini menunjukkan bahwa Islam masuk setelah orang Melayu dan Jawa membawa unsur-unsur agama Hindu dan budaya dari zaman Sriwijaya dan juga dari zaman Majapahit ke Kalimantan. Salah satu Kerajaan Hindu tertua di Kutai didirikan sekitar abad keempat, tepatnya di Kalimantan Utara. Disebutkan bahwa di candi Borobudur ada gambar laki-laki dengan telinga panjang yang sepertinya menggunakan sumpit yang panjang. Relief ini mungkin melukiskan orang Dayak (Avé 1986 : 13). Menurut Kühr (1995 : 53) dewa-dewi orang Dayak yang tinggal di pinggir sungai Kapuas, sebenarnya diberi nama dewa-dewi Hindu-Jawa yang didayakkan seperti; Petara (Batara), Jubata (Déwata) dan Sengiaug (Sang Hyang).
Di samping back migration (merantau kembali) orang Melayu, bangsa Tionghoa berlayar ke pantai Asia Timur pada abad ketiga untuk perdagangan dan kembalinya melalui Kalimantan dan Filipina dengan memanfaatkan angin musim. Bangsa Tionghoa adalah kelompok etnis yang cukup penting dalam sejarah Kalimantan, sehingga sejarah mereka penting disorot.
Sekitar abad ketujuh orang Tionghoa mulai menetap di Kalimantan tetapi mereka tetap bercorak Cina dan hubungan dengan negeri leluhur mereka selalu dipelihara Agama Islam di Kalimantan juga ikut disebarkan oleh orang Tionghoa. Pada tahun 1407 berdiri perkumpulan masyarakat Tionghoa Hanafi yang menganut Islam di Sambas. Laksamana Cheng Ho seorang Hui adalah penganut Islam dari Yunan yang atas perintah Cheng Tsu dan anak buahnya masuk untuk menguasai daerah tersebut. Dia menetap di sana dan menikah dengan penduduk setempat, serta menyebarkan agama Islam kepada penduduk lokal.
Orang Melayu masuk dari Sumatra dan dari Semenanjung Malaka sekitar abad ke-11 atau ke-12 dan berbaur dengan orang Dayak. Pada umumnya mereka mendiami daerahpinggir laut dan menjadi perantara orang luar dan orang Dayak yang ingin menukar atau menjual hasil hutan. Orang Melayu juga berbaur dengan keturunan orang Jawa yang sudah masuk sebelumnya. Seorang Ratu dari keturunan Hindu Majapahit yang memerintah daerah Sambas pindah ke agama Islam untuk memudahkan perniagaan dan mengembangkan hubungan baik dengan Johor dan Brunei yang sudah masuk Islam.
Dewasa ini istilah Melayu digunakan sebagai kontras Dayak dengan Melayu. Istilah Melayu tidak digunakan sebagai referensi etnis tetapi sebagai referensi Islam kontras non-Islam. Peningkatan jumlah besar orang Melayu di Kalimantan disebabkan oleh orang asli atau Dayak yang memeluk Islam dan bukan karena jumlah besar orang Melayu yang merantau ke Kalimantan. Orang Dayak yang memeluk Islam tidak berarti bahwa mereka selalu memeluk secara penuh tetapi mungkin hanya secara Resmi kependudukan sahaja.
Dasar ekonomi kolonial Belanda telah membawa masuk orang Jawa beramai-ramai ke Kalimantan Barat sehingga bilangan suku-suku bangsa asli di sana telah merosot. Untuk melindungi hak-hak suku bangsa asli khususnya orang Melayu, Belanda telah memberi hak-hak istimewa kepada kerajaan-kerajaan Melayu. Dasar ini membuat suku Dayak menjadi sapi perahan kerajaan Melayu. Kebencian orang Dayak kepada Melayu bermula pada saat ini. Namun disadari kemudian bahawa dasar ini memisahkan suku Melayu daripada suku-suku bangsa Indonesia yang lain dan juga mengasingkan orang Melayu daripada arus pergerakan nasionalisme di Indonesia (Omar, 1999:37).
Di Dusun Sasak, sebagaimana di Kabupaten Sambas umumnya, ternyata etnik Melayu yang ada tidak semuanya semuanya Islam. Tercatat dalam 5 tahun terakhir ini ada 11 orang Melayu yang berpindah menjadi Kristen. Sementara pada kurun masa yang sama ada 26 etnik dayak yang pindah ke agama Islam. Di Dusun ini hanya terdapat sebuah mesjid, tetapi di Desa tetangganya Sijang yang mayoriti Islam terdapat 3 mesjid dan 6 surau. Sementara itu Orang dayak di Dusun Sasak ada yang menganut agama Katolik dan ada pula yang menganut agama Protestan.
Agama Islam ini dianuti masyarakat sambas sejak beberapa generasi lalu. Walaupun tarikh mereka memeluk agama Islam tidak diperolehi dengan pasti, tetapi kalau merujuk kepada sumber Belanda (Veth 1854, Enthoven 1903), maka diperkirakan orang Sambas pada umumnya sudah memeluk agama Islam sejak tahun 1750 atau sejak lebih 250 tahun lalu. Perkembangan agama Islam di sambas dapat dikatakan pesat. Hal yang membuatnya demikian kerana islam di sambas dan kalimantan Barat umumnya berjaya mengintegrsikan ajaran agama dengan kebudayaan tempatan. Hanya kebiasaan makan babi saja yang menonjol dilarang dan ini memang sangat sesuai dengan Islam. Merujuk Yusriadi (2007:3) Proses memeluk agama Islam di Kalimantan Barat umumnya cukup khas. Setidaknya dibandingkan dengan ketentuan normative dalam Islam, ada beberapa syarat tambahan yang sifatnya lokalistis. Dalam tradisi masyarakat, prosesi masuk Islam meliputi:
1. Mandi srotu, yaitu mandi dengan air tanah. Di Sambas orang yang masuk Islam dimandikan dengan seember (baldi) air bercampur tanah. Air tersebut disiramkan kepada orang yang masuk Islam. Biasanya siraman pertama dilakukan oleh pemuka agama. Setelah itu orang yang mandi menyiram sendiri. Jika air dalam ember sudah habis, orang yang masuk Islam itu membersihkan diri dengan air bersih. Atau lebih sering mereka mencebur diri ke sungai. Untuk kasus masuk Islam dalam jumlah banyak, proses mandi srotu agak berbeda. Menurut cerita dahulu ketika orang masuk Islam mereka langsung terjun ke sungai yang airnya sudah dikeruhkan. Ada orang tertentu yang ditugaskan mengaduk-aduk tanah di air, di bagian hulu pemandian. Di Riam Panjang dikenal ada Lubuk Melayu, yaitu bagian air yang dalam yang kabarnya pernah digunakan untuk orang mandi srotu. (Lebih jauh soal mandu srotu dapat dilihat dalam Yusriadi, 2002).
2. Sunat. Menurut pandangan masyarakat setempat, orang lelaki yang masuk Islam
harus disunat. Sunat dianggap ciri Islam. Sunat yang dimaksud adalah mengiris kulit bagian ujung kemaluan (kulup). Dahulu, sunat dilakukan oleh dukun di kampung. Seseorang yang akan disunat sejak subuh turun ke sungai dan berendam sampai benar-benar kedinginan. Setelah itu dia didudukkan di atas batang pisang, dan kemudian kulit bagian ujung kemaluan dijepit dengan penjepit khusus milik dukun dari bahan kayu. Bagian ujung jepitan itulah yang diiris dengan pisau atau kadang dengan sembilu’, yakni bagian luar bambu yang ditajamkan. Bekas irisan itu kemudian dibalut dengan obat-obatan khusus dari getah pohon asam kandis. Baru pada akhir tahun 1980-an, orang kampung mengenal sunat mantri. Maksudnya sunat yang dilakukan oleh mantri seperti sunat yang sekarang ini.
3. Bagian-bagian lain seperti membaca syahadat, belajar sembahyang, merupakan ‘pelajaran’ pertama bagi seorang mualaf. Selain simbol fisik yang dapat dilihat pada orang Islam di Riam Panjang, ada simbol fisik pada kampung. Simbol fisik yang dimaksud adalah masjid. Masjid Al-Yaqin merupakan penanda penting bagi identitas ke-Islaman orang kampung di pedalaman.
Orang Dayak Selako menerima Agama Islam tanpa pergolakan yang berarti, hal ini misalnya dapat diungkap dariapada paparan beberapa responden di Selakau Tua, salah satunya Seorang Nenek yang dipanggil Nek Rinai berusia 70-an tahun yang berdiam di Selakau Tua, beliau dengan tegas mengatakan bahwa dia adalah ‘Dayak Salako’ walaupun hanya dia saja lagi yang masih tinggal di tengah-tengah komunitas Melayu Sambas di situ. Nenek ini mengatakan bahwa dulunya kampung dia dihuni oleh Etnik Dayak semuanya. Dia masih sangat jelas mengingat keadaan kampungnya ketika dia masih kanak-kanak. Dia menyaksikan bagaimana prosesnya orang-orang Dayak ketika itu memeluk agama Islam. Menurut dia orang Dayak ketika itu mau menerima Islam karena Islam adalah lambang perubahan. Dengan Menjadi Islam berarti menjadi orang baru. Menurut dia tidak ada perpindahan orang Dayak di kampungnya karena pengaruh Islam, kalaupun ada karena kawin dengan orang Dayak di kampung lain.
Ketika ditanya agamanya nenek ini mengatakan agamanya masih agama ’asli’ tidak Kristen dan tidak Islam tetapi di KTP tertulis Kristen, karena ketika ORBA semua orang harus beragama. Agama Kristen menurutnya masih membolehkan adat-tradisi maka diapun masuk Kristen tetapi belum pernah di baptis apalagi mendapatkan pelajaran agama Kristen.
Arman di Kampung Sasak mengatakan bahwa dia masuk Islam karena mengikuti agama kakeknya di tebas dulu. Dia pindah ke Sasak karena dulunya menoreh di daerah ini dan karena merasa mendapatkan jalan kehidupan maka istrinya yang berasal dari kampung yang sama diboyongnya ke Sasak. Dorahel yang berasal dari kampung batu Itapm di hulu sungai bantanan (hulu Sasak) pindah ke kampung Sasak tahun 60-an, dia pindah dari pedalaman ke hilir. Ketika itu sudah ada beberapa keluarga Melayu di Sasak. Dia bahkan membeli tanah untuk membangun rumahnya sekarang. Dia pindah ke Sasak karena tanah di Sasak dikenal subur, petani di daerah ini selalu mendapat padi melimpah begitupun halnya dengan karet. Karet yang di tanam disini umumnya subur sehingga produksinya tinggi.
Di Kalimantan Barat, Orang Dayak yang masuk Islam di sebut Senganan, sehingga dapat dikatakan bahawa sembilan puluh peratus orang melayu di Perhuluan Sungai kapuas, sungai Landak, sungai Mempawah dan juga di Sambas adalah Senganan. Merujuk Coomans (1987:31) di Kalimantan Timur orang Dayak yang masuk Islam disebut ’Halo’.
Coomans (1987:32) mengatakan bahwa Penggunaan istilah itu menekankan gagasan orang Dayak, bahwa mereka yang masuk agama Islam memisahkan diri dari segala ikatan sosial semula, membuang segala adat yang diwariskan dari nenek Moyang. Bahkan untuk menjaga agar mereka tidak najis, hubungan sosial dengan keluarga-asal semakin dikurangi. Hal itu berarti bahwa persatuan genealogis (keturunan) mereka tinggalkan dan mementingkan persatuan lokal sebagai persatuan umat. Sementara bagi orang Dayak ikatan keturunan sangat penting.
Thambun Anyang (1996: 78) mencatat satu hal yang sangat menarik mengenai proses perpindahan agama ini. Pada waktu zaman kolonial masyarakat suku Dayak yang ingin melanjutkan sekolah yang ditubuhkan kerajaan terlebih dahulu harus masuk Islam supaya tidak diejek sebagai orang kafir atau orang yang dihina sebagai pemotong kepala.
Dapatlah dikatakan bahwa agama Islam merupakan ikatan religius, politik, dan sosio ekonomis sekaligus. Orang dayak yang mengubah identitasnya menjadi Melayu dan kemudian mereka diakui sebagai melayu oleh orang Melayu telah menjadi issu yang penting dalam kaitan dengan persaingan politik identiti di Kalimantan Barat setakat ini.
8.2.1 Perjuangan politik Identitas melalui Agama
Pada tahun 1999, diadakan pemilu yang diikuti banyak partai. Dalam pemilu itu parpol beridentitas agama dan etnis memperoleh suara yang kecil. Perolehan suara itu memberi tanda penting, bahwa penggunaan identitas agama dan etnis di tingkat nasional, kurang mendapat dukungan dari masyarakat luas. Kondisi serupa juga ditunjukan pada saat Sidang Umum MPR 2000, yang antara lain membahas tentang Amandemen UUD 1945. Pada masa itu, parpol berbasis agama (Islam), memperjuangkan formalisasi syariat Islam di level Nasional melalui pencantuman piagam Jakarta dalam preambule UUD 1945. Melaui tarik ulur dengan kelompok nasionalis, akhirnya upaya itu tidak berhasil diwujudkan.
Meski menemui kegagalan di tingkat nasional namun keinginan untuk memperjuangkan syariat islam yang di formalkan tidak sepenuhnya pudar. Mereka seakan menemukan ruangnya lagi seiring dengan hadirnya politik desentralisasi dibawah payung hukum UU No 20/1999. Situasi ini memberi peluang baru bagi kalangan Islam fundamentalis untuk bisa menunjukan ekspresi identitas (keagamaan dan etnisitas) melalui perebutan ruang-ruang di tingkat lokal. Di Kabupaten Sambas issu ini cukup kuat. Perjuangannya adalah berupa Peraturan daerah (perda) syariah. Sampai saat ini perda yang demikian sudah ada di 6 propinsi, 38 kabupaten dan 12 kota di seluruh Indonesia.
Dari pembincangan dengan politisi lokal (khususnya di Sambas), ada sejumlah alasan yang dimunculkan dalam regulasi itu, antara lain ialah (a) untuk mengembalikan identitas (”otensitas”) lokal yang dihilangkan pada masa rezim Orde Baru, (b) hukum positif dianggap tidak mampu mengatasi problem sosial kemasyarakatan (dekadensi moral privat), (c) desakan anggota parlemen dan parpol Islam seperti PPP dan PBB, serta dari tokoh agama Islam, (d) memperoleh dukungan dari khalayak publik setempat dengan basis keagamaan.
Bila di tarik ke belakang, politisasi agama yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah hal yang baru, tetapi terkait dengan dinamika kesejarahan Indonesia sejak awal berdiri sampai sekarang. Khususnya terkait dengan perdebatan dalam perumusan konsep kenegaraan Indonesia yaitu relasi antara agama dengan negara yang belum selesai. Keinginan sebagian pihak untuk mendirikan negara Islam pada masa lampau (baik masa pasca kemerdekaan- BPUPKI tahun 1945, Sidang Istimewa MPRS 1968, dan Sidang Umum MPR 2000).
Dalam bagian lain, kemunculan politik identitas juga tidak bisa dilepaskan dari adanya intervensi globalisasi. Faktor ini tidak bisa nisbikan perannya, terutama karena globalisasi menyediakan ruang keterbukaan untuk saling berkomunikasi bagi tiga pihak yaitu komunitas global, nation state, dan warga lokal. Dalam situasi sekarang dimana sedang terjadi arena persaingan antar ideoologi dengan berbagai warna- juga soal ekonomi diberbagai aras, maka konstruksi identitas tidak kosong dari pengaruh satu sama lain. Terkait dengan soal ini, maka politik dentitas berbasis identitas agama di komunitas lokal, juga bisa dipahami sebagai konsekuensi dari persaingan di ranah global. Kehadirannya juga banyak di dukung oleh posisi negara yang sedang lemah, baik dalam arti politik maupun ekonomi.
Mengutip pernyataan Hanneman Samuel, Ph.D Dosen Sosiologi Universitas Indonesia tentang terjadinya penguatan Politik Identitias di Indonesia dalam Majalah Online Suara Baru (Januari-Pebruari 2008, halaman 26)
Dalam satu dekade terakhir ini, telah terlihat kemajuan dalam perlindungan identitas di Indonesia. Indonesia kini telah memiliki UU Kewarganegaraan. Status Khonghucu juga sudah jelas. Imlek tak perlu lagi dirayakan sembunyi-sembunyi.
Justeru yang kurang menggembirakan adalah adanya Kristalisasi politisasi identitas yang mengambil bentuk pendirian partai politik. Selain itu Juga melalui tekanan-tekanan dalam penyusunan rancangan peraturan nasional. Bahkan banyak daerah tingkat II kini telah memiliki Perda Syari’ah. Satu kota di Papua berusaha dijadikan sebagai “Kota Injil”.
Kita tidak tahu apakah politisasi identitas merupakan tujuan atau cara. Kehebohan pada pengesahan RUU Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) memberi kesan penajaman
politisasi identitas. Namun, yang terjadi justru legalisasi masuknya prinsip neoliberalisme dalam dunia pendidikan. UU SISDIKNAS bukan politisasi identitas. Soal campur tangan
negara dalam pengajaran agama di sekolah lebih merupakan isu sesaat. Masih banyak kasus yang dapat kita catat. Perayaan Imlek diperebutkan. Keberadaan tempat ibadah dipermasalahkan. Bahkan ada yang sampai dirusak. Secara sosiologis, semua itu merupakan hal yang menarik. Kita telah menyaksikan muncul dan berkembangnya gerakan-gerakan radikalisme pada masa Perang Dingin. Kini, tampaknya kita tengah menyaksikan munculnya neo radikalisme. Isue yang diangkat bukan lagi persoalan ketimpangan buruh dan majikan. Tetapi, perjuangan atas nama identitas kultural. Khususnya yang berkaitan dengan S-A-R-A (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan).
Gerakan lain yang juga menguat di era globaliasi ini ádalah fundamentalisme. Berbagai kelompok muncul untuk memperjuangkan apa yang disebut pendukungnya– sebagai “pemurnian budaya”. Mereka memandang orang-orang di luar kelompok mereka sebagai pihak yang keliru. Merekalah yang menganggap diri paling benar dalam menafsirkan ajaran. Dalam kaitan dengan Muslim, hal ini berujung pada pembedaan di antara “Islam textual” dan “Islam Kontekstual”. Yang satu mempoisisikan diri vis-à-vis yang lain. Yang mengalami kerugian, bukan hanya Muslim. Tetapi juga orang Indonesia pada umumnya. Tak ada satu orang pun yang mengharap tahun 2008 dan seterusnya merupakan tahun yang buruk. Namun, sulit rasanya untuk menolak kenyataan bahwa tahun 2008 – 2010 bisa jadi merupakan masa-masa kritis bagi orang Indonesia. Dan saya tidak akan terkejut bila penajaman politisasi identitas akan terjadi. Pilkada tengah terjadi di berbagai belahan Nusantara. Isue Putra Daerah menguat di berbagai wilayah. Hal ini sungguh menyedihkan. Di era globalisasi ini kita justru mengembangkannya. Bukan profesionalisme. Tidak ada jaminan pula bahwa pemilu yang akan kita laksanakan pasti terbebas dari pihak-pihak yang mencoba memancing di air keruh. Hal ini tentunya merupakan tantangan bagi orang Indonesia . Bukan untuk menjadikan kita ketakutan atau paranoid. Yang diperlukan, kelenturan dalam kehidupan sehari-hari. Waspada namun tetap lentur dalam bingkai NKRI. Sedia payung sebelum hujan.
8.3. Penguatan Identiti Oleh LSM dan Lembaga Etnisiti
Menurut Eriksen timbulnya etnisitas didasari pada kecenderungan di dalam setiap kelompok manusia untuk membedakan antara orang dalam dan orang luar, untuk menarik garis batas sosial, dan kecenderungan untuk membangun stereotip-stereotip tentang “kelompok lain.” Kecenderungan membangun stereotip-stereotip tentang kelompok lain ini juga sebenarnya merupakan cara untuk mendukung dan membenarkan garis batas sosial ini. Eriksen menekankan bahwa etnisitas muncul ketika “perbedaan-perbedaan kultural yang dipersepsikan akan berakibat pada perbedaan sosial” (ethnicity occurs when perceived cultural differences make a social difference. Etnisitas muncul karena adanya interaksi dari kelompok-kelompok yang merasa “berbeda”, ketika pembedaan “kita” dan “mereka” menjadi penting.
8.3.1. Gerakan LSM Pancur Kasih
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pancur kasih sangat terkait dengan penguatan politik identiti Dayak di Kalimantan Barat (Davidson, 2002:256-269). LSM ini berdiri tahun 1981 oleh sekelompok guru dan mahasiswa Dayak, yang dipimpin oleh A.R. Mecer seorang pensyarah di Universitas Tanjungpura Pontianak. Mereka membentuk sebuah yayasan sosial yang bernama Pancur Kasih (YKSPK) yang pada awalnya bertujuan untuk membuka sebuah sekolah menengah (St. Fransiskus Asisi) yang dikelola oleh orang Dayak untuk orang Dayak. Pada masa itu guru-guru yang mengajar di sekolah favorit dan unggulan di Pontianak seperti persekolahan Santo Petrus, Santo Paulus merata-rata 60 peratusnya adalah orang Dayak. Sehingga mereka berkesimpulan bahwa orang Dayak kalau diorganisir menubuhkan sekolah, maka sekolah itu pasti akan bermutu juga. Dengan kata lain, itu menjadi langkah yang nyata menuju kemandirian. Selama beberapa dekade, saat kepemimpinan Pancur Kasih dibina, misionaris asing dan pemerintah – walau sangat jarang sekali –bertanggung jawab terhadap pendidikan orang Dayak. Saat itu adalah waktu untuk mengakhiri ketergantungan orang Dayak dan untuk menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang yang terbelakang dan malas seperti yang dianggap oleh rezim Orde baru (dan yang lainnya). Penekanan akan kemandirian digarisbawahi dalam motto Pancur Kasih :
‘Masyarakat Dayak mampu menentukan dan mengelola kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik menuju kemandirian dalam kebersamaan dengan semangat cinta kasih serta untuk memperoleh pengakuan, penghormatan, dan perlindungan, berdasasrkan Pancasila dan UUD 1945.
Semboyan (motto) dan sekolah yang Pancur Kasih kelola menjadi tempat pembibitan sebuah pergerakan penguatan politik identiti Dayak . Pada masa itu orang masih malu menyebut dirinya Dayak, bahkan pemberian nama kepada anak-anak Dayak yang lahir menggunakan nama Jawa atau Batak. Kedua suku ini memang meng-hegemoni kehidupan di Kalimantan Barat bahkan Indonesia.
Kesuksesan dari pendirian sekolah dan yayasan memicu hal-hal yang lain. Salah satu perkembangan terakhir dan paling menonjol adalah perkembangan Credit Union Pancur Kasih (CUPK) yang didirikan tahun 1987. Penubuhan CUPK Diharapkan menjadi tempat orang Dayak ber-investasi. Dengan instituti keuangan yang dimiliki oleh orang Dayak diharapkan dapat membantu pengambilan keputusan dan meningkatkan peluang dalam bidang ekonomi. Selebihnya, simpanan dan akses kepada modal skala kecil dapat menopang mereka yang merasakan dampak pembangunan Orde baru, mereka yang tanahnya diambil alih secara ilegal. Credit Union telah menjadi sebuah batu penjuru dari pergerakan kemandirian orang Dayak. Sampai 31 Agustus 2008 , CU Pancur Kasih telah memiliki 72.013 anggota – termasuk orang non-Dayak – dengan asset Rp. 601.169.285.000 ( Enam ratus satu Milliar, seratus enam puluh sembilan juta, dua ratus delapan puluh lima ribu Rupiah) . Di samping CUPK, kemudian dibanyak daerah juga berdiri Credit-Credit Union lainnya. Saat ini ada lebih dari 50 Credit Union di Kalimantan Barat dengan total ahli sekita 200.000 orang total tabungan sekitar Rp 1,500.000.000.000,- (1,5 Billiun Rupiah). Lebih dari 70% ahli CU tersebut adalah etnik Dayak. Kesuksesan tersebut telah memicu berdirinya cabang-cabang Pancur Kasih seperti Bank Perkreditan Rakyat dan Dana Solidaritas Masyarakat Dayak.
Pancur Kasih adalah pelopor apa yang menjadi cerita sukses lainnya. Apa yang membedakan Pancur Kasih dengan tujuan awalnya, terletak pada komitmen lembaga tersebut pada perubahan sosial jangka panjang. Lembaga tersebut tidak melakukan perubahan yang cepat dan besar, tidak pula mengumpulkan dana dengan cepat dari lembaga-lembaga donor baik yang dari Jakarta maupun internasional, yang merupakan penopang dari Pancur Kasih dikemudian hari.
Namun, dalam tingkatan ini, adalah tidak sepenuhnya benar untuk mengkarakterkan Pancur Kasih sebagai sebuah lembaga yang otonom dan oposan. Orde Baru, khususnya pada puncak kejayaannya di pertengahan tahun 1980an, mentolerir kritikan kecil dan aktifitas ‘menyimpang’. Melakukan kegiatan-kegiatan ‘terlarang’ beresiko pada keberadaan lembaga dan membahayakan keselamatan diri para anggotanya. Cara-cara represif ini kemudian menimbulkan kehati-hatian para pemimpinnya. Namun, alasan lain juga berkontribusi terhadap sikap konservatif mereka. Hubungan antara Pancur Kasih dan Golkar terjadi. Beberapa anggota Pancur Kasih seperti Arsen Rickson dan Rahmad Sahudin menjadi anggota Golkar di DPRD I. Kenyataannya, hubungan ini bertujuan untuk menyelamatkan sekolah milik Pancur Kasih. Beberapa memilih untuk melihat perubahan sosial dalam sistem dan melihat kontradiksi yang kecil dalam kedua organisasi tersebut. Bagi yang lain, mereka meletakkan dukungan mereka di kedua sisi untuk bertaruh bagi masa depan yang tidk pasti. Atau mungkin, merasa bahwa kedekatan dengan Pancur Kasih mengurangi stigma menjadi ‘Dayak Golkar’ dan boneka Orde Baru. Bagaimanapun, ketegangan konservatif-progresif ini berlanjut saat generasi muda yang lebih kritis bergabung dan memperluas aktifitas lembaga sampai ke daerah-daerah.
Praktik-praktik yang lebih oposisional dari Pancur Kasih muncul dan berkembang diawal tahun 1990an. Pada masa itu aktifis Pancur Kasih memilih dua cara, cara pertama tetap mengekalkan Pancur kasih seperti sedia ada, dan cara kedua dengan menubuhkan LSM yang berorientasi Dayak . LSM yang beranggotakan sekelompok aktifis orang muda Dayak. Merupakan unit otonom di bawah payung Pancur Kasih. Yang pertama dibentuk adalah Institute of Dayakology Research and Development (IDRD) pada tahun 1991. Walaupun latar belakag dan inspirasi pendirian IDRD berbeda-beda, Pancur Kasih menjadi kuncinya. Awalnya, beberapa anggota senior dan konservatif menolak ide ini, dan berpendapat bahwa LSM seperti ini bersifat eksklisif dan akan dicap organisasi SARA. Ironisnya, ini adalah penolakan yang sama seperti yang dilakukan pendiri Pancur Kasih sepuluh tahun sebelumnya. Namun saat Mecer setuju, dengan mendukung secara organisasional dan institusional dari Pancur Kasih menjadi sesuatu yang tak ternilai.
Maraknya kampanye anti logging di tahun 1987 di Sarawak dan kunjungan beberapa aktifis Sarawak ke Pontianak menginspirasi beberapa pemuda Dayak di Pontianak untuk mulai memberi pembelaan atas nama masyarakat adat Dayak Kalimantan Barat. Kemudian, pertukaran kunjungan dilakukan, yang memperluas hubungan dan membolehkan akses dalam mendapatkan literatur yang lebih banyak tentang, paradigma pembangunan kapitalis yang terdapat di Sarawak. Dua perkembangan lainnya memicu dua orang mahasiswa Dayak di Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak untuk mendirikan LSM berorientasi Dayak. Salah satunya adalah partisipasi dari Stepanus Djuweng, seorang mahasiswa Untan , pada pertemuan masyarakat adat di Chiang Mai, Thailand. Yang kedua adalah laporan yang ditulis oleh peneliti Belgia yang mencatat akibat buruk dari pembangunan Orde Baru terhadap orang Dayak di Kabupaten Sintang. Laporan yang didasarkan pada kenyataan lapangan , yang membela cara hidup dan hak atas tanah orang Dayak, mengesankan kedua mahasiswa ini. Laporan tersebut memicu antusiasme mereka dan akhirnya, pada bulan Mei 1997, mereka dan dosen bahasa Inggris mereka , Albert Rufinus, membentuk IDRD.
Seperti yang dijelaskan oleh Djuweng, dalam pendiriannya, ide-ide IDRD diperluas dari hanya sekedar mempertahankan cara hidup orang Dayak. Selama beberapa dekade, bahkan abad, orang luar-pemerintah, misionaris asing dan peneliti- berbicara untuk dan mengatasnamakan orang Dayak. Ia percaya, bahwa waktunya telah tiba bagi orang Dayak untuk berbicara bagi dirinya sendiri. Kuncinya adalah membangun solidaritas untuk mempertahankan hak atas tanah.
Setahun setelah pendiriannya, IDRD menjadi terkenal dalam jaringan LSM di Indonesia dan lembaga donor internasional (serta media nasional) dengan mengadakan konferensi 3 hari tentang kebudayaan Dayak di Pontianak. Salah satu dari keputusan penting dari konferensi tersebut adalah persetujuan untuk menstandarisasi penyebutan Dayak. Sebelumnya sebutan yang dipergunakan bermacam-macam tergantung dari penulis masing-masing, contohnya, Daya, Daya’ , Dyak, Dajak . Pandangan dan dukungan bagi sebutan ‘Dayak’ adalah langkah awal bagi sebuah proses dimana sebuah kata yang awalnya dipandang sangat rendah diubah menjadi sebuah idiom yang bersifat politis. Disinilah politik identiti itu dimulai.
Penelitian IDRD berfokus pada pelestarian, pendokumentasian dan revitalisasi budaya Dayak. Salah satu proyek awal adalah perekaman dan penerbitan cerita dan sejarah dalam bahasa lokal. Karena kesuksesan konferensi di tahun 1992, lembaga ini memerlukan aktifis lapangan yang lebih banyak. Dengan kata lain, keterlibatan dalam pengorganisasian masyarakat kini diperlukan. Tiga LSM baru, LBBT (lembaga Bela Banua Talino), SHK (sistem Hutan Kerakyatan) dan PPSDAK (Pembinaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan) di bentuk untuk melaksanakan tujuan ini. LBBT menekankan pada hak-hak orang Dayak atas tanah adat; proyek untuk memetakan tanah adat dilaksanakan oleh PPSDAK. SHK berkonsentrasi pada perancangan stategi ekonomi alternatif untuk melawan perkebunan kelapa sawit skala besar dan menegah yang didukung oleh pemerintah.
Kemudian, kampanye penggerakan masyarakat pedesaan, advokasi dan agitasi dilakukan. Informasi disebarkan, musyawarah lokal difasilitasi- dan dalam beberapa kasus diciptakan- dan upacara-upacara tradisional dibiayai. Di daerah yang populasi penduduknya terpencar-pencar, dengan kondisi jalan yang buruk ini, diperlukan konmunikasi yang lebih efisien. Para aktifis tidak menguasai Kalimantan Barat sepenuhnya. Di sini, peran media pemberitaan sangatlah penting. Di tahun 1980an, koran lokal, Akcaya, mengabaikan pemberitaan tentang orang Dayak, kecuali pemuatan foto-foto orang Dayak yang berbaju tradisional. Salah satu contohnya adalah, tidak diberitakannya pembentukan Dewan Adat Dayak . Namun situasi ini kemudian berubah oleh karena IDRD, yang membuat ‘orang Dayak’ menjadi lebih dikenal.
Konferensi di tahun 1992 menarik perhatian media nasional. Salah satu divisi percetakan milik harian nasional Kompas menerbitkan sebuah buku yang memuat artikel-artikel konferensi tersebut. Koran nasional lainnya, Suara Pembaruan, merekrut Djuweng dan seorang staff IDRD, Vincent Julipin, untuk melaporkan tentang keadaan masyarakat Dayak dipedesaan. Walaupun koran-koran ini tidak memiliki pembaca di daerah pedesaan di Kalimantan Barat, artikel-artikelnya, dalam hubungannya dengan perkembangan IDRD (dan Pancur Kasih), berpengaruh pada Akcaya. Koran lokal-di Indonesia maupun di tempat lain- mendapatkan berita yang dianggap lebih berharga dari koran nasional yang ternama. Selebihnya, sebuah Grup media Surabaya, Jawa Pos Group kemudian mengakuisisi Akcaya yang membawa perubahan penting bagi koran tersebut. Diawal tahun 1990an, artikel yang memberitakan tentang orang Dayak meningkat, walau memang agak sulit untuk menjadi headline berita. Ditunjang oleh suntikan modal yang besar dan membaiknya kondisi jalan , pendistribusian Akcaya menjadi lebih meluas hingga ke daerah pedesaan di Kalimantan Barat.
Bagian akhir dari transformasi ini adalah publikasi dan pendistribusian majalah alternatif oleh IDRD, Kalimantan Review. Akcaya memberikan tempat yang lebih banyak mengenai hal tentang Dayak, namun isu-isu penting (bersifat politis) tidak diberitakan. Kalimantan Review mengisi celah ini. Keberadaan Pancur Kasih dalam hal ini menjadi sangat instrumental. Pembukaan fasilitas percetakannya sendiri memfasilitasi pembentukan dan penyebaran sebuah wacana yang menantang ideologi pembangunan Orde Baru. Kalimantan Review, yang awalnya dipakai untuk menerbitkan hasil-hasil penelitian tentang Dayak, secara progresif berubah menjadi sebuah sumber berita alternatif perlawanan orang Dayak. Selajutnya, Kalimantan Review memberitakan secara regular mengenai kegiatan CU Pancur Kasih dan keuntungan penanaman pohon karet skala kecil. Disini, Kalimantan Review menjadi kendaraan untuk melawan proyek kelapa sawit yang dibekingi pemerintah. Majalah tersebut memberikan informasi kepada masyarakat Dayak tentang penolakan – baik dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan – terhadap program-program pemerintah yang sedang dilaksanakan. Kalimantan Review membantu mengembangan sebuah gagasan tentang kebersamaan diantara kelompok-kelompok yang sebelumnya terpisah. Dalam hal ini, dengan berita yang ada, orang Dayak dapat lebih empati dengan yang lain dan dapat merespon, sehingga dapat mempertebal rasa kesetiakawanan dan meningkatkan saling koordinasi satu dengan yang lain.
Setelah pendirian LSM-LSM ini, sejumlah tindakan kekerasan dan pengrusakan terhadap fasilitas milik negara terjadi. Aksi ini, menunjukkan sebuah kebangkitan politik kembali dari komunitas ini. Adalah tidak benar, untuk mengatakan bahwa perlawanan hanya dimulai di Pontianak saat LSM-LSM ini terbentuk. Walau adanya kekurangan sejumlah dokumen, beberapa kasus terjadi sebelum pendirian LSM-LSM tersebut. Aktifis menyebut sebuah peristiwa yang terjadi di Ngabang (Kab. Pontianak) di tahun 1979 dimana orang Dayak memprotes perkebunan sawit yang diprakarsai pemerintah. Pada tahun 1981 lima kepala kampung dari kecamatan Sayak (kab. Sintang) menemui Ketua DPRD II Sintang untuk meminta kompensasi atas hilangnya pohon buah-buahan karena aktifitas logging sebuah perusahaan. Dan di tahun 1984, warga Dayak dari Nobal (Kab. Sintang) mengirimkan surat komplain kepada Uskup dan Bupati setempat perihal daerah transmigrasi di sekitar tempat mereka. Adalah mustahil untuk mengetahui berapa banyak contoh seperti ini terjadi.
Pastinya, keputusasaan masyarakat Dayak bukanlah hal baru. Jika tidak, apa tujuannya pendirian Pancur Kasih dan LSMnya ? Perkembangan baru saat itu sedang terjadi. Dukungan bagi masyarakat lokal oleh para aktifis menimbulkan protes yang lebih terorganisir. Kekerasan sering terjadi dalam protes-protes tersebut, dimana berita-berita baru disebarkan secara luas. Kesimpulannya, protes tersebut terjadi dalam sebuah jaringan politisasi yang lebih luas diantara orang Dayak.
Setidaknya, seperempat abad telah berlalu sejak orang Dayak menduduki posisi sebagai Bupati di provinsi ini, dimana populasi orang Dayak mencapai 40 % dari seluruh jumlah penduduk. Setelah lama menjadi pendukung setia Golkar, pemimpin-pemimpin Dayak mulai menekan untuk menunjukkan representasinya, Di tahun 1994, Gubernur mendengar keinginan mereka, dan menunjuk L.H. kadir – Kadit Bangdes Provinsi dan merupakan seorang pegawai negeri yang pangkatnya tertinggi diantara orang Dayak- untuk menduduki posisi Bupati Sintang. Pemilihan gaya Orde Baru di tingkat kabupaten dilakukan, dan dalam kasus ini, anggota DPRD kab. Sintang mengeluarkan keputusan yang berbeda. Mereka memilih dengan perbandingan 21-16 kepada Abdillah Kamarullah, seorang Melayu Sintang yang merupakan Kepala Bappeda kabupaten tersebut. Kecewa terhadap hasil pemilihan tersebut, ratusan warga Dayak memblokir jalan untama antara Ngabang dan Sanggau dan melempari jendela kaca kendaraan yang lewat. Lobi yang dilakukan para elit Dayak di Jakarta tidak membuahkan hasil. Untuk membuat situasi menjadi tenang, pemerintah menunda pelantikan Abdillah selama hampir sebulan. Pemimpin Dayak menunjukkan bahwa hal ini merupakan contoh pelanggaran terhadap orang Dayak selama Orde Baru. Patut dicatat, bahwa peristiwa ini menjadi bukti kebangkitan politik identiti Dayak.
Pancur Kasih dapat dikatakan pelopor penubuhan kembali Politik Identiti dayak selepas Parti Persatuan Daya (PPD) pada masa era Orde Lama (Davidson, 2003:...). LSM Pancur Kasih yang mendapat dukungan pendanaan besar dari berbagai lembaga Donor Internasional berhasil membangkitkan kembali sentimen etnik Dayak. Etnik dayak juga berhasil membina basis ekonominya dengan Credit Union.. Mereka kemudian dianggap sebagai pelopor dalam mengangkat harga diri etnik Dayak, berbagai projek yang mereka lakukan sangat bernuansa Dayak dan ini secara rutin disebarluaskan melalui media bikinan mereka yaitu Kalimantan Review. Ketika terjadi konflik antara Dayak dengan Madura bersakala besar tahun 1997 dan Melayu –Madura 1999 dimana ternyata orang Dayak membonceng Melayu, banyak pihak termasuk lembaga Hak Asasi Manusia PBB di New York mengkaitkan semua ini dengan aktivitas LSM pancur Kasih.. Berbagai pihak kemudian melihat peran LSM yang etnosentris dapat memperkuat Politik Identiti dan ini kurang baik baik pembangunan yang multikultur.
Bukti lain yang juga perlu dicatat dari gerakan LSM yang memperkuat politik identiti ini adalah terjadinya sifat militansi Dayak sebagai akibat dari rasa kebanggaan yang berlebihan selepas ditawan rezim Orde baru. Hal ini dapat dilihat dari pemilihan Gubernur kalimantan Barat tahun 2007 yang lalu. Pada saat itu proses pengorganisasian Dayak dirasakan begitu mudah sehingga lebih 90% Dayak memilih Cornelis sebagai Gubernur. Yang menarik calon dari Pancur Kasih yaitu AR Mecer tidak dipilih oleh orang Dayak, ini disebabkan kerana beliau bertarung sebagai timbalan Gubernur. Orang Dayak merasakan sudah saatnya menjadi orang nombor Satu lagi di Kalimantan Barat selepas Oevang Oerai. Dari peristiwa Pilihan Raya Gubernur 2007 tersebut dapat pula dimaknai bahwa orang Dayak tidak melihat Pancur Kasih sebagai entiti perjuangan Dayak tetapi melihat figur Cornelis sebagai satu-satunya orang Dayak yang berani dan mampu menjadi calon Gubernur dari etnik Dayak. Makna lainnya lagi adalah apa yang berlaku pada AR Mecer adalah mungkin hukuman kepada beliau kerana melindungi anggota keluarganya yang mencuri uang Credit Union Pancur Kasih dan uang-uang di lembaga-lembaga yang ditubuhkan Pancur Kasih.
Sebagai bukti lainnya bahwa gerakan pancur Kasih terbabit dengan perjuangan politik identiti adalah terceburnya LSM itu dalam kegiatan politik praktis. Tetapi mungkin juga ini hanya pelarian sahaja. Menurut Florus saat ini AR Mecer dan aktivis senior Pancur Kasih menjadi politikus kerana semakin berkurangnya lembaga Donor Internasional yang memberi mereka wang, sebagai dampak dari laporan tahunan HAM-PBB tahun 2001 yang lalu. Bukti kalau berpolitik praktis adalah pelarian dapat dilihat dari keterampilan mereka berpolitik praktis sangat rendah, setakat ini belum ada satupun anggota mereka yang sukses mendapat jabatan politis dari perjuangan mereka. Dalam senarai daftar calon Sementera Legislatif untuk pilihan raya 2009, terlihat aktifis Pancur Kasih berada pada Parti nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI). AR Mecer tercatat calon nombor urut satu untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) di Jakarta, yang menarik anaknya Frans Trides Mecer dicalonkan pada nombor urut satu juga untuk DPRD Propinsi Kalimantan Barat dari Ketapang, para keponakan AR Mecer juga tersenarai untuk pemilihan di level Kabupaten. Aktivis senior pancur Kasih lainnya juga tersenarai dalam calon legislatif 2009. Parti lainnya yang mereka ceburi adalah yang berasaskan agama Kristian, sementara itu aktivis yang bergabung dengan parti berbasis nasional seperti parti GOLKAR ,PDIP dan Demokrat telahpun dikeluarkan dari keahliannya di LSM pancur Kasih.
8.3.2. Lembaga-lembaga Etnisiti
Untuk mempertahankan identitas suku bangsanya, biasanya warga suatu etnik membentuk suatu organisasi yang umumnya didasarkan pada persatuan suku, atau menurut daerah asalnya (Achdiyat dan suparlan,1989:25). Hal demikian berlaku pula di Kalimantan Barat. Etnik Dayak mendirikan Majelis Adat Dayak (MAD), kemudian disusul etnik Melayu yang menubuhkan Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) dan terakhir sekali etnik China menubuhkan Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT).
MAD berdiri pada 1994 oleh sejumlah Tokoh Politik Dayak di kota Pontianak. Mulanya kehadiran lembaga ini sangat erat kaitannya dengan kepentingan para tokoh tersebut dengan Golongan karya sebuah partai dominant di era tersebut. Ketua pertamanya adalah R.A. Rachmad sahudin BSc, seorang politisi yang 25 tahun menjadi wakil rakyat baik di level Kabupaten Pontianak 10 tahun dan di level propinsi 15 tahun. Mula-mula ia bergabung dengan partai IPKI, kemujdian Golkar dan 5 tahun terakhir ini belar di partai Demokrasi Kebangsaan.
Setelah beliau, kepemimpinan dilanjutkan oleh yakobus Frans laying SH, pada saat menjadi ketua MAD belau juga mejabat sebagai bupati Kabupaten Kapuas Hulu. Beliau adalah satu-satunya bupati yang berasal dari suku Dayak pada era Orde Baru. Sebelumnya beliau adalah pegawai kantor Gubernur Kalbar dan dosen tidak tetap pada Universitas tanjungpura. Beliau juga aktif dalam penelitian budaya Dayak bersama tim WWF di Taman nasional Kayan Mentarang Kalimantan Timur.
Setelah Yakobus Frans laying, MAD dipimpin oleh Ir Syaikun Riady, seorang pegarai Dinas`Pekerjaan Umum pemerintah Propinsi Kalimantan Barat. Beliau kelahiran Menumbung, Sandai Kabupaten Ketapang. Pada masa kepemimpinan Syaikun Riady berbagai konflik politik dengan intensitas tinggi terjadi di Kalimantan Barat. Pada era ini ditandai dengan berdirinya banyak partai politik baru di Indonesia. Beliau tercatat sebagai ketua Dewan Pengurus Daerah , Partai Demokrat Propinsi Kalimantan Barat, yang di Jakarta di pimpin oleh Susilo Bambang Yudoyono (presiden RI Sekarang). Beliau tidak tuntas memimpin MAD karena beliau meninggal secara mendadak akibat serangan penyakit Jantung pada 2003.
Setelah Syaikun Riady, MAD dipimpin Thadeus Yus, SH,MPA hingga sekarang. Awal mula kepemimpinan Thadeus ditandai dengan perubahan status MAD menjadi DAD, karena MAD kemudian berstatus Nasional dengan sebutan MADN (Majelis Adat Dayak Nasional) yang sekarang dipimpin Teras Narang, Gubenur Kalimantan Tengah sekarang. Thadeus yus sekarang menjadi calon Bupati Sanggau dari kalangan independent. Beliau adalah orang pertama di Kalimantan Barat yang maju sebagai calon kepala daerah dati kalangan independent. Sehari-hari Thadeus adalah Dosen di fakultas Hukum Universitas tanjungpura dan juga Direktur kerjasama kehutanan Uni Erofa dengan Propinsi Kalimantan Barat (FLEGTI). Menurut ‘rahmad Sahudin’ berdirinya MAD (yang sekarang DAD) ini dilatar belakangi oleh termaginalkannya suku dayak secara politik di Kalimantan Barat.
MABM ini lahir tahun 1997, yaitu hampir 4 tahun setelah MAD ditubuhkan. Semula Tokoh-tokoh melayu kurang peduli dengan lahirnya MAD (Jayadi,2003:3.), tetapi kemudian dengan suksesnya MAD mengkonsolidasi Dayak, kalangan Melayu mulai berpikir serius. Organisasi ini sejak berdirinya tahun….. dipimpin oleh Abang Imin Thaha dan DR Chairil Effendi yang sekarang menjadi Rektor Universitas Tanjungpura.
Isu yang melatarbelakangi berdirinya MABM Kalbar tahun 1997, salah satunya adalah perlunya perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat Melayu . Selain dari itu, keberadaan MABM diharapkan dapat mengawal persoalan adat dan budaya sehingga dapat diwariskan kepada generasi muda. Kegiatan menonjol yang dilakukan MABM setakat ini adalah menggelar festival Budaya Melayu setiap tahun dan membangun Rumah Melayu.
Kejadian menarik yang dapat dicatat adalah terjadinya kerusuhan Etnik antara Dayak- Madura tahun 1997 terjadi selepas MAD ditubuhkan, kemudian kerusuhan etnik Melayu-Madura tahun 1999 terjadi selepas MABM dutubuhkan. Tidak ada data resmi yang menunjukan hubung kait dengan kejadian-kejadian ini tetapi banyak pihak menduga terdapat hubungan yang rapat, utamanya apabila dikaitkan dengan konsolidasi etnik yang dilaksanakan lembaga-lembaga etnisiti ini dan sangat massifnya kedua kerusuhan tersebut berbanding dengan kerusuhan-kerusuhan etnis sebelum itu.
Kalangan Tionghoa rupanya mengamati kiprah MAD dan MABM secara teliti. Melalui diskusi yang panjang di antara para tokohnya seperti yaitu Ir Andreas Acui Simanjaya, Setiawan Lim, SH, Ateng Tanjaya (Tokoh Pemadam API), Kenny Kumala (DPRD Kalbar), Michael Yan (DPRD Kalbar), Mulia Chandra (Dosen POLTEQ), Amin Andika (Ketua PITI), Razaq S (PITI), W Suwito, SH MH, Cory Soesana, Ardiansyah dan Zulfydar SE MM (Komnas HAM Kalbar). Mereka mengatakan sudah saatnya warga Tionghoa di Kalimantan Barat memiliki wadah Majelis Adat dan Budaya Tionghoa (MABT). "Pembentukan MABT ini harus dilakukan dengan mempertimbangan semua unsur masyarakat Tionghoa yang ada di kalimantan Barat,". ,- Guna mewujudkan harmonisasi antar etnis yang ada di Kalbar, Setiawan Lim SH menyatakan. "Setidaknya, kehadiran lembaga ini nanti sebagai wadah komunikasi lintas etnis. Sehingga berbagai persoalan yang muncul di tengah masyarakat bisa diselesaikan bersama,"
"MABT ini mempunyai nilai strategis untuk menjadi wadah yang resmi bagi warga Tionghoa dalam melakukan kerjasama atau dialog dengan organisasi sejenis misalnya dengan Majelis Adat dan Budaya Melayu (MABM) dan Majelis Adat Dayak(MAD),"tambahnya. "Demikian juga jika timbul persoalan yang perlu diselesaikan secara adat, maka warga Tionghoa tidak secara pribadi berhadapan dengan lembaga adat melainkan melalui perundingan antar lembaga adat.
Di sisi lain, selama ini organisasi Tionghoa yang cukup besar di Pontianak yaitu YBS hanya merupakan sebuah Yayasan yang menaungi sejumlah Yayasan Marga / kematian, yang nota bene hanya mengurusi masalah sekitar pemakaman & cenderung menutup diri dari persoalan aktual lain yang berkembang dalam dinamika kehidupan Tionghoa di Kalimantan Barat. "Selama ini semua hubungan yang terjadi pihak lain dengan masyarakat Tionghoa adalah hubungan antara lembaga dengan pribadi atau individu atau LSM Tionghoa, bukan wadah yang secara resmi mewakili masyarakat Tionghoa," .
Lembaga-lembaga etnisiti khasnya MAD dan MABM yang ditubuhkan sebelum terjadinya konflik-konflik etnik besar tersebut juga dikaitkan dengan konsolidasi etnis yang selama ini mereka lakukan.
8.3.3. Pasang Surut Hubungan Etnik Dayak dengan Melayu
Berbicara hubungan orang Dayak dengan orang Melayu dari sisi politik identitas yang berlangsung selama ini, kita tidak dapat menngesampingkan persoalan sejarah kedua suku ini yang awalnya disegregasi oleh pemerintah kolonial belanda. Oleh kolonial Belanda Orang yang beragama Islam disebut Melayu sedangkan yang bukan beragama Islam disebut Dayak. Pensegregasian ini ternyata didukung pula secara internal oleh masing-masing suku, sehingga perasaan sukuisme menguat hingga sekarang ini.
Salah satu faktor yang paling dirasakan orang Dayak pada masa dahulu adalah dilibatkannya kesultanan Melayu dalam memerintah oleh kolonial Belanda. Para petugas kesultanan inilah yang memungut pajak pada orang Dayak, bahkan orang Dayak ketika itu diletakan sebagai kelompok orang terendah dalam sistem kenegaraan. Dayak adalah rakyat jelata.
Perasaan sesama rakyat jelata inilah yang kemudian memperkuat solidaritas dan identitas Dayak hingga sekarang. Orang Dayak di Kalimantan Barat tidak lagi menyebut dirinya berdasarkan aliran sungai tetapi sebagai Dayak saja. Sebutan seperti Dayak Selako, Iban, kayan, Bahau, Kenya, Murut dan lain sebagainya kemudian diabaikan, mereka sepakat dengan menyebut dirinya Dayak. Hal ini hasil kerja Belanda ketika berupaya menghindari pengayauan antar orang non Muslim pada tahun 1884. pada tahun tu Belanda mengorganisir pemimpin2 non mulsim di Kalimantan untuk duduk dalam sebuah pertemuan atau rapat besar di Tumbang Anoi. Para pemimpin itu kemudian bersepakat mengakiri pengayauan dan menyatukan identitas diri mereka sebagai Dayak.
Kolonial Belanda melalui misionaris mendirikan sekolah bagi orang Dayak. Sekolah yang pertama dan hingga kini masih terkenal karena mutunya adalah persekolahan di Nyarumkop yang juga merupakan pusat orang Dayak Selako. Orang Dayak awalnya dididik untuk menjagi guru saja, namun dalam perkembangannya para guru Dayak ini kemudian menjadi pemimpin politik. Mereka mendirikan Partai Persatuan Dayak di Putussibau Kapuas Hulu. Partai ini mendapat sambutan dari semua penduduk Dayak karena mengusung ’persatuan Dayak’. Lagi-lagi salah satu penyebab menguatnya ide persatuan Dayak ini karena ketika itu Dayak sangat tertindas dalam berbagai hal kehidupan. Orang Melayu ketika itu secara politik sangat kuat karena mereka miemiliki kesultanan. Orang non Muslim tidak dapat menjadi pegawai disitu, kalau mau jadi pegawai maka seseorang itu harus masuk Islam terlebih dahulu (lihat Tambun Anyang, 1987:......). Dengan bersatu dalam Dayak maka secara populasi jumlahnya besar, sebaliknya jika terpisah-pisah jumlah masing-masing sub suku ini kecil.
Tahun 1955, ketika pemerintahan Sukarno mengadakan pemilu yang pertama dan di izinkannya partai lokal ikut dalam pemilu, Partai Persatuan Dayak menang di Kalimantan Barat, sehingga Oevang Oerai yang orang Dayak Kayan dari Kapuas Hulu menjadi gubernur. Beliau diakui oleh seluruh orang Dayak sebagai pemimpinnya dan lebih dikenal sebagai Gubernur Dayak yang pertama. Orang melayu ketika itu dapat dikatakan tenggelam, secara politik mereka tidak memiliki partai sendiri, mereka mengikut partai-partai yang bersifat nasional dan Islam saja seperti NU, Masyumi, PNI, Parmusi, IPKI dan lainnya.
Kemerosotan politik Melayu ketika itu juga ada hubungannya dengan banyaknya pemimpin Melayu yang dibunuh kolonial Jepang tahun 1945 di Mandor. Selain itu sistem kerajaan/kesultanan juga dihapuskan oleh pemerintahan Sukarno karena dianggap feodal dan berbau Kolonial. Dapatlah dikatakan terjadi kekosongan pemimpin Melayu yang terdidik sekaligus delegitimasi kepemimpinan yang berasal dari kesultanan.
Masa kepemimpinan Oevang Oeray, ditandai dengan pengangkatan orang Dayak secara besar-besaran sebagai penjabat pemerintahan. Ada orang yang hanya bersekolah sampai kelas 3 Sekolah Rakyat saja diangkat sebagai Camat. Orang Dayak mengalama euforia menjadi pegawai pemerintahan ketika itu. Orang melayu karena kesulitan mendapat kerja di pemerintahan, akhirnya memilih melanjutkan sekolah ke Pulau Jawa. Bahkan Pemerintahan Oevang Oeray memberi beasiswa kepada mereka untuk bersekolah. Dapatlah dikatakan bahwa pada masa ini Orang Dayak jadi pemerintahan sementara orang melayu kembali belajar lagi. Hasilnya orang Melayu menjadi pintar dan ketika rezim Orde Sukarno tumbang yang berarti Rezim Oevang Oeray berakhir juga mereka kemudian menguasai pemerintahan . Banyak tokoh Melayu di pemerintahan Orde Baru adalah hasil dari kebijakan pemerintahan Oevang Oeray ini.
0 komentar:
Posting Komentar