TEORI POLITIK IDENTITI

Minggu, 28 Desember 2008

Menurut Lukmantoro (2008:2) Politik identiti adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan. Kemunculan politik identitas merupakan respon terhadap pelaksanaan hak-hak asasi manusia yang seringkali diterapkan secara tidak adil. Lebih lanjut dikatakannya bahwa secara konkret, kehadiran politik identitas sengaja dijalankan kelompok- kelompok masyarakat yang mengalami marginalisasi. Hak-hak politik serta kebebasan untuk berkeyakinan mereka selama ini mendapatkan hambatan yang sangat signifikan.
Politik Identitas ini terkait dengan upaya-upaya muali sekedar penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai-nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni penentuan nasib sendiri atas dasar keprimordialan. Dalam format keetnisan, politik identitas tercermin mula dari upaya memasukan nilai-nilai kedalam peraturan daerah, memisahkan wilayah pemerintahan, keinginan mendaratkan otonomi khusus sampai dengan munculnya gerakan separatis. Sementara dalam konteks keagamaan politik identitas terefleksikan dari beragam upaya untuk memasukan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk menggejalanya perda syariah, maupun upaya menjadikan sebuah kota identik dengan agama tertentu.

Secara teoritis munculnya politik identitas merupakan fenomena yang disebabkan oleh banyaknya faktor seperti : aspek struktural berupa disparitas ekonomi masa lalu dan juga masih berlanjutnya kesulitan ekonomi saat ini yang telah memberikan alasan pembenaran upaya pemisahan diri sebuah kelompok primordial yang bertautan dengan aspek keterwakilan politik dan istitusional.
Dalam konteks keterwakilan politik belum meluas dan melembaganya partisipasi danketerwakilan politik masyarakat secara komprehensif telah memicu munculnya kebijakan yang diskriinatif dan eksklusif yang pada akhirnya memperkuat alasan kebangkitan politik identitas.

Menurut Barker (2005:217), Karena terdorong perjuangan politik serta minat terhadap filsafat dan bahasa, ’identitas’ berkembang menjadi tema utama kajian budaya di era 1990-an. Politik feminisme, etnisitas, dan orientasi seks, juga tema-tema lain, menjadi minat utama yang memiliki kaitan erat dengan politik identitas.

Politik Identitas didasarkan pada esensialisme strategis, dimana kita bertindak seolah-olah identitas merupakan entitas yang stabil demi tujuan politis dan praktis tertentu. Hall (1993:136) mengatakan bahwa setiap gagasan mengenai diri, identitas, komunitas identifikasi (bangsa,etnisitas, seksualitas, kelas, dan lain-lain), dan politik yang mengalir darinya hanyalah fiksi yang menandai pembakuan makna secara temporer, parsial, dan arbitrer. Politik tanpa penyisipan kuasa secara arbitrer kedalam bahasa, pemotongan ideologi, pemosisian, persilangan arah, retakan adalah mustahil.

Camen dan Champion mengatakan Bahwa, “identitas dari suatu etnik adalah integrasi dari etnisiti dan perasaan kesamaan ras dalam sutu konsep diri. Harus diakui bahwa etnisitas juga merupakan salah satu akibat dari identitas diri yang mengalir dari nilai, tata cara, gaya, dan latar belakang individu seseorang. Identitas etnik tidak mengalir dari opini atau prasangka yang berkembang dalam suatu masyarakat luas. Identitas etnik dibangun dari dalam” (Carmen Guanipa-Ho, 1998). Ini juga berarti setiap orang mempunyai identitas personal mulai dari jenis kelamin, warna suara, gaya bicara, tipe wajah hingga status perkawinan, jumlah anak, tingkatpendidikan dan tempat tinggal. Setiap orang juga mempunyai identitas etnik atau suku bangsa yang dapat dikenal melalui pakaian dan makanan, bahasa, adat-istiadat dalam perkawinan, kelahiran, inisiasi, dan kematian. Identitas kelompok etnik merupakan kunci untuk membentuk identitas manusia sebagai perkembangan manusia.

Konsep- konsep tentang identitas dan bahkan identitas itu sendiri semakin dipandang sebagai akibat dari adanya sebuah interaksi yang dinamis antara konteks (dan sejarah) dengan construct. Eriksen (1993) telah menunjukan sebagian dari proses proses yang terlibat dalam konstruksi histories identitas etnik dalam kasus orang-orang India yang bermigrasi ke Mauritius dan Trinidat. ( Mauneti, 2004:25).

Picard (1997) dalam Mauneti (2004:29) mengatakan bahwa identitas etnis dibangun sesuai dengan situasi yang ada. Demikianpun Eriksen (1993:117) mengatakan bahwa identitas itu sifatnya situasional dan bisa berubah . Sifat penanda identitas yang stuasional dan selalu dapat berubah ini tampak jelas dengan dimasukannya perbedaan agama ke dalam konstruksi identitas. Dalam konteks Kalimantan misalnya ke-dayak-an seseorang pun dikaitkan dengan agama Kristen dan dipertentangkan dengan Islam. Bila seorang Dayak masuk Islam, mereka tidak lagi dianggap sebagai Dayak, tetapi justeru menjadi orang ’Melayu’ (lihat Coomans, 1987). Sejalan dengan itu Winzeller (1997:219) menengarai bahwa dikalangan Dayak Bidayuh” biasanya menjadi Muslim berarti tidak lagi menjadi Bidayuh. King (1982:38) juga mengatakan hal yang sama suku Taman di Kapuas Hulu yang memeluk Islam akan menjadi seorang Melayu.

Penanda-penanda identitas ’budaya’ bisa berasal dari sebuah kekhasan yang diyakini ada pada agama, bahasa dan adat pada masyarakat yang bersangkutan (Mauneti,2004:30). Namun tidak sesederhana itu pula, karena King juga mengatakan bahwa konstruksi identitas budaya bersifat kompleks sebahagian karena konstruksi ini merupakan salah satu produk sejarah.

8.1.2. Teori Konversi agama dan transformasi Etnik

Konversi berasal dari kata “conversio” yang berarti tobat, pindah, dan berubah (agama). Selanjutnya dalam kosakata Inggris, kata tersebut dipakai (conversion) dengan pengertian berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke keadaan atau agama yang lain. Jadi, konversi agama (religious conversion) secara umum dapat diartikan dengan berubah pendirian terkait ajaran agama atau bisa juga berarti masuk agama. Max Heirich mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya. Starbuck memetakan konversi agama kedalam dua tipe: (1) tipe volisional atau perubahan bertahap; dan (2) tipe self-surrender atau perubahan secara drastis.
Pada awalnya terdapat dua hal pada pikiran orang yang akan berkonversi: Pertama, rasa ketidaklengkapan atau kesalahan yang ada pada masa kini, "dosa" yang darinya orang itu sangat ingin terbebaskan; dan kedua, ideal positif yang sangat ingin ia raih. Bagi sebagian besar dari kita, kesadaran akan kesalahan kita merupakan sebuah fakta kesadaran yang jauh lebih jelas dibandingkan dengan imajinasi ideal positif yang menjadi tujuan kita. Bahkan dalam sebahagian besar kasus, "dosa" hampir selalu menguasai perhatian, sehingga konversi adalah "sebuah proses perjuangan melepaskan diri dari dosa, bukan upaya untuk mencapai kesalehan".
Proses konversi seperti dikemukakan William James menjadi model konversi berarti pertobatan dari merasa diri benar sendiri dan egois akhirnya menemukan kebahagiaan karena merasa dekat dengan Tuhan dan muncul pula perasaan perduli kepada orang lain. Inti konversi dari perspektif ini adalah "bangkitnya gairah" dan "penuh minat" terhadap agama yang baru dipeluknya itu.
Selain teori di atas Willem James juga mengemukakan teori "transformasi", bahwa konversi terjadi secara terus menerus. Teori ini tidak hanya melihat konsep konversi sebagai perpindahan agama, melainkan juga proses berkelanjutan dalam mentaati agama yang dianutnya.
Menurut George Coe Spilka, salah satu kriteria utama dalam konversi adalah suatu perubahan yang sangat besar dalam diri. Perubahan ini bukan suatu persoalan kematangan yang sederhana tetapi teridentifikasi dengan satu keputusan yang sangat tipis sekali, antara secara tiba-tiba atau secara bertahap untuk menerima suatu perspektif lain yang dalam perspektif baru itulah dari yang baru itu dapat diidentifikasi. Bisa jadi perubahan dalam diri itu adalah suatu perubahan dalam gaya atau cara hidup yang sama sekali baru atau perubahan yang baru ini terlihat demikian tinggi sehingga subjek merasa terbebaskan dari dilemma hidup masa lalu yang kurang bernilai.
Aliran obyektivisme dalam Psikologi Sosial berpandangan sebaliknya bahwa masyarakatlah yang menentukan individu, atau dikatakan dengan istilah lain faktor sosiologislah yang menentukan faktor psikologis. Dalam konversi agama pun salah satu penyebabnya berasal dari faktor luar, yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok. Kekuatan dari luar ini kemudian menekankan pengaruhnya terhadap kesadaran, mungkin berupa tekanan batin sehingga memerlukan penyelesaian oleh orang yang bersangkutan.

Fuat Deniz mengemukakan bahwa kini diperkirakan ada 300 juta orang di muka bumi yang merasa sebagai penduduk asli dengan identitas etnik tertentu. Meskipun konsep penduduk asli masih dapat diperdebatkan, keberadaan penduduk asli di seluruh dunia dapat dikategorikan pertumbuhannya melalui tiga cara yang berbeda: (1) penduduk asli, dan penduduk asli yang ditetapkan di saat berakhirnya masa penjajahan; (2) batas-batas negara ditinjau kembali, artinya batas-batas itu tidak lagi ber dasarkan garis batas etnik (ethnic line); dan (3) migrasi dari satu negara kenegara lain; penduduk asli kemudian menjadi penduduk pertama yang berdiam di tempat yang baru didatangi itu.

Perkembangan terakhir menunjukan bahwa dari 300 juta orang yang merasa sebagai penduduk asli itu, sebagian besar mulai merasakan tidak saja pergeseran makna, tetapi pergeseran status dan peran mereka dalam masyarakat. Bahkan disebagian besar negara, penduduk asli yang tadinya mayoritas kini berubah menjadi kelompok minoritas etnik. Sekurang-kurangnya ada tiga “gelombang” modernisasi yang mempengaruhi komunitas dan identitas etnik, yaitu:
1) Modernisasi yang dialami oleh etnik-etnik penduduk asli antara abad ke-19 dan ke-20.
2) Transpormasi itu makin terasa saat negara-negara modern menerapkan batas-batas wilayah pemerintahan sehingga mengganggu identitas kolektif.
3) Migrasi dari bangsa-bangsa barat ke timur maupun gelombang migrasi bangsa timur ke barat di paruh abad ke-20 hingga ke-21.
Fuad mengatakan bahwa keberadaan penduduk asli sekarang mulai “tergugat”, karena telah timbul beberapa gejala berikut:
1) Orang-orang yang dikategorikan sebagai warga keturunan yang mempertahankan suatu wilayah tertentu sebelum diinvasi atau dipindahkan. Artinya, mereka lebih dulu tinggal disana (kini mulai dipindahkan, digusur!).
2) Orang-orang keturunan etnik asli kini secara politis tidak lagi merupakan kelompok dominan.
3) Ada perbedaan budaya antara penduduk asli dan kelompok dominan (kelompok dominan menggeser peran penduduk asli).

Pergeseran penduduk asli itu digambarkan oleh Fuad sebagai terbentuknya suatu kategori bangsa-bangsa “dunia keempat”. Pergeseran penduduk asli dari “dunia ketiga” ke “dunia keempat” itu bukan baru terjadi sekarang. Setiap bangsa yang pernah dijajah tahu betul kelakuan para penjajah. Ketika para penjajah memasuki wilayah geografis tempat tinggal penduduk asli, mereka mengubah batas tanah, mengubah tradisi dan sejarah kehidupan mereka sebagai penduduk asli. Disini patut di ingat bahwa masalah penduduk asli itu juga muncul karena dua hal: pertama, perubahan pandangan terhadap kesamaan status dari semua suku bangsa: bahwa sebagai warga negara, setiap suku bangsa memiliki otonomi yang sama tanpa campur tangan pihak lain. Kedua, secara historis faktor sejarah juga tidak memberikan jaminan self determinatiaon bagi keamanan hidup penduduk asli.

8.1.3. Teori Difusionisme- Faktor Sejarah

Teori Difusionisme menyatakan kebudayaan masyarakat sejagat terbentuk hasil daripada proses ’pinjam-meminjam’ daripada kebudayaan lain. Teori ini di gagaskan oleh Frans Boas, seorang ahli antropologi Amerika Syarikat kelahiran Jerman pada awal abad ke-20. (Anwar Din, 2008:40). Teori beliau dinamakan juga historical particularism kerana teori itu menyatakan setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang mempunyai ciri-ciri keunikan tersendiri. Ini kerana setiap masyarakat mengalami sejarah yang berbeza.

Teori ini tidak memberi ’hukum’ tetapi melihat bahawa perubahan yang berlaku pada sesuatu kebudayaan bergantung kepada peristiwa yang terjadi dalam sejarah yang dilalui oleh masyarakat berkenaan. Teori ini menyatakan setiap masyarakat melakukan proses ’pinjam-meminjam’. Daripada proses pinjam-meminjam inilah terbentuk sesuatu kebudayaan.

Sungguhpun begitu, teori ini juga menyatakan sesuatu masyarakat melakukan ’inovasi secara dalaman’. Inovasi dalaman itulah yang memungkinkan berlakunya difusi (pinjam-meminjam). Kebudayaan terbentuk kerana inovasi dalaman menjadi ’tapak’ kepada perkembangan seterusnya. Sekiranya tidak berlaku inovasi dalaman maka tidak akan berlaku difusi.

Teori ini masih relevan sehingga hari ini. Teori ini cukup berpengaruh, terutamanya dalam memperkatakan tentang modernisasi dan pembangunan di Negara-negara sedang membangun. Ini kerana terbukti bahawa negara-negara tersebut meminjam banyak unsur daripada peradaban Barat, khususnya dalam bidang sains dan teknologi.



8.1.4. Fenomenologi

Fenomenologi adalah suatu kaedah penelitian yang ’melihat dari dalam’ masyarakat itu sendiri. Fenomenologi tidak mementingkan teori tetapi lebih menekankan fakta sebenar. Pendekatan ini menyarankan supaya penjelasan tentang sesuatu perkara harus didahului oleh ’fakta’ yang terdapat dalam masyarakat berkenaan, bukannya didahului dengan penggunaan teori. Tokoh penting pendekatan ini ialah Edmund Hesserl (1930-an), seorang ahli fikir Jerman (Anwar Din, 2008: 46).

Menurut Edmund Hesserl penelitian tentang sesuatu kebudayaan harus dilihat darpada kaca mata masyarakat yang mendokong kebudayaan itu sendiri. Pendekatan seperti ini dinamakan juga ’deskripsi secara empati’, iaitu pengkaji mengalami sendiri cara kehidupan masyarakat yang dikaji dan merasa penuh simpati terhadapnya. Dengan cara ini barulah sesuatu kajian itu dapat menjelaskan pengertian sebenar sesuatu kebudayaan.

Fenomenologi bukanlah suatu teori tetapi suatu ’falsafah’. Fenomenologi adalah satu falsafah yang bersifat berkecuali, iaitu tidak terikat pada mana-mana teori. Fenomenologi mengembalikan kepentingan kajian bersifat deskriptif, iaitu menekankan fakta yang selama ini diabaikan oleh para pengkaji kerana terlalu ghairah dengan teori. Suatu deskripsi yang menyeluruh dan mendalam serta diasaskan kepada fakta-fakta sahih akan dengan sendirinya menjelaskan sifat sesuatu kebudayaan. Fenomenologi adalah pendekatan yang paling berpengaruh pada hari ini.


8. 2. Pengaruh Agama Kristen dan Islam

Di Kalimantan Barat pada umumnya, hubungan Orang Melayu Sambas —Dayak berada pada situasi yang unik. Cerita lisan seperti yang dikutip Bambang Hendarta (1999) mengenai asal-usul orang Dayak dan Melayu di Sambas serta cerita-cerita lisan dari berbagai daerah di provinsi ini menyiratkan bahwa orang Dayak maupun orang Melayu berasal dari satu garis nenek moyang. Syahzaman dan Hasanuddin (2003) bahkan secara eksplisit mengatakan bahwa Dayak dan Melayu “..mempunyai satu asal nenek moyang yaitu Proto Melayu dari Melayu Austronesia”. Mengenai asal usul orang Melayu, King (1993, p. 31) mengatakan bahwa sebagian besar dari kelompok ini berasal dari orang-orang bebas (bukan budak) penduduk asli pulau ini yang menjadi Islam.

Penduduk asli—yang sekarang diistilahkan sebagai Dayak—setelah proses menjadi Islam ini kemudian di-reklasifikasikan menjadi Melayu. King (1993) menambahkan bahwa ada kelompok Islam lain yang menambah jumlah kelompok Melayu ini, yakni orang Bugis dari Sulawesi Selatan (p. 33). Mengapa orang Dayak yang menjadi Islam kemudian dinamakan Melayu adalah karena di antara yang membawa pengaruh Islam tersebut adalah orang-orang Melayu (Bambang Hendarta,1999: 30).

Dari catatan-catatan masa lalu yang dikutip oleh King (1993, p. 122-123) hal ini nampak jelas. Pada tahun 1504 atau 1505, Ludovico Varthema dari Bologna mencatat bahwa kapal mereka tiba di sebuah pulau bernama Bornei (Sebutan untuk pulai ini pada masa itu) di mana mana penduduknya adalah orang-orang orang-orang yang bukan pemeluk agama (pagan). Pada tahun 1514 Kapten Jendral Portugis yang berkuasa di Malaka menulis kepada Raja Portugal Manuel I mengenai rombongan yang datang ke Malaka dari Borneo; rombongan tersebut terdiri dari 3 kapal (junk): rajanya bukan pemeluk agama (pagan) tetapi pedagangnya adalah orang Mor (Moor=pemeluk agama Islam). Pada tahun 1515 Tomé Pires mencatat bahwa hampir semua penduduk Borneo bukan pemeluk agama (istilah yang dia gunakan heathan) namun ada satu wilayah yang terkemuka yang didiami oleh orang-orang Muslim; ini terjadi tidak lama setelah sang Raja menjadi Muslim.

Dari catatan-catatan ini kita dapat mengambil Kesimpulan sementara bahwa datangnya orang-orang Melayu ke Kalimantan bersamaan dengan penyebaran agama Islam dan terutama di Brunei hal itu terjadi pada kurun waktu 1504—1515 di mana proses Islamisasi terjadi pertama-tama pada lingkungan kerajaan yang kemudian baru diikuti oleh rakyatnya. Vleming, seperti dikutip Bambang Hendarta (1999, p. 28-30) menghubungkan Islamisasi sebagian elite Dayak ini sebagai mobilitas vertikal dan mengkategorikannya sebagai segregasi sosial: “…Dengan menjadi orang Melayu, pada umumnya mereka menganggap dirinya sudah melakukan mobilitas sosial vertikal dari status rendah sebagai orang Dayak meningkat menjadi orang Melayu.” Dari sisi orang Melayu, hal ini menguntungkan dalam hal klaim mengenai asal-usul: “…Pada sisi lain, melalui proses Melayunisasi orang Dayak yang masuk Islam maka suku Melayu dapat memiliki kapasitas sebagai “pribumi asli” yang sama kedudukannya dengan orang Dayak.”

Realitas historis ini cukup penting untuk memahami relasi Dayak—Melayu pada masa kini. Seperti telah dikemukakan di atas, para penganalisis persoalan yang berhubungan dengan etnisitas tidak banyak mengupas mengenai relasi antaretnis. Eriksen (1993), misalnya hanya mengatakan bahwa bahwa relasi-relasi antaretnik dapat berada dalam situasi keterbukaan atau ketertutupan, dominasi atau kesetaraan; bisa saja terdapat korelasi antara relasi interetnik dengan persoalan pembagian kerja.

Sebagaimana uraian terdahulu bahwa orang Dayak pada dasarnya menerima pengaruh luar yang masuk ke daerah mereka. Lebih 500 tahun mereka berada dalam pengaruh Hindu dan Budha, setelah sebelumnya hidup dalam’ paganisme’.

Dari penelusuran sejarah di Selako tua terungkap bahwa penduduk di sana hampir semuanya telah memeluk Islam. Demikianpun penduduk Dayak lainnya di sepanjang aliran sungai Selako. Sekarang yang paling muda daripada mereka yang Islam sudah generasi ketiga bahkan ada yang kelima. Mereka yang Islam ini menyebut diri mereka melayu Sambas. Peningkatan kualiti ke-Islaman Melayu di Selako tua ini baru terjadi pada generasi kedua dan seterusnya. Generasi pertama yang masuk Islam biasanya masih juga mengamalkan sebagian dari ritual tradisionalnya, terutama yang berkaitan dengan kehidupan ’ magis’ kecuali ’ makan babi’.

Sikap orang Dayak yang selalu dipengaruhi oleh ’budaya luar’ inilah yang mempercepat berkembang pesatnya Islamisasi di kawasan ini. Dari penelitian Yusriadi (2006)di Embau diketahui bahwa’ apabila pada saat yang sama banyak orang akan memeluk Islam, maka mandi srotunya dilakukan secara beramai-ramai dengan membuat lumpur di sungai dan ketika air keruh , semua orang yang akan masuk Islam tadi mandi secara bersama-sama di sungai yang airnya keruh tersebut. Dari cerita nenek di Selako tua tadi, hal yang demikian dulunya terjadi juga. Orang Dayak secara beramai-ramai masuk Islam pada saat yang sama.

Posisi geografis Sambas di daerah Pesisir yang diunjang kemudahan sarana transportasi sungai juga turut mempengaruhi Islamisasi di daerah ini. Adapun kampung sasak dan seterusnya hingga ke Biawak (malaysia) orang Dayak Selako tidak masuk Islam, karena daerah ini memang terisolir sehingga sulit dijamah oleh pengaruh luar. Sampai tahun 1990 tidak ada transportasi darat ke daerah ini kecuali dengan perahu dan motor air sampai di Desa santaban saja. Seterusnya ke daerah pedalamannya mesti dengan jalan kaki puluhan kilometer. Andaikan daerah ini mudah di akses, diyakini mereka juga sudah Islam semua, hal ni diakui Dolaher yang berusia 60-an tahun. Dari beliau diketahui pula bahwa tidak ada informasi penolakan Islam di daerah mereka, tidak ada juga perang akibat persoalan agama ini.

Agama Kristen masuk pada daerah-daerah yang terisolir begini. Para misionaris sanggup berjalan kaki puluhan kilometer untuk mengunjungi kampung-kampung di pedalaman. Hal demkian tampaknya tidak mampu dilakukan oleh penyiar-penyiar agama Islam. Di setiap kampung yang didatangi mereka disambut ’bak-tamu istimewa’, mereka dipanggil Tuan. Misisonaris fase pertama di kalbar beruntung menemukan kampung Nyarumkop, kawasan yang didiami Dayak Selako. Kampung in sebenarna berada di pesisir juga tetapi belum tersentuh oleh Islam ketika itu. Di kampung yang strategis inilah dibangun persekolahan katolik yang peryama dan bermutu hingga hari ini. Proses kristenisasi di seanteroi Kalimantan Barat boleh dikatakan digodok dan dikembangkan dari kampung ini. Orang dayak dididik menjadi guru di sini. Guru-guru tersebut kemudian berperan besar menyiarkan dan membantu misonaris untuk menyebarkan agama Kriste/ khususnya Khatolik di seantero Kalimantan Barat.

Di Sambas tidak ditemukan data perang agama. Penduduk yang sudah Islam tetap dengan ke-islamannya sementara yang Kristen terus dengan ke-kristenannya. Islam berada pada daerah-daerah yang mudah di akses dunia luar (pinggir pantai dan Daerah aliran Sungai besar) sementara kristen berada di daerha pedalaman yang relatif sulit dijangkau. Akses ke kampung-kampung Dayak yang kristen baru mudah dijangkau ketika pembangunan jalan raya dilakukan pemerintah. Pembangunan jalan ini di Kabupaten sanggau misalnya ternyata membuat sebaliknya, melayu yang dulunya mudah di akses karena bermukim dipinggir sungai Kapuas sehingga dilalui setiap hari oleh motor-motor air, sekarang justru sulit diakses karena angkutan sungai hampir hilang. Sekarang yang mudah diakses adalah kampung-kampung Dayak yang Kristen karena kampung mereka dilintasi jalan Raya yang setiap hari dilewati kendaraan mobil maupun sepeda motor .


Dalam suatu kurun waktu tertentu, identitas juga bisa berubah, dihilangkan atau mengantinya dengan identitas baru. Menurut Connoly (2002:64) sebagai berikut :
An identity is established in relation to a series of differences that have become socially recognized. These differences are essential to its being. If they did not coexist as differences, it would not exist in its distinctness and solidity. Entrenched in this indispensable relation is a second set of tendencies, themselves in need of exploration, to conceal established identities into fixed forms, thought and lived as if their structure expressed the true order of things. When these pressures prevail, the maintenance of one identity (or field of identities) involves the conversion of some differences into otherness, into evil, or one of its numerous surrogates. Identity requires differences in order to be, and it converts difference into otherness in order to secure its own self-certainty.

Struktur sosial masyarakat Dayak, dapat diubah oleh pengaruh agama yang masuk sebelumnya. Kita dapat melihat pengaruh Hindu misalnya Budha dan Islam. Orang Arab dengan latar belakang Islam dan orang Eropa dengan latar belakang Kristen ikut mengubah institusi sosial di Kalimantan. Kühr (1995 : 78) mencatat pada tahun 1892, di Serawai, Kabupaten Melawi , menemukan monumen Hindu dari zaman dahulu, yang dianggap sebagai tempat suci untuk meletakkan sesajen oleh orang Melayu dan Dayak agar panennya dikabulkan. King (1978 : 2) menyatakan bahwa pembelahan (fission) dan perpaduan (fusion) sosiokultural terjadi karena anggota masyarakat sering meminjam unsur-unsur sosial yang semakin lama semakin mempersulit kategorisasi kelompok etnik. Enthoven menjelaskan dalam buku yang ditulis pada tahun 1903 (King, 1978 : 3) bahwa masyarakat Dayak di Kalimantan Barat yang baru masuk Islam, yang dalam bahasa daerah mereka disebut sanganan atau turun Melayu. Mereka tidak melepaskan kebiasaan tinggal di rumah panjang, minuman tradisional yang beralkohol dan makan jenis daging yang menurut ajaran Islam tidak halal. Nilai atau kepentingan sosial bersama mewujudkan struktur sosial masyarakat. Radcliffe Brown (1980: 223) menyatakan bahwa hubungan sosial tidak muncul dari persamaan kepentingan tetapi diwujudkan dari kepentingan bersama sampai meninggal dunia, dan juga mengikuti siklus alam dan irama hidup. (Van Gennep 1960 : 194)

Penyebaran agama kristian merupakan dasar pemerintah penjajah Hindia Belanda dikalangan suku-suku bangsa bukan Islam. Khususnya di kalangan suku bangsa Dayak Selako. Oleh sebab itu, Belanda sengaja menyekat kemasukan agama Islam di pedalaman sungai Selako. Agama kristian telah disebarkan secara besar-besaran pada tahun 1880-an ( Omar, 1999:33). Salah satu sebab utama mudahnya orang dayak Selako masuk Kristian kerana agama ini melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan adat resam Dayak yang pra-kristian, bahkan adat resam ini masih dikekalkan. Hal ini khususnya dilakukan oleh agama Katolik.

Penyesuaian seperti ini telah menyebabkan suku Dayak Selako menganuti agama kristian beramai-ramai kerana struktur masyarakat mereka tidak diancam. Suatu kesan yang amat ketara ialah penubuhan sistem sekolah yang didirikan oleh mubaligh-mubaligh Kristian di daerah Selako, misalnya didirikan Sekolah pertama di Nyarumkop pada tahun 1917. Sekolah ini amat bermutu, sehingga ramai tokoh-tokoh tua Dayak di Kalimantan Barat adalah pelajar di sekolah ini.

Agama Kristian telah memperkenalkan perubahan-perubahan yang amat ketara terhadap struktur masyarakat Dayak Selako. Yang amat penting ialah kemudahan-kemudahan kebendaan seperti sistem persekolanan yang bermutu tinggi, hospital dan institusi-institusi kebajikan yang lain. Ekoran daripada ini cita-cita kebendaan suku Dayak Selako dan Suku Dayak lainnya meningkat. Keterangsingan masyarakat Dayak telah tamat dan ciri-ciri dinamis dan perubahan sosial secara progresif telah dijadikan salah satu daripada nilai-nilai sosial suku Dayak yang disanjung.

Bagi suku Dayak Selako seolah-olah agama Kristian telah memberi sahala (kuasa) yang lebih unggul kepada mereka. Gereja mengukuhkan lagi kekuatan suku di kalangan berbilang kaum di kalimantan Barat. Muncul pula suatu kesedaran tentang kebolehan diri mereka, motivasi terhadap peningkatan kebendaan masyarakat Dayak, dan ini menjadikan militansi Dayak dikemudian harinya. Penubuhan parti Persatuan Dayak pada tahun 1959 adalah hasil nyata daripada proses ini.

Dalam soal agama ini, dasar Belanda yang menekankan dasar pecah dan perintah telah menimbulkan suatu keadaan ketegangan antara suku-suku bangsa di Kalimantan Barat. Islam di dapati di 80 peratus wilayah Sambas, sepanjang sungai Kapuas sampai ke Putussibau, sepanjang sungai mempawah, sungai Landak, Sungai Pawan dan Sukadana. Tetapi di bagian pedalaman yang jauh dari aliran sungai agama Kristian bertapak disitu oleh kerana Belanda telah menyekat Kemaraan Islam kesana. Penyekatan di Sungai Kapuas dilakukan Belanda dengan menubuhkan gereja di Sejiram, bahkan gereja disini adalah yang mula-mula di Kalimantan Barat.

Sehingga kini di Kalimantan Barat perasaan suku amat kuat, dan jelaslah bahawa agama Kristian dan agama Islam tidak berjaya mengatasi sentimen ini. Perpecahan menurut suku begitu ketara dan agama Islam serta Kristian memperkuat perpecahan ini.

Menurut Sellato (2002 : 128) aktivitas orang Dayak sebenarnya beradaptasi dengan lingkungannya dan juga tergantung sosialisasi dengan suku tetangganya. Dia berpendapat bahwa kelompok nomaden, hunter and gathers, yang tinggal di pelosok secara pindah-pindah, dan juga tinggal jauh dari kelompok lain mereka senantiasa berswadaya. Kelompok Dayak lain juga beradaptasi dengan lingkungannya tetapi mereka tidak berswadaya secara menyeluruh seperti kelompok yang disebut di atas. Ada juga kelompok ketiga, yang berasimilasi total dengan pendatang baru, mereka tetap bertani dan membudidayakan binatang-binatang tertentu dan mungkin juga mengadopsi bahasa dari imigran sekitarnya. Bahasa Dayak menurut para ahli linguistik diklasifikasikan sebagai Malayo Polynesia dari keluarga bahasa Austronesia (www.ethnologue.com : 2004). Menurut hipotesis Adelaar, Borneo dilihat sebagai homeland, daerah asal, bahasa Malay(ic) (Adelaar 2004 : 4). Ada ahli bahasa lain yang berpendapat bahwa homeland bahasa Malayic berada sekitar 100 kilometer dari hulu sungai Sambas, tetapi pendapat itu harus dipertimbangkan dengan hati-hati, karena belum cukup data yang mendukung hipotesis itu, menurut Adelaar. Walaupun ada persamaan keluarga bahasa, namun tidak harus memiliki persamaan etnis. Belum cukup temuan arkeologis yang didapat untuk membuktikan asal usul orang Dayak. Hipotesis-hipotesis dan tulisan tersebut di atas hanya mengindikasikan bahwa suku Dayak sudah lama berada di Kalimantan.

Tampaknya sekitar abad ke-11 suku Melayu masuk (atau kembali) ke Sambas, Mempawah, Sanggau, Sintang dan kemudian menyebar ke tempat lain. Menurut pendapat umum agama Islam menyebar ke Kalimantan sekitar abad ke-15. Ini menunjukkan bahwa Islam masuk setelah orang Melayu dan Jawa membawa unsur-unsur agama Hindu dan budaya dari zaman Sriwijaya dan juga dari zaman Majapahit ke Kalimantan. Salah satu Kerajaan Hindu tertua di Kutai didirikan sekitar abad keempat, tepatnya di Kalimantan Utara. Disebutkan bahwa di candi Borobudur ada gambar laki-laki dengan telinga panjang yang sepertinya menggunakan sumpit yang panjang. Relief ini mungkin melukiskan orang Dayak (Avé 1986 : 13). Menurut Kühr (1995 : 53) dewa-dewi orang Dayak yang tinggal di pinggir sungai Kapuas, sebenarnya diberi nama dewa-dewi Hindu-Jawa yang didayakkan seperti; Petara (Batara), Jubata (Déwata) dan Sengiaug (Sang Hyang).

Di samping back migration (merantau kembali) orang Melayu, bangsa Tionghoa berlayar ke pantai Asia Timur pada abad ketiga untuk perdagangan dan kembalinya melalui Kalimantan dan Filipina dengan memanfaatkan angin musim. Bangsa Tionghoa adalah kelompok etnis yang cukup penting dalam sejarah Kalimantan, sehingga sejarah mereka penting disorot.

Sekitar abad ketujuh orang Tionghoa mulai menetap di Kalimantan tetapi mereka tetap bercorak Cina dan hubungan dengan negeri leluhur mereka selalu dipelihara Agama Islam di Kalimantan juga ikut disebarkan oleh orang Tionghoa. Pada tahun 1407 berdiri perkumpulan masyarakat Tionghoa Hanafi yang menganut Islam di Sambas. Laksamana Cheng Ho seorang Hui adalah penganut Islam dari Yunan yang atas perintah Cheng Tsu dan anak buahnya masuk untuk menguasai daerah tersebut. Dia menetap di sana dan menikah dengan penduduk setempat, serta menyebarkan agama Islam kepada penduduk lokal.

Orang Melayu masuk dari Sumatra dan dari Semenanjung Malaka sekitar abad ke-11 atau ke-12 dan berbaur dengan orang Dayak. Pada umumnya mereka mendiami daerahpinggir laut dan menjadi perantara orang luar dan orang Dayak yang ingin menukar atau menjual hasil hutan. Orang Melayu juga berbaur dengan keturunan orang Jawa yang sudah masuk sebelumnya. Seorang Ratu dari keturunan Hindu Majapahit yang memerintah daerah Sambas pindah ke agama Islam untuk memudahkan perniagaan dan mengembangkan hubungan baik dengan Johor dan Brunei yang sudah masuk Islam.

Dewasa ini istilah Melayu digunakan sebagai kontras Dayak dengan Melayu. Istilah Melayu tidak digunakan sebagai referensi etnis tetapi sebagai referensi Islam kontras non-Islam. Peningkatan jumlah besar orang Melayu di Kalimantan disebabkan oleh orang asli atau Dayak yang memeluk Islam dan bukan karena jumlah besar orang Melayu yang merantau ke Kalimantan. Orang Dayak yang memeluk Islam tidak berarti bahwa mereka selalu memeluk secara penuh tetapi mungkin hanya secara Resmi kependudukan sahaja.

Dasar ekonomi kolonial Belanda telah membawa masuk orang Jawa beramai-ramai ke Kalimantan Barat sehingga bilangan suku-suku bangsa asli di sana telah merosot. Untuk melindungi hak-hak suku bangsa asli khususnya orang Melayu, Belanda telah memberi hak-hak istimewa kepada kerajaan-kerajaan Melayu. Dasar ini membuat suku Dayak menjadi sapi perahan kerajaan Melayu. Kebencian orang Dayak kepada Melayu bermula pada saat ini. Namun disadari kemudian bahawa dasar ini memisahkan suku Melayu daripada suku-suku bangsa Indonesia yang lain dan juga mengasingkan orang Melayu daripada arus pergerakan nasionalisme di Indonesia (Omar, 1999:37).

Di Dusun Sasak, sebagaimana di Kabupaten Sambas umumnya, ternyata etnik Melayu yang ada tidak semuanya semuanya Islam. Tercatat dalam 5 tahun terakhir ini ada 11 orang Melayu yang berpindah menjadi Kristen. Sementara pada kurun masa yang sama ada 26 etnik dayak yang pindah ke agama Islam. Di Dusun ini hanya terdapat sebuah mesjid, tetapi di Desa tetangganya Sijang yang mayoriti Islam terdapat 3 mesjid dan 6 surau. Sementara itu Orang dayak di Dusun Sasak ada yang menganut agama Katolik dan ada pula yang menganut agama Protestan.

Agama Islam ini dianuti masyarakat sambas sejak beberapa generasi lalu. Walaupun tarikh mereka memeluk agama Islam tidak diperolehi dengan pasti, tetapi kalau merujuk kepada sumber Belanda (Veth 1854, Enthoven 1903), maka diperkirakan orang Sambas pada umumnya sudah memeluk agama Islam sejak tahun 1750 atau sejak lebih 250 tahun lalu. Perkembangan agama Islam di sambas dapat dikatakan pesat. Hal yang membuatnya demikian kerana islam di sambas dan kalimantan Barat umumnya berjaya mengintegrsikan ajaran agama dengan kebudayaan tempatan. Hanya kebiasaan makan babi saja yang menonjol dilarang dan ini memang sangat sesuai dengan Islam. Merujuk Yusriadi (2007:3) Proses memeluk agama Islam di Kalimantan Barat umumnya cukup khas. Setidaknya dibandingkan dengan ketentuan normative dalam Islam, ada beberapa syarat tambahan yang sifatnya lokalistis. Dalam tradisi masyarakat, prosesi masuk Islam meliputi:
1. Mandi srotu, yaitu mandi dengan air tanah. Di Sambas orang yang masuk Islam dimandikan dengan seember (baldi) air bercampur tanah. Air tersebut disiramkan kepada orang yang masuk Islam. Biasanya siraman pertama dilakukan oleh pemuka agama. Setelah itu orang yang mandi menyiram sendiri. Jika air dalam ember sudah habis, orang yang masuk Islam itu membersihkan diri dengan air bersih. Atau lebih sering mereka mencebur diri ke sungai. Untuk kasus masuk Islam dalam jumlah banyak, proses mandi srotu agak berbeda. Menurut cerita dahulu ketika orang masuk Islam mereka langsung terjun ke sungai yang airnya sudah dikeruhkan. Ada orang tertentu yang ditugaskan mengaduk-aduk tanah di air, di bagian hulu pemandian. Di Riam Panjang dikenal ada Lubuk Melayu, yaitu bagian air yang dalam yang kabarnya pernah digunakan untuk orang mandi srotu. (Lebih jauh soal mandu srotu dapat dilihat dalam Yusriadi, 2002).
2. Sunat. Menurut pandangan masyarakat setempat, orang lelaki yang masuk Islam
harus disunat. Sunat dianggap ciri Islam. Sunat yang dimaksud adalah mengiris kulit bagian ujung kemaluan (kulup). Dahulu, sunat dilakukan oleh dukun di kampung. Seseorang yang akan disunat sejak subuh turun ke sungai dan berendam sampai benar-benar kedinginan. Setelah itu dia didudukkan di atas batang pisang, dan kemudian kulit bagian ujung kemaluan dijepit dengan penjepit khusus milik dukun dari bahan kayu. Bagian ujung jepitan itulah yang diiris dengan pisau atau kadang dengan sembilu’, yakni bagian luar bambu yang ditajamkan. Bekas irisan itu kemudian dibalut dengan obat-obatan khusus dari getah pohon asam kandis. Baru pada akhir tahun 1980-an, orang kampung mengenal sunat mantri. Maksudnya sunat yang dilakukan oleh mantri seperti sunat yang sekarang ini.
3. Bagian-bagian lain seperti membaca syahadat, belajar sembahyang, merupakan ‘pelajaran’ pertama bagi seorang mualaf. Selain simbol fisik yang dapat dilihat pada orang Islam di Riam Panjang, ada simbol fisik pada kampung. Simbol fisik yang dimaksud adalah masjid. Masjid Al-Yaqin merupakan penanda penting bagi identitas ke-Islaman orang kampung di pedalaman.

Orang Dayak Selako menerima Agama Islam tanpa pergolakan yang berarti, hal ini misalnya dapat diungkap dariapada paparan beberapa responden di Selakau Tua, salah satunya Seorang Nenek yang dipanggil Nek Rinai berusia 70-an tahun yang berdiam di Selakau Tua, beliau dengan tegas mengatakan bahwa dia adalah ‘Dayak Salako’ walaupun hanya dia saja lagi yang masih tinggal di tengah-tengah komunitas Melayu Sambas di situ. Nenek ini mengatakan bahwa dulunya kampung dia dihuni oleh Etnik Dayak semuanya. Dia masih sangat jelas mengingat keadaan kampungnya ketika dia masih kanak-kanak. Dia menyaksikan bagaimana prosesnya orang-orang Dayak ketika itu memeluk agama Islam. Menurut dia orang Dayak ketika itu mau menerima Islam karena Islam adalah lambang perubahan. Dengan Menjadi Islam berarti menjadi orang baru. Menurut dia tidak ada perpindahan orang Dayak di kampungnya karena pengaruh Islam, kalaupun ada karena kawin dengan orang Dayak di kampung lain.

Ketika ditanya agamanya nenek ini mengatakan agamanya masih agama ’asli’ tidak Kristen dan tidak Islam tetapi di KTP tertulis Kristen, karena ketika ORBA semua orang harus beragama. Agama Kristen menurutnya masih membolehkan adat-tradisi maka diapun masuk Kristen tetapi belum pernah di baptis apalagi mendapatkan pelajaran agama Kristen.

Arman di Kampung Sasak mengatakan bahwa dia masuk Islam karena mengikuti agama kakeknya di tebas dulu. Dia pindah ke Sasak karena dulunya menoreh di daerah ini dan karena merasa mendapatkan jalan kehidupan maka istrinya yang berasal dari kampung yang sama diboyongnya ke Sasak. Dorahel yang berasal dari kampung batu Itapm di hulu sungai bantanan (hulu Sasak) pindah ke kampung Sasak tahun 60-an, dia pindah dari pedalaman ke hilir. Ketika itu sudah ada beberapa keluarga Melayu di Sasak. Dia bahkan membeli tanah untuk membangun rumahnya sekarang. Dia pindah ke Sasak karena tanah di Sasak dikenal subur, petani di daerah ini selalu mendapat padi melimpah begitupun halnya dengan karet. Karet yang di tanam disini umumnya subur sehingga produksinya tinggi.

Di Kalimantan Barat, Orang Dayak yang masuk Islam di sebut Senganan, sehingga dapat dikatakan bahawa sembilan puluh peratus orang melayu di Perhuluan Sungai kapuas, sungai Landak, sungai Mempawah dan juga di Sambas adalah Senganan. Merujuk Coomans (1987:31) di Kalimantan Timur orang Dayak yang masuk Islam disebut ’Halo’.

Coomans (1987:32) mengatakan bahwa Penggunaan istilah itu menekankan gagasan orang Dayak, bahwa mereka yang masuk agama Islam memisahkan diri dari segala ikatan sosial semula, membuang segala adat yang diwariskan dari nenek Moyang. Bahkan untuk menjaga agar mereka tidak najis, hubungan sosial dengan keluarga-asal semakin dikurangi. Hal itu berarti bahwa persatuan genealogis (keturunan) mereka tinggalkan dan mementingkan persatuan lokal sebagai persatuan umat. Sementara bagi orang Dayak ikatan keturunan sangat penting.

Thambun Anyang (1996: 78) mencatat satu hal yang sangat menarik mengenai proses perpindahan agama ini. Pada waktu zaman kolonial masyarakat suku Dayak yang ingin melanjutkan sekolah yang ditubuhkan kerajaan terlebih dahulu harus masuk Islam supaya tidak diejek sebagai orang kafir atau orang yang dihina sebagai pemotong kepala.

Dapatlah dikatakan bahwa agama Islam merupakan ikatan religius, politik, dan sosio ekonomis sekaligus. Orang dayak yang mengubah identitasnya menjadi Melayu dan kemudian mereka diakui sebagai melayu oleh orang Melayu telah menjadi issu yang penting dalam kaitan dengan persaingan politik identiti di Kalimantan Barat setakat ini.

8.2.1 Perjuangan politik Identitas melalui Agama

Pada tahun 1999, diadakan pemilu yang diikuti banyak partai. Dalam pemilu itu parpol beridentitas agama dan etnis memperoleh suara yang kecil. Perolehan suara itu memberi tanda penting, bahwa penggunaan identitas agama dan etnis di tingkat nasional, kurang mendapat dukungan dari masyarakat luas. Kondisi serupa juga ditunjukan pada saat Sidang Umum MPR 2000, yang antara lain membahas tentang Amandemen UUD 1945. Pada masa itu, parpol berbasis agama (Islam), memperjuangkan formalisasi syariat Islam di level Nasional melalui pencantuman piagam Jakarta dalam preambule UUD 1945. Melaui tarik ulur dengan kelompok nasionalis, akhirnya upaya itu tidak berhasil diwujudkan.

Meski menemui kegagalan di tingkat nasional namun keinginan untuk memperjuangkan syariat islam yang di formalkan tidak sepenuhnya pudar. Mereka seakan menemukan ruangnya lagi seiring dengan hadirnya politik desentralisasi dibawah payung hukum UU No 20/1999. Situasi ini memberi peluang baru bagi kalangan Islam fundamentalis untuk bisa menunjukan ekspresi identitas (keagamaan dan etnisitas) melalui perebutan ruang-ruang di tingkat lokal. Di Kabupaten Sambas issu ini cukup kuat. Perjuangannya adalah berupa Peraturan daerah (perda) syariah. Sampai saat ini perda yang demikian sudah ada di 6 propinsi, 38 kabupaten dan 12 kota di seluruh Indonesia.

Dari pembincangan dengan politisi lokal (khususnya di Sambas), ada sejumlah alasan yang dimunculkan dalam regulasi itu, antara lain ialah (a) untuk mengembalikan identitas (”otensitas”) lokal yang dihilangkan pada masa rezim Orde Baru, (b) hukum positif dianggap tidak mampu mengatasi problem sosial kemasyarakatan (dekadensi moral privat), (c) desakan anggota parlemen dan parpol Islam seperti PPP dan PBB, serta dari tokoh agama Islam, (d) memperoleh dukungan dari khalayak publik setempat dengan basis keagamaan.

Bila di tarik ke belakang, politisasi agama yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah hal yang baru, tetapi terkait dengan dinamika kesejarahan Indonesia sejak awal berdiri sampai sekarang. Khususnya terkait dengan perdebatan dalam perumusan konsep kenegaraan Indonesia yaitu relasi antara agama dengan negara yang belum selesai. Keinginan sebagian pihak untuk mendirikan negara Islam pada masa lampau (baik masa pasca kemerdekaan- BPUPKI tahun 1945, Sidang Istimewa MPRS 1968, dan Sidang Umum MPR 2000).

Dalam bagian lain, kemunculan politik identitas juga tidak bisa dilepaskan dari adanya intervensi globalisasi. Faktor ini tidak bisa nisbikan perannya, terutama karena globalisasi menyediakan ruang keterbukaan untuk saling berkomunikasi bagi tiga pihak yaitu komunitas global, nation state, dan warga lokal. Dalam situasi sekarang dimana sedang terjadi arena persaingan antar ideoologi dengan berbagai warna- juga soal ekonomi diberbagai aras, maka konstruksi identitas tidak kosong dari pengaruh satu sama lain. Terkait dengan soal ini, maka politik dentitas berbasis identitas agama di komunitas lokal, juga bisa dipahami sebagai konsekuensi dari persaingan di ranah global. Kehadirannya juga banyak di dukung oleh posisi negara yang sedang lemah, baik dalam arti politik maupun ekonomi.

Mengutip pernyataan Hanneman Samuel, Ph.D Dosen Sosiologi Universitas Indonesia tentang terjadinya penguatan Politik Identitias di Indonesia dalam Majalah Online Suara Baru (Januari-Pebruari 2008, halaman 26)

Dalam satu dekade terakhir ini, telah terlihat kemajuan dalam perlindungan identitas di Indonesia. Indonesia kini telah memiliki UU Kewarganegaraan. Status Khonghucu juga sudah jelas. Imlek tak perlu lagi dirayakan sembunyi-sembunyi.
Justeru yang kurang menggembirakan adalah adanya Kristalisasi politisasi identitas yang mengambil bentuk pendirian partai politik. Selain itu Juga melalui tekanan-tekanan dalam penyusunan rancangan peraturan nasional. Bahkan banyak daerah tingkat II kini telah memiliki Perda Syari’ah. Satu kota di Papua berusaha dijadikan sebagai “Kota Injil”.

Kita tidak tahu apakah politisasi identitas merupakan tujuan atau cara. Kehebohan pada pengesahan RUU Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) memberi kesan penajaman
politisasi identitas. Namun, yang terjadi justru legalisasi masuknya prinsip neoliberalisme dalam dunia pendidikan. UU SISDIKNAS bukan politisasi identitas. Soal campur tangan
negara dalam pengajaran agama di sekolah lebih merupakan isu sesaat. Masih banyak kasus yang dapat kita catat. Perayaan Imlek diperebutkan. Keberadaan tempat ibadah dipermasalahkan. Bahkan ada yang sampai dirusak. Secara sosiologis, semua itu merupakan hal yang menarik. Kita telah menyaksikan muncul dan berkembangnya gerakan-gerakan radikalisme pada masa Perang Dingin. Kini, tampaknya kita tengah menyaksikan munculnya neo radikalisme. Isue yang diangkat bukan lagi persoalan ketimpangan buruh dan majikan. Tetapi, perjuangan atas nama identitas kultural. Khususnya yang berkaitan dengan S-A-R-A (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan).

Gerakan lain yang juga menguat di era globaliasi ini ádalah fundamentalisme. Berbagai kelompok muncul untuk memperjuangkan apa yang disebut pendukungnya– sebagai “pemurnian budaya”. Mereka memandang orang-orang di luar kelompok mereka sebagai pihak yang keliru. Merekalah yang menganggap diri paling benar dalam menafsirkan ajaran. Dalam kaitan dengan Muslim, hal ini berujung pada pembedaan di antara “Islam textual” dan “Islam Kontekstual”. Yang satu mempoisisikan diri vis-à-vis yang lain. Yang mengalami kerugian, bukan hanya Muslim. Tetapi juga orang Indonesia pada umumnya. Tak ada satu orang pun yang mengharap tahun 2008 dan seterusnya merupakan tahun yang buruk. Namun, sulit rasanya untuk menolak kenyataan bahwa tahun 2008 – 2010 bisa jadi merupakan masa-masa kritis bagi orang Indonesia. Dan saya tidak akan terkejut bila penajaman politisasi identitas akan terjadi. Pilkada tengah terjadi di berbagai belahan Nusantara. Isue Putra Daerah menguat di berbagai wilayah. Hal ini sungguh menyedihkan. Di era globalisasi ini kita justru mengembangkannya. Bukan profesionalisme. Tidak ada jaminan pula bahwa pemilu yang akan kita laksanakan pasti terbebas dari pihak-pihak yang mencoba memancing di air keruh. Hal ini tentunya merupakan tantangan bagi orang Indonesia . Bukan untuk menjadikan kita ketakutan atau paranoid. Yang diperlukan, kelenturan dalam kehidupan sehari-hari. Waspada namun tetap lentur dalam bingkai NKRI. Sedia payung sebelum hujan.


8.3. Penguatan Identiti Oleh LSM dan Lembaga Etnisiti

Menurut Eriksen timbulnya etnisitas didasari pada kecenderungan di dalam setiap kelompok manusia untuk membedakan antara orang dalam dan orang luar, untuk menarik garis batas sosial, dan kecenderungan untuk membangun stereotip-stereotip tentang “kelompok lain.” Kecenderungan membangun stereotip-stereotip tentang kelompok lain ini juga sebenarnya merupakan cara untuk mendukung dan membenarkan garis batas sosial ini. Eriksen menekankan bahwa etnisitas muncul ketika “perbedaan-perbedaan kultural yang dipersepsikan akan berakibat pada perbedaan sosial” (ethnicity occurs when perceived cultural differences make a social difference. Etnisitas muncul karena adanya interaksi dari kelompok-kelompok yang merasa “berbeda”, ketika pembedaan “kita” dan “mereka” menjadi penting.

8.3.1. Gerakan LSM Pancur Kasih

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pancur kasih sangat terkait dengan penguatan politik identiti Dayak di Kalimantan Barat (Davidson, 2002:256-269). LSM ini berdiri tahun 1981 oleh sekelompok guru dan mahasiswa Dayak, yang dipimpin oleh A.R. Mecer seorang pensyarah di Universitas Tanjungpura Pontianak. Mereka membentuk sebuah yayasan sosial yang bernama Pancur Kasih (YKSPK) yang pada awalnya bertujuan untuk membuka sebuah sekolah menengah (St. Fransiskus Asisi) yang dikelola oleh orang Dayak untuk orang Dayak. Pada masa itu guru-guru yang mengajar di sekolah favorit dan unggulan di Pontianak seperti persekolahan Santo Petrus, Santo Paulus merata-rata 60 peratusnya adalah orang Dayak. Sehingga mereka berkesimpulan bahwa orang Dayak kalau diorganisir menubuhkan sekolah, maka sekolah itu pasti akan bermutu juga. Dengan kata lain, itu menjadi langkah yang nyata menuju kemandirian. Selama beberapa dekade, saat kepemimpinan Pancur Kasih dibina, misionaris asing dan pemerintah – walau sangat jarang sekali –bertanggung jawab terhadap pendidikan orang Dayak. Saat itu adalah waktu untuk mengakhiri ketergantungan orang Dayak dan untuk menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang yang terbelakang dan malas seperti yang dianggap oleh rezim Orde baru (dan yang lainnya). Penekanan akan kemandirian digarisbawahi dalam motto Pancur Kasih :

‘Masyarakat Dayak mampu menentukan dan mengelola kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik menuju kemandirian dalam kebersamaan dengan semangat cinta kasih serta untuk memperoleh pengakuan, penghormatan, dan perlindungan, berdasasrkan Pancasila dan UUD 1945.

Semboyan (motto) dan sekolah yang Pancur Kasih kelola menjadi tempat pembibitan sebuah pergerakan penguatan politik identiti Dayak . Pada masa itu orang masih malu menyebut dirinya Dayak, bahkan pemberian nama kepada anak-anak Dayak yang lahir menggunakan nama Jawa atau Batak. Kedua suku ini memang meng-hegemoni kehidupan di Kalimantan Barat bahkan Indonesia.
Kesuksesan dari pendirian sekolah dan yayasan memicu hal-hal yang lain. Salah satu perkembangan terakhir dan paling menonjol adalah perkembangan Credit Union Pancur Kasih (CUPK) yang didirikan tahun 1987. Penubuhan CUPK Diharapkan menjadi tempat orang Dayak ber-investasi. Dengan instituti keuangan yang dimiliki oleh orang Dayak diharapkan dapat membantu pengambilan keputusan dan meningkatkan peluang dalam bidang ekonomi. Selebihnya, simpanan dan akses kepada modal skala kecil dapat menopang mereka yang merasakan dampak pembangunan Orde baru, mereka yang tanahnya diambil alih secara ilegal. Credit Union telah menjadi sebuah batu penjuru dari pergerakan kemandirian orang Dayak. Sampai 31 Agustus 2008 , CU Pancur Kasih telah memiliki 72.013 anggota – termasuk orang non-Dayak – dengan asset Rp. 601.169.285.000 ( Enam ratus satu Milliar, seratus enam puluh sembilan juta, dua ratus delapan puluh lima ribu Rupiah) . Di samping CUPK, kemudian dibanyak daerah juga berdiri Credit-Credit Union lainnya. Saat ini ada lebih dari 50 Credit Union di Kalimantan Barat dengan total ahli sekita 200.000 orang total tabungan sekitar Rp 1,500.000.000.000,- (1,5 Billiun Rupiah). Lebih dari 70% ahli CU tersebut adalah etnik Dayak. Kesuksesan tersebut telah memicu berdirinya cabang-cabang Pancur Kasih seperti Bank Perkreditan Rakyat dan Dana Solidaritas Masyarakat Dayak.
Pancur Kasih adalah pelopor apa yang menjadi cerita sukses lainnya. Apa yang membedakan Pancur Kasih dengan tujuan awalnya, terletak pada komitmen lembaga tersebut pada perubahan sosial jangka panjang. Lembaga tersebut tidak melakukan perubahan yang cepat dan besar, tidak pula mengumpulkan dana dengan cepat dari lembaga-lembaga donor baik yang dari Jakarta maupun internasional, yang merupakan penopang dari Pancur Kasih dikemudian hari.
Namun, dalam tingkatan ini, adalah tidak sepenuhnya benar untuk mengkarakterkan Pancur Kasih sebagai sebuah lembaga yang otonom dan oposan. Orde Baru, khususnya pada puncak kejayaannya di pertengahan tahun 1980an, mentolerir kritikan kecil dan aktifitas ‘menyimpang’. Melakukan kegiatan-kegiatan ‘terlarang’ beresiko pada keberadaan lembaga dan membahayakan keselamatan diri para anggotanya. Cara-cara represif ini kemudian menimbulkan kehati-hatian para pemimpinnya. Namun, alasan lain juga berkontribusi terhadap sikap konservatif mereka. Hubungan antara Pancur Kasih dan Golkar terjadi. Beberapa anggota Pancur Kasih seperti Arsen Rickson dan Rahmad Sahudin menjadi anggota Golkar di DPRD I. Kenyataannya, hubungan ini bertujuan untuk menyelamatkan sekolah milik Pancur Kasih. Beberapa memilih untuk melihat perubahan sosial dalam sistem dan melihat kontradiksi yang kecil dalam kedua organisasi tersebut. Bagi yang lain, mereka meletakkan dukungan mereka di kedua sisi untuk bertaruh bagi masa depan yang tidk pasti. Atau mungkin, merasa bahwa kedekatan dengan Pancur Kasih mengurangi stigma menjadi ‘Dayak Golkar’ dan boneka Orde Baru. Bagaimanapun, ketegangan konservatif-progresif ini berlanjut saat generasi muda yang lebih kritis bergabung dan memperluas aktifitas lembaga sampai ke daerah-daerah.

Praktik-praktik yang lebih oposisional dari Pancur Kasih muncul dan berkembang diawal tahun 1990an. Pada masa itu aktifis Pancur Kasih memilih dua cara, cara pertama tetap mengekalkan Pancur kasih seperti sedia ada, dan cara kedua dengan menubuhkan LSM yang berorientasi Dayak . LSM yang beranggotakan sekelompok aktifis orang muda Dayak. Merupakan unit otonom di bawah payung Pancur Kasih. Yang pertama dibentuk adalah Institute of Dayakology Research and Development (IDRD) pada tahun 1991. Walaupun latar belakag dan inspirasi pendirian IDRD berbeda-beda, Pancur Kasih menjadi kuncinya. Awalnya, beberapa anggota senior dan konservatif menolak ide ini, dan berpendapat bahwa LSM seperti ini bersifat eksklisif dan akan dicap organisasi SARA. Ironisnya, ini adalah penolakan yang sama seperti yang dilakukan pendiri Pancur Kasih sepuluh tahun sebelumnya. Namun saat Mecer setuju, dengan mendukung secara organisasional dan institusional dari Pancur Kasih menjadi sesuatu yang tak ternilai.
Maraknya kampanye anti logging di tahun 1987 di Sarawak dan kunjungan beberapa aktifis Sarawak ke Pontianak menginspirasi beberapa pemuda Dayak di Pontianak untuk mulai memberi pembelaan atas nama masyarakat adat Dayak Kalimantan Barat. Kemudian, pertukaran kunjungan dilakukan, yang memperluas hubungan dan membolehkan akses dalam mendapatkan literatur yang lebih banyak tentang, paradigma pembangunan kapitalis yang terdapat di Sarawak. Dua perkembangan lainnya memicu dua orang mahasiswa Dayak di Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak untuk mendirikan LSM berorientasi Dayak. Salah satunya adalah partisipasi dari Stepanus Djuweng, seorang mahasiswa Untan , pada pertemuan masyarakat adat di Chiang Mai, Thailand. Yang kedua adalah laporan yang ditulis oleh peneliti Belgia yang mencatat akibat buruk dari pembangunan Orde Baru terhadap orang Dayak di Kabupaten Sintang. Laporan yang didasarkan pada kenyataan lapangan , yang membela cara hidup dan hak atas tanah orang Dayak, mengesankan kedua mahasiswa ini. Laporan tersebut memicu antusiasme mereka dan akhirnya, pada bulan Mei 1997, mereka dan dosen bahasa Inggris mereka , Albert Rufinus, membentuk IDRD.
Seperti yang dijelaskan oleh Djuweng, dalam pendiriannya, ide-ide IDRD diperluas dari hanya sekedar mempertahankan cara hidup orang Dayak. Selama beberapa dekade, bahkan abad, orang luar-pemerintah, misionaris asing dan peneliti- berbicara untuk dan mengatasnamakan orang Dayak. Ia percaya, bahwa waktunya telah tiba bagi orang Dayak untuk berbicara bagi dirinya sendiri. Kuncinya adalah membangun solidaritas untuk mempertahankan hak atas tanah.
Setahun setelah pendiriannya, IDRD menjadi terkenal dalam jaringan LSM di Indonesia dan lembaga donor internasional (serta media nasional) dengan mengadakan konferensi 3 hari tentang kebudayaan Dayak di Pontianak. Salah satu dari keputusan penting dari konferensi tersebut adalah persetujuan untuk menstandarisasi penyebutan Dayak. Sebelumnya sebutan yang dipergunakan bermacam-macam tergantung dari penulis masing-masing, contohnya, Daya, Daya’ , Dyak, Dajak . Pandangan dan dukungan bagi sebutan ‘Dayak’ adalah langkah awal bagi sebuah proses dimana sebuah kata yang awalnya dipandang sangat rendah diubah menjadi sebuah idiom yang bersifat politis. Disinilah politik identiti itu dimulai.
Penelitian IDRD berfokus pada pelestarian, pendokumentasian dan revitalisasi budaya Dayak. Salah satu proyek awal adalah perekaman dan penerbitan cerita dan sejarah dalam bahasa lokal. Karena kesuksesan konferensi di tahun 1992, lembaga ini memerlukan aktifis lapangan yang lebih banyak. Dengan kata lain, keterlibatan dalam pengorganisasian masyarakat kini diperlukan. Tiga LSM baru, LBBT (lembaga Bela Banua Talino), SHK (sistem Hutan Kerakyatan) dan PPSDAK (Pembinaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan) di bentuk untuk melaksanakan tujuan ini. LBBT menekankan pada hak-hak orang Dayak atas tanah adat; proyek untuk memetakan tanah adat dilaksanakan oleh PPSDAK. SHK berkonsentrasi pada perancangan stategi ekonomi alternatif untuk melawan perkebunan kelapa sawit skala besar dan menegah yang didukung oleh pemerintah.
Kemudian, kampanye penggerakan masyarakat pedesaan, advokasi dan agitasi dilakukan. Informasi disebarkan, musyawarah lokal difasilitasi- dan dalam beberapa kasus diciptakan- dan upacara-upacara tradisional dibiayai. Di daerah yang populasi penduduknya terpencar-pencar, dengan kondisi jalan yang buruk ini, diperlukan konmunikasi yang lebih efisien. Para aktifis tidak menguasai Kalimantan Barat sepenuhnya. Di sini, peran media pemberitaan sangatlah penting. Di tahun 1980an, koran lokal, Akcaya, mengabaikan pemberitaan tentang orang Dayak, kecuali pemuatan foto-foto orang Dayak yang berbaju tradisional. Salah satu contohnya adalah, tidak diberitakannya pembentukan Dewan Adat Dayak . Namun situasi ini kemudian berubah oleh karena IDRD, yang membuat ‘orang Dayak’ menjadi lebih dikenal.
Konferensi di tahun 1992 menarik perhatian media nasional. Salah satu divisi percetakan milik harian nasional Kompas menerbitkan sebuah buku yang memuat artikel-artikel konferensi tersebut. Koran nasional lainnya, Suara Pembaruan, merekrut Djuweng dan seorang staff IDRD, Vincent Julipin, untuk melaporkan tentang keadaan masyarakat Dayak dipedesaan. Walaupun koran-koran ini tidak memiliki pembaca di daerah pedesaan di Kalimantan Barat, artikel-artikelnya, dalam hubungannya dengan perkembangan IDRD (dan Pancur Kasih), berpengaruh pada Akcaya. Koran lokal-di Indonesia maupun di tempat lain- mendapatkan berita yang dianggap lebih berharga dari koran nasional yang ternama. Selebihnya, sebuah Grup media Surabaya, Jawa Pos Group kemudian mengakuisisi Akcaya yang membawa perubahan penting bagi koran tersebut. Diawal tahun 1990an, artikel yang memberitakan tentang orang Dayak meningkat, walau memang agak sulit untuk menjadi headline berita. Ditunjang oleh suntikan modal yang besar dan membaiknya kondisi jalan , pendistribusian Akcaya menjadi lebih meluas hingga ke daerah pedesaan di Kalimantan Barat.

Bagian akhir dari transformasi ini adalah publikasi dan pendistribusian majalah alternatif oleh IDRD, Kalimantan Review. Akcaya memberikan tempat yang lebih banyak mengenai hal tentang Dayak, namun isu-isu penting (bersifat politis) tidak diberitakan. Kalimantan Review mengisi celah ini. Keberadaan Pancur Kasih dalam hal ini menjadi sangat instrumental. Pembukaan fasilitas percetakannya sendiri memfasilitasi pembentukan dan penyebaran sebuah wacana yang menantang ideologi pembangunan Orde Baru. Kalimantan Review, yang awalnya dipakai untuk menerbitkan hasil-hasil penelitian tentang Dayak, secara progresif berubah menjadi sebuah sumber berita alternatif perlawanan orang Dayak. Selajutnya, Kalimantan Review memberitakan secara regular mengenai kegiatan CU Pancur Kasih dan keuntungan penanaman pohon karet skala kecil. Disini, Kalimantan Review menjadi kendaraan untuk melawan proyek kelapa sawit yang dibekingi pemerintah. Majalah tersebut memberikan informasi kepada masyarakat Dayak tentang penolakan – baik dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan – terhadap program-program pemerintah yang sedang dilaksanakan. Kalimantan Review membantu mengembangan sebuah gagasan tentang kebersamaan diantara kelompok-kelompok yang sebelumnya terpisah. Dalam hal ini, dengan berita yang ada, orang Dayak dapat lebih empati dengan yang lain dan dapat merespon, sehingga dapat mempertebal rasa kesetiakawanan dan meningkatkan saling koordinasi satu dengan yang lain.

Setelah pendirian LSM-LSM ini, sejumlah tindakan kekerasan dan pengrusakan terhadap fasilitas milik negara terjadi. Aksi ini, menunjukkan sebuah kebangkitan politik kembali dari komunitas ini. Adalah tidak benar, untuk mengatakan bahwa perlawanan hanya dimulai di Pontianak saat LSM-LSM ini terbentuk. Walau adanya kekurangan sejumlah dokumen, beberapa kasus terjadi sebelum pendirian LSM-LSM tersebut. Aktifis menyebut sebuah peristiwa yang terjadi di Ngabang (Kab. Pontianak) di tahun 1979 dimana orang Dayak memprotes perkebunan sawit yang diprakarsai pemerintah. Pada tahun 1981 lima kepala kampung dari kecamatan Sayak (kab. Sintang) menemui Ketua DPRD II Sintang untuk meminta kompensasi atas hilangnya pohon buah-buahan karena aktifitas logging sebuah perusahaan. Dan di tahun 1984, warga Dayak dari Nobal (Kab. Sintang) mengirimkan surat komplain kepada Uskup dan Bupati setempat perihal daerah transmigrasi di sekitar tempat mereka. Adalah mustahil untuk mengetahui berapa banyak contoh seperti ini terjadi.
Pastinya, keputusasaan masyarakat Dayak bukanlah hal baru. Jika tidak, apa tujuannya pendirian Pancur Kasih dan LSMnya ? Perkembangan baru saat itu sedang terjadi. Dukungan bagi masyarakat lokal oleh para aktifis menimbulkan protes yang lebih terorganisir. Kekerasan sering terjadi dalam protes-protes tersebut, dimana berita-berita baru disebarkan secara luas. Kesimpulannya, protes tersebut terjadi dalam sebuah jaringan politisasi yang lebih luas diantara orang Dayak.
Setidaknya, seperempat abad telah berlalu sejak orang Dayak menduduki posisi sebagai Bupati di provinsi ini, dimana populasi orang Dayak mencapai 40 % dari seluruh jumlah penduduk. Setelah lama menjadi pendukung setia Golkar, pemimpin-pemimpin Dayak mulai menekan untuk menunjukkan representasinya, Di tahun 1994, Gubernur mendengar keinginan mereka, dan menunjuk L.H. kadir – Kadit Bangdes Provinsi dan merupakan seorang pegawai negeri yang pangkatnya tertinggi diantara orang Dayak- untuk menduduki posisi Bupati Sintang. Pemilihan gaya Orde Baru di tingkat kabupaten dilakukan, dan dalam kasus ini, anggota DPRD kab. Sintang mengeluarkan keputusan yang berbeda. Mereka memilih dengan perbandingan 21-16 kepada Abdillah Kamarullah, seorang Melayu Sintang yang merupakan Kepala Bappeda kabupaten tersebut. Kecewa terhadap hasil pemilihan tersebut, ratusan warga Dayak memblokir jalan untama antara Ngabang dan Sanggau dan melempari jendela kaca kendaraan yang lewat. Lobi yang dilakukan para elit Dayak di Jakarta tidak membuahkan hasil. Untuk membuat situasi menjadi tenang, pemerintah menunda pelantikan Abdillah selama hampir sebulan. Pemimpin Dayak menunjukkan bahwa hal ini merupakan contoh pelanggaran terhadap orang Dayak selama Orde Baru. Patut dicatat, bahwa peristiwa ini menjadi bukti kebangkitan politik identiti Dayak.

Pancur Kasih dapat dikatakan pelopor penubuhan kembali Politik Identiti dayak selepas Parti Persatuan Daya (PPD) pada masa era Orde Lama (Davidson, 2003:...). LSM Pancur Kasih yang mendapat dukungan pendanaan besar dari berbagai lembaga Donor Internasional berhasil membangkitkan kembali sentimen etnik Dayak. Etnik dayak juga berhasil membina basis ekonominya dengan Credit Union.. Mereka kemudian dianggap sebagai pelopor dalam mengangkat harga diri etnik Dayak, berbagai projek yang mereka lakukan sangat bernuansa Dayak dan ini secara rutin disebarluaskan melalui media bikinan mereka yaitu Kalimantan Review. Ketika terjadi konflik antara Dayak dengan Madura bersakala besar tahun 1997 dan Melayu –Madura 1999 dimana ternyata orang Dayak membonceng Melayu, banyak pihak termasuk lembaga Hak Asasi Manusia PBB di New York mengkaitkan semua ini dengan aktivitas LSM pancur Kasih.. Berbagai pihak kemudian melihat peran LSM yang etnosentris dapat memperkuat Politik Identiti dan ini kurang baik baik pembangunan yang multikultur.

Bukti lain yang juga perlu dicatat dari gerakan LSM yang memperkuat politik identiti ini adalah terjadinya sifat militansi Dayak sebagai akibat dari rasa kebanggaan yang berlebihan selepas ditawan rezim Orde baru. Hal ini dapat dilihat dari pemilihan Gubernur kalimantan Barat tahun 2007 yang lalu. Pada saat itu proses pengorganisasian Dayak dirasakan begitu mudah sehingga lebih 90% Dayak memilih Cornelis sebagai Gubernur. Yang menarik calon dari Pancur Kasih yaitu AR Mecer tidak dipilih oleh orang Dayak, ini disebabkan kerana beliau bertarung sebagai timbalan Gubernur. Orang Dayak merasakan sudah saatnya menjadi orang nombor Satu lagi di Kalimantan Barat selepas Oevang Oerai. Dari peristiwa Pilihan Raya Gubernur 2007 tersebut dapat pula dimaknai bahwa orang Dayak tidak melihat Pancur Kasih sebagai entiti perjuangan Dayak tetapi melihat figur Cornelis sebagai satu-satunya orang Dayak yang berani dan mampu menjadi calon Gubernur dari etnik Dayak. Makna lainnya lagi adalah apa yang berlaku pada AR Mecer adalah mungkin hukuman kepada beliau kerana melindungi anggota keluarganya yang mencuri uang Credit Union Pancur Kasih dan uang-uang di lembaga-lembaga yang ditubuhkan Pancur Kasih.

Sebagai bukti lainnya bahwa gerakan pancur Kasih terbabit dengan perjuangan politik identiti adalah terceburnya LSM itu dalam kegiatan politik praktis. Tetapi mungkin juga ini hanya pelarian sahaja. Menurut Florus saat ini AR Mecer dan aktivis senior Pancur Kasih menjadi politikus kerana semakin berkurangnya lembaga Donor Internasional yang memberi mereka wang, sebagai dampak dari laporan tahunan HAM-PBB tahun 2001 yang lalu. Bukti kalau berpolitik praktis adalah pelarian dapat dilihat dari keterampilan mereka berpolitik praktis sangat rendah, setakat ini belum ada satupun anggota mereka yang sukses mendapat jabatan politis dari perjuangan mereka. Dalam senarai daftar calon Sementera Legislatif untuk pilihan raya 2009, terlihat aktifis Pancur Kasih berada pada Parti nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI). AR Mecer tercatat calon nombor urut satu untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) di Jakarta, yang menarik anaknya Frans Trides Mecer dicalonkan pada nombor urut satu juga untuk DPRD Propinsi Kalimantan Barat dari Ketapang, para keponakan AR Mecer juga tersenarai untuk pemilihan di level Kabupaten. Aktivis senior pancur Kasih lainnya juga tersenarai dalam calon legislatif 2009. Parti lainnya yang mereka ceburi adalah yang berasaskan agama Kristian, sementara itu aktivis yang bergabung dengan parti berbasis nasional seperti parti GOLKAR ,PDIP dan Demokrat telahpun dikeluarkan dari keahliannya di LSM pancur Kasih.


8.3.2. Lembaga-lembaga Etnisiti

Untuk mempertahankan identitas suku bangsanya, biasanya warga suatu etnik membentuk suatu organisasi yang umumnya didasarkan pada persatuan suku, atau menurut daerah asalnya (Achdiyat dan suparlan,1989:25). Hal demikian berlaku pula di Kalimantan Barat. Etnik Dayak mendirikan Majelis Adat Dayak (MAD), kemudian disusul etnik Melayu yang menubuhkan Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) dan terakhir sekali etnik China menubuhkan Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT).
MAD berdiri pada 1994 oleh sejumlah Tokoh Politik Dayak di kota Pontianak. Mulanya kehadiran lembaga ini sangat erat kaitannya dengan kepentingan para tokoh tersebut dengan Golongan karya sebuah partai dominant di era tersebut. Ketua pertamanya adalah R.A. Rachmad sahudin BSc, seorang politisi yang 25 tahun menjadi wakil rakyat baik di level Kabupaten Pontianak 10 tahun dan di level propinsi 15 tahun. Mula-mula ia bergabung dengan partai IPKI, kemujdian Golkar dan 5 tahun terakhir ini belar di partai Demokrasi Kebangsaan.
Setelah beliau, kepemimpinan dilanjutkan oleh yakobus Frans laying SH, pada saat menjadi ketua MAD belau juga mejabat sebagai bupati Kabupaten Kapuas Hulu. Beliau adalah satu-satunya bupati yang berasal dari suku Dayak pada era Orde Baru. Sebelumnya beliau adalah pegawai kantor Gubernur Kalbar dan dosen tidak tetap pada Universitas tanjungpura. Beliau juga aktif dalam penelitian budaya Dayak bersama tim WWF di Taman nasional Kayan Mentarang Kalimantan Timur.
Setelah Yakobus Frans laying, MAD dipimpin oleh Ir Syaikun Riady, seorang pegarai Dinas`Pekerjaan Umum pemerintah Propinsi Kalimantan Barat. Beliau kelahiran Menumbung, Sandai Kabupaten Ketapang. Pada masa kepemimpinan Syaikun Riady berbagai konflik politik dengan intensitas tinggi terjadi di Kalimantan Barat. Pada era ini ditandai dengan berdirinya banyak partai politik baru di Indonesia. Beliau tercatat sebagai ketua Dewan Pengurus Daerah , Partai Demokrat Propinsi Kalimantan Barat, yang di Jakarta di pimpin oleh Susilo Bambang Yudoyono (presiden RI Sekarang). Beliau tidak tuntas memimpin MAD karena beliau meninggal secara mendadak akibat serangan penyakit Jantung pada 2003.
Setelah Syaikun Riady, MAD dipimpin Thadeus Yus, SH,MPA hingga sekarang. Awal mula kepemimpinan Thadeus ditandai dengan perubahan status MAD menjadi DAD, karena MAD kemudian berstatus Nasional dengan sebutan MADN (Majelis Adat Dayak Nasional) yang sekarang dipimpin Teras Narang, Gubenur Kalimantan Tengah sekarang. Thadeus yus sekarang menjadi calon Bupati Sanggau dari kalangan independent. Beliau adalah orang pertama di Kalimantan Barat yang maju sebagai calon kepala daerah dati kalangan independent. Sehari-hari Thadeus adalah Dosen di fakultas Hukum Universitas tanjungpura dan juga Direktur kerjasama kehutanan Uni Erofa dengan Propinsi Kalimantan Barat (FLEGTI). Menurut ‘rahmad Sahudin’ berdirinya MAD (yang sekarang DAD) ini dilatar belakangi oleh termaginalkannya suku dayak secara politik di Kalimantan Barat.
MABM ini lahir tahun 1997, yaitu hampir 4 tahun setelah MAD ditubuhkan. Semula Tokoh-tokoh melayu kurang peduli dengan lahirnya MAD (Jayadi,2003:3.), tetapi kemudian dengan suksesnya MAD mengkonsolidasi Dayak, kalangan Melayu mulai berpikir serius. Organisasi ini sejak berdirinya tahun….. dipimpin oleh Abang Imin Thaha dan DR Chairil Effendi yang sekarang menjadi Rektor Universitas Tanjungpura.
Isu yang melatarbelakangi berdirinya MABM Kalbar tahun 1997, salah satunya adalah perlunya perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat Melayu . Selain dari itu, keberadaan MABM diharapkan dapat mengawal persoalan adat dan budaya sehingga dapat diwariskan kepada generasi muda. Kegiatan menonjol yang dilakukan MABM setakat ini adalah menggelar festival Budaya Melayu setiap tahun dan membangun Rumah Melayu.
Kejadian menarik yang dapat dicatat adalah terjadinya kerusuhan Etnik antara Dayak- Madura tahun 1997 terjadi selepas MAD ditubuhkan, kemudian kerusuhan etnik Melayu-Madura tahun 1999 terjadi selepas MABM dutubuhkan. Tidak ada data resmi yang menunjukan hubung kait dengan kejadian-kejadian ini tetapi banyak pihak menduga terdapat hubungan yang rapat, utamanya apabila dikaitkan dengan konsolidasi etnik yang dilaksanakan lembaga-lembaga etnisiti ini dan sangat massifnya kedua kerusuhan tersebut berbanding dengan kerusuhan-kerusuhan etnis sebelum itu.

Kalangan Tionghoa rupanya mengamati kiprah MAD dan MABM secara teliti. Melalui diskusi yang panjang di antara para tokohnya seperti yaitu Ir Andreas Acui Simanjaya, Setiawan Lim, SH, Ateng Tanjaya (Tokoh Pemadam API), Kenny Kumala (DPRD Kalbar), Michael Yan (DPRD Kalbar), Mulia Chandra (Dosen POLTEQ), Amin Andika (Ketua PITI), Razaq S (PITI), W Suwito, SH MH, Cory Soesana, Ardiansyah dan Zulfydar SE MM (Komnas HAM Kalbar). Mereka mengatakan sudah saatnya warga Tionghoa di Kalimantan Barat memiliki wadah Majelis Adat dan Budaya Tionghoa (MABT). "Pembentukan MABT ini harus dilakukan dengan mempertimbangan semua unsur masyarakat Tionghoa yang ada di kalimantan Barat,". ,- Guna mewujudkan harmonisasi antar etnis yang ada di Kalbar, Setiawan Lim SH menyatakan. "Setidaknya, kehadiran lembaga ini nanti sebagai wadah komunikasi lintas etnis. Sehingga berbagai persoalan yang muncul di tengah masyarakat bisa diselesaikan bersama,"
"MABT ini mempunyai nilai strategis untuk menjadi wadah yang resmi bagi warga Tionghoa dalam melakukan kerjasama atau dialog dengan organisasi sejenis misalnya dengan Majelis Adat dan Budaya Melayu (MABM) dan Majelis Adat Dayak(MAD),"tambahnya. "Demikian juga jika timbul persoalan yang perlu diselesaikan secara adat, maka warga Tionghoa tidak secara pribadi berhadapan dengan lembaga adat melainkan melalui perundingan antar lembaga adat.

Di sisi lain, selama ini organisasi Tionghoa yang cukup besar di Pontianak yaitu YBS hanya merupakan sebuah Yayasan yang menaungi sejumlah Yayasan Marga / kematian, yang nota bene hanya mengurusi masalah sekitar pemakaman & cenderung menutup diri dari persoalan aktual lain yang berkembang dalam dinamika kehidupan Tionghoa di Kalimantan Barat. "Selama ini semua hubungan yang terjadi pihak lain dengan masyarakat Tionghoa adalah hubungan antara lembaga dengan pribadi atau individu atau LSM Tionghoa, bukan wadah yang secara resmi mewakili masyarakat Tionghoa," .

Lembaga-lembaga etnisiti khasnya MAD dan MABM yang ditubuhkan sebelum terjadinya konflik-konflik etnik besar tersebut juga dikaitkan dengan konsolidasi etnis yang selama ini mereka lakukan.

8.3.3. Pasang Surut Hubungan Etnik Dayak dengan Melayu


Berbicara hubungan orang Dayak dengan orang Melayu dari sisi politik identitas yang berlangsung selama ini, kita tidak dapat menngesampingkan persoalan sejarah kedua suku ini yang awalnya disegregasi oleh pemerintah kolonial belanda. Oleh kolonial Belanda Orang yang beragama Islam disebut Melayu sedangkan yang bukan beragama Islam disebut Dayak. Pensegregasian ini ternyata didukung pula secara internal oleh masing-masing suku, sehingga perasaan sukuisme menguat hingga sekarang ini.

Salah satu faktor yang paling dirasakan orang Dayak pada masa dahulu adalah dilibatkannya kesultanan Melayu dalam memerintah oleh kolonial Belanda. Para petugas kesultanan inilah yang memungut pajak pada orang Dayak, bahkan orang Dayak ketika itu diletakan sebagai kelompok orang terendah dalam sistem kenegaraan. Dayak adalah rakyat jelata.

Perasaan sesama rakyat jelata inilah yang kemudian memperkuat solidaritas dan identitas Dayak hingga sekarang. Orang Dayak di Kalimantan Barat tidak lagi menyebut dirinya berdasarkan aliran sungai tetapi sebagai Dayak saja. Sebutan seperti Dayak Selako, Iban, kayan, Bahau, Kenya, Murut dan lain sebagainya kemudian diabaikan, mereka sepakat dengan menyebut dirinya Dayak. Hal ini hasil kerja Belanda ketika berupaya menghindari pengayauan antar orang non Muslim pada tahun 1884. pada tahun tu Belanda mengorganisir pemimpin2 non mulsim di Kalimantan untuk duduk dalam sebuah pertemuan atau rapat besar di Tumbang Anoi. Para pemimpin itu kemudian bersepakat mengakiri pengayauan dan menyatukan identitas diri mereka sebagai Dayak.

Kolonial Belanda melalui misionaris mendirikan sekolah bagi orang Dayak. Sekolah yang pertama dan hingga kini masih terkenal karena mutunya adalah persekolahan di Nyarumkop yang juga merupakan pusat orang Dayak Selako. Orang Dayak awalnya dididik untuk menjagi guru saja, namun dalam perkembangannya para guru Dayak ini kemudian menjadi pemimpin politik. Mereka mendirikan Partai Persatuan Dayak di Putussibau Kapuas Hulu. Partai ini mendapat sambutan dari semua penduduk Dayak karena mengusung ’persatuan Dayak’. Lagi-lagi salah satu penyebab menguatnya ide persatuan Dayak ini karena ketika itu Dayak sangat tertindas dalam berbagai hal kehidupan. Orang Melayu ketika itu secara politik sangat kuat karena mereka miemiliki kesultanan. Orang non Muslim tidak dapat menjadi pegawai disitu, kalau mau jadi pegawai maka seseorang itu harus masuk Islam terlebih dahulu (lihat Tambun Anyang, 1987:......). Dengan bersatu dalam Dayak maka secara populasi jumlahnya besar, sebaliknya jika terpisah-pisah jumlah masing-masing sub suku ini kecil.

Tahun 1955, ketika pemerintahan Sukarno mengadakan pemilu yang pertama dan di izinkannya partai lokal ikut dalam pemilu, Partai Persatuan Dayak menang di Kalimantan Barat, sehingga Oevang Oerai yang orang Dayak Kayan dari Kapuas Hulu menjadi gubernur. Beliau diakui oleh seluruh orang Dayak sebagai pemimpinnya dan lebih dikenal sebagai Gubernur Dayak yang pertama. Orang melayu ketika itu dapat dikatakan tenggelam, secara politik mereka tidak memiliki partai sendiri, mereka mengikut partai-partai yang bersifat nasional dan Islam saja seperti NU, Masyumi, PNI, Parmusi, IPKI dan lainnya.

Kemerosotan politik Melayu ketika itu juga ada hubungannya dengan banyaknya pemimpin Melayu yang dibunuh kolonial Jepang tahun 1945 di Mandor. Selain itu sistem kerajaan/kesultanan juga dihapuskan oleh pemerintahan Sukarno karena dianggap feodal dan berbau Kolonial. Dapatlah dikatakan terjadi kekosongan pemimpin Melayu yang terdidik sekaligus delegitimasi kepemimpinan yang berasal dari kesultanan.

Masa kepemimpinan Oevang Oeray, ditandai dengan pengangkatan orang Dayak secara besar-besaran sebagai penjabat pemerintahan. Ada orang yang hanya bersekolah sampai kelas 3 Sekolah Rakyat saja diangkat sebagai Camat. Orang Dayak mengalama euforia menjadi pegawai pemerintahan ketika itu. Orang melayu karena kesulitan mendapat kerja di pemerintahan, akhirnya memilih melanjutkan sekolah ke Pulau Jawa. Bahkan Pemerintahan Oevang Oeray memberi beasiswa kepada mereka untuk bersekolah. Dapatlah dikatakan bahwa pada masa ini Orang Dayak jadi pemerintahan sementara orang melayu kembali belajar lagi. Hasilnya orang Melayu menjadi pintar dan ketika rezim Orde Sukarno tumbang yang berarti Rezim Oevang Oeray berakhir juga mereka kemudian menguasai pemerintahan . Banyak tokoh Melayu di pemerintahan Orde Baru adalah hasil dari kebijakan pemerintahan Oevang Oeray ini.

Baca Selengkapnya...

ETNISITAS, IDENTITAS DAN NASIONALISME

Sabtu, 27 Desember 2008

Oleh PolitikNews

Antropologi di Asia Tenggara telah dikaitkan dengan isu-isu etnisitas dan pembetukan dan perubahan identitas budaya. Walaupun masalah-masalah tentang definisi satuan etnis telah juga ditunjukkan oleh para antropolog dari belahan dunia lain , adalah di Asia Tenggara dimana penelitian telah banyak dilakukan. Pada bab 1 kita membahas tentang kesulitan-kesulitan pendefinisian Asia Tenggara sebagai satu wilayah besar karena wilayah ini ditandai dengan perbedaan etnis, hubungan dengan pihak luar, dan meningkatnya perbedaan kultural dari waktu ke waktu, dan telah disarankan dalam tinjauan antropologi kolonial bahwa kompleksitas ini memberikan sebuah laboratorium yang idela bagi teori tentang evolusi sosial dan difusi budaya . Wilayah ini kemudian, bercirikan etnolinguistik dan dan variasi budaya, khususnya di daerah pedalaman dan dataran tinggi dimana para penduduk minoritas tinggal, menyediakan sebuah arena dimana akan terjadi percampuran kelompok etnis, perubahan identitas dan berbagai kriteria yang digunakan untuk menggambarkan pengelompokkan yang sering tidak tepat atau mendemonstrasikan diskontinuitas untuk memberikan batasan-batasan etnis yang jelas. Bab ini menguji permasalahan yang telah ditunjukkan para antropolog dalam memberi batasan pada satuan etnis sebagai analisis dan cara dimana identitas dan budaya dibangun , ditetapkan dan dirubah. Juga mempertimbangkan tentang kritik terhadap konsep Furnivall tentang masyarakat plural yang diambil dari beberapa contoh dari Burma dan Malaysia; isu-isu disekitar ‘pelabelan’ etnis di Borneo dan konsep ‘masyarakat Brunei’ ; hubungan antara pembentukan dan pembentukan kembali identitas dalam kontek pembangunan pariwisata budaya di Bali dan Tana Toraja; dan studi tentang interaksi antara budaya nasional dan minoritas di Indonesia yang merujuk pada masyarakat Dayak Meratus, Bemun Aru dan Minangkabau.

Kata Pengantar

Percobaan untuk menerapkan definisi cross-kulutral pada identifikasi satuan etnis di Asia Tenggapa biasanya mengalami kegagalan; contohnya, denifisi unum Naroll tentang sebuah ‘kultunit’ atau ‘ satuan pembawa budaya’ sebagai ‘Masyarakat yang berbahasa setempat dari sebuah bahasa yang umum dan yang berada pada negara atau kelompok yng sama’ 91964 : 283-284; 1968) telah dikritik oleh para antropolog seperti Moerman, dalam studinya tentng mosaik etnoloinguistik di Thailand Utara dan khususnya pada permasalahan demarkasi populasi penduduk Lue di daerah itu (1965, 1968b). Moerman membantah bahwa percobaan untuk memformulasikan sebuah definisi cross-kultural yang konsisten dan jelas untuk tujuan perbandingan gagal dalam menunjukkan kesulitan-kesulitan dalam menggambarkan batasan yang jelas disekitar satuan etnis, seringkali mengabaikan keadaan lokal, dan tidak memperhatikan apa yang telah ditekankan oleh sebuah kolektivitas yang diberikan suatu masyarakat dalam mendefinisikan dirinya terhadap pihak luar. Disini Moerman memberikan perhatian pada perbedaan antara definisi yang dibentuk oleh orang luar dan diasumsikan sebagai sesuatu yang ‘objektif’ , dan juga disebut sebagai definis ‘subjektif’ atau ‘folk model’ dari sebuah objek studi (Moerman , 1965: 1215-1216,1221). Berhubungan dengan ini, Narata memperingatkan bahwa ‘ ilmuan sosial harus lebih sensitif terhadap apa yang subjek mereka anggap sebagai sesuatu yang berarti dan kelompok rujukan , dari pada memaksana taksonomi barat yang artinya, bahkan bagi masyarakat Barat sendiri, sering tidak jelas (1975a: 3).

Pada bab 1 dan 2 kita juga merujuk secara singkat pada konsep masyarakat plural yang dibuat oleh J.S. Furnivall dalam studinya mengenai ekonomi politik dari kolonial Burma dan Indonesia. Furnivall adalah salah satu akademisi pertama yang mencoba untuk membuat sebuah kerangka kerja analitis untuk pemahaman kompleksitas etnis pada suatu wilayah, dan untuk memfokuskan pada konsekuwensi sosial ekonomi dari migrasi ekonomi msyarakat Cina dan India kedalam daerah jajahan Barat. Apa yang ia tekankan adalah sebuah pasar sebagai tempat pertemuan dari berbagai macam kelompok budaya yang berbeda dan keunggulan perdagangan yang pada saat yang sama berperan untuk memperkuat pembagian etnis dan menggambarkan ‘kasta ekonomi’. Negara-negara kolonial memberikan baik dalam kontek interaksi antara masyarakat imigran dan asli, dan artinya, melalui penggunan kekuatan politik, untuk menyokong sebuah masyarakat yang berbeda secara etnis. Dengan kata lain, diluar hubungan antara pasar dan kekuasaan, perbedaan budaya mempengaruhi aktifitas keagamaan, keluarga dan masyarakat setempat.

Seperti yang akan kita lihat, konsep-konsep pluralisme diperdebatkan dan direvisi pada studi pasca-perang di negara-negara merdeka baru di Asia Tenggara, khususnya di Malaysia dan Singapura dengan kelompok imigrannya yang banyak. Namun , dimensi lain tentang identitas mulai diperkenalkan dalam studi antropologi pasca-perang dan tidak menampakkan hubungan antara masyarakat imigran Asia dan asli, tetapi antara masyarakat pesisir dan perbukitan, yang sebagian besar merupakan petani beras dan anggota dari sebuah peradaban besar serta stuktur negara di Asia Tenggara (Hindu, Budha, Islam dan Katolik Roma), dengan masyarakat pedalaman yang sebagian besar merupakan peladang, pemburu dan peraih. Dalam bentuk yang lazim dan sederhana , perbedaan di bentuk antara petani dataran lendah dan masyarakat dataean tinggi, dan hal ini disampaikan oleh Peter Kunstadter (1967) dalam hubungan antara penduduk pesisir dan dataran tinggi, dan secara spesifik , hubungan antara suku-suku, minoritas dan bangsa yang mengawali penandaan Asia Tenggara sebagai daerah dengan kompleksitas etnis yang membutuhkan perhatian khusus dan pengembangan konsep terhadap identitas kultural dan perbedaannya.

Seperti yang telah kita lihat pada bab 4, adalah para antropolog Eropa yang memfokuskan penelitiannya pada masyarakat perbukitan di daerah Asia Tenggara, terutama Edmund Leach dan F.K. Lehman, yang menekankan pada permasalahan dalam menggambarkan satuan ‘suku’, cara dimana interaksi penduduk upland dna lowland memperngaruhi pembentukan dan perubahan identitas , sifat-sifat permasalahan batasan budaya. Dalam periode pasca-perang, ada sebuah pergeseran pemikiran tentang pluralisme, dari sebuah pemikiran yang mengkhusukan pada struktur sisial yang dibentuk oleh kekuata kolonial dan seringkali diartikan sebagai kategori-kategori ‘rasial’, kepada konsep etnisitas atau identitas etnis. Konsep ini kemudian diuji pada fonomena nasionalime di Asia Tenggara, hubungan antara ‘komunitas’ sosial (Anderson, 1983, 1991) dan identitas pengelompokan etnis yang mencakupinya. Akhirnya, identitas, baik secara nasional dan sub-nasional, telah dipertimbangkan dalam kontek memproses globalisasi dan dari teori perspektif postmodern dan pasca kolonial; tujuan dalan hali ni adalah untuk memahami multikulturalisme, perubahan budaya dan marginalitas dan cara –cara dimana budaya ‘lain’ dibentuk dan dijalankan (Kahn, 1993, 1995; Permberton, 194; tsing , 1993).

Mungkin tidak bertepatan bahwa salah satu dari studi yang paling berpengaruh pasca-perang tentang asal dan penyebaran nasionalisme – Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1991) – muncul secara signifikan dari refleksi proses pembentukan identitas di Asia Tenggara ( ibid.: 116-133, 155-162, 163-185). Walaupun bekerja dalam bidang ilmu politik, Anderson juga memberikan perhatiannya pada hubungan baik antara politik dan budaya, dan penelitiannya mengenai budaya politik Indonesia, khususnya Jawa dan konsep kekuasaan telah menimbulkan ketertarikan diantara para antropolog, khususnya antropolog budaya Amerika. Perspektifnya pada sebuah negara sebagai ‘komunitas impian’ juga banyak diambil dari ‘semangat atropologi’ (ibid. : 5) dan berhubungan langsung dengan studi antropologi tentang kesukuan dan pembentukan identitas. Ia menguji akar budaya nasionalisme, arti dan nilai yang berhungan dengan kenegaraan, dan keiniginannya untuk menyelami bagaimana identitas , kepemilikan dan persaudaraan di ciptakan dan didukung sepanjang waktu, dan bagaimana batasa-batasan dibuat, dipelihara dan dirubah (ibid.:6-7). Pendeknya, Anderson melihat bagaimana rasa kebangsaan dipikirkan, ditimbulkan dan diberi arti, dan faktor utama serta proses kemunculannya; baginya ini semua adalah perkembangan percetakan dan penerbitan (‘kapitalisme-percetakan’) dan kreasei yang berhubungan, keistimewaan dan standarisasi dari bahasa –cetak ‘nasional’; kreasi satuan administratif dan penyatuannya melalui pasar dalam konteks ekspasi Eropal pembangunan kapitalisme , birokrasi national dan borjuis dan kepentingan dalam sebuah wilayah koloni. Contoh ekstrim dari sebuah pembentukan negara di Asia Tenggara adalah Laos, dan dapat dikira bahwa masyarakt Laos dataran rendah merupakan sebuah kelompok etnis yang terpisah yang mewakili keseluruhan bangsa Lao (Halpern, 1964), Evans memperlihatkan bahwa negara Laos modern terbentuk hanya karena pejajahan Perancis (1999:21). Tanpa intervensi bangsa Eropa, ‘hampir pasti daerah dataran rendah Laos mennjadi bagian dari Thailand, karena sesungguhnya populasi penduduk yang berada di Timur Laut Thailand adalah Lao, dan berbagai kelompok yang tinggal di daerah dataran tinggi mungkin menjadi bagian dari Vietnam’ (ibid 21).

Dalam bab ini kita akan menghadirkan sebuah pilihan studi dalam berbagai aspek identitas etnis dan sebagai mana di bab 5, dimana kita akan menmbahas hubungan ekonomi antara komunitas skala-kecil dengan sistem yang lebih luas dimana mereka adalah bagain dalam kontek transformasi pedesaan, kita akan mempertimbangkan perspektif dalam etnisitas dan hubungan komunitas lokal dengan negara dan proses-proses globalisasi , dan cara-cara bagaimana identitas dibentuk, didukung dan diubah, Kita juga ingin memberikan beberapa studi kasus tentang Indonesia dimana pembangunan pariwisata internasional telah mempengaruhi identitas etnis dan representasi nya. Studi indentitas etnis telah menjadi sebuah subjek yang ideal bagi para antropolog postmodern . Selanjutnya, antropolog telah mempertanyakan cara-cara bagaimana mereka merepresentasikan ‘perbedaaan budaya’ .

Dari apa yang telah kita katakan, adalah jelas bahwa konspe etnisitas, yang akan kita pakai disini, tumpang tindih dan telah digunakan mirip dengan konsep-konsep seperti ras, bangsa, identitas, komunitas, budaya , masyarakat, dan yang lainnya, dan juga seperti dalam situasi keanekaragaman etnis seperti konsep alternatif yakni multietnis, multirasial, multikultural, dan plural . Tentu saja, defenisi kamus sering mengaburkan arti ‘etnis’ dengan artian lain seperti ‘suku’, ‘kelompok ras’ atau ‘bangsa’; Nagata mengindikasikan istilah yang sering disalah artikan dan bersifat rancu dan kadang-kadang disamakan dengan ‘promordialisme’ (1975a: 2, 1979: 188-189) dalam, contohnya, tulisan Geertz (1963c) dimana ‘ kelompok plural’ diartikan sebagai loyalitas dasar yang berasal dari ikatan kekeluargaan, keturunan, ras dan tempat asal. Masalah dalam mengkonsentrasikan ‘pemberian dasar’ identitas adalah, seperta yang ditunjukkan oleh Dentan, mereka menterjemahkan hal tersebut dengan terlalu mudah kedalam gagasan etnisitas yang melihat kelompok etnis sebagai kelompok yang statis, homogen, ekslusif, dan terikat, dan membawa nilai budayanya sendiri (1976: 71ff). Kebalikannya, ketika kita mempelajari tentang etnisitas, kita memberikan perhatian kita terhadap proses dan faktor sosial dan budaya yag mengangkat persamaan dan perbedaan , dan cara bagaimana pengelompokan dalam masyarakat membangun, memelihara dan mengubah identitas budaya dan sosial mereka. Dalam proses pembentukan ini, pembatasan diciptakan untuk tujuan interaksi dan penghindaran sosial. Adalah dalam hubungan ini bahwa Lehman, melihat identitas atau kategori etnis adalah sebagai ‘peran’ dimana masyarakat mengambil dan memainkannya (1967: 106-107), dan Barth mengusulkan bahwa kelompk etis danapt dikonseptualiskan sebagai sebuah ‘tipe organisasi’ yang melibatkan proses ‘pengeluaran’ dan ‘penggabungan’ sosial dan pilihan oleh aktor itu sendiri yang dianggap sebagai proses pembentukan dan pembatasan identitas yang penting (1969:13-15).

Dalam pembahasan mengenai hubungan antara pemikiran indentitas dan hubungan sosial beberapa antropolog telah membuat perbedaan antara sebuah ‘kategori etnis’ dan ‘kelompok etnis’ (Rosseau , 1990). Nagata mengatakan , bahwa banyak ‘kelompok etnis’ dikenal sebagai kategori oleh para antropolog, yang mengalami transformasi secara periodik dan episodik menjadi pengelompokan berdasarkan tekanan isu dan kepentingan (1979: 203). Dalam keadaan tertentu, kemudian, tekanan populasi dan ketidak seimbangan demografi, atau kompetisi mendapatkan sumberdaya ekonomi dan kekuasaan politik, menyebabkan identitas etnis seringkali mengkristal dan pembatasannya menjadi semakin tajam.

Tidak ada artinya bahwa banyak atropolog yang telah mempelajari etnisitas tidak melihatnya ,sebagai sesuatu yang ideologis dan superstrukturalis, menyamarkan hubungan antar kelas, tetapi sebagai sebuah prinsip organisasti yang memiliki konsekwensi langsung terhadap mode kebiasaan dan interaksi. Namun, ada beberapa keadaan dimana perbedaan kelas sosial ditunjukkan sebagai perbedaan etnis dan budaya, atau etnisitas digunakan untuk menjelaskan hubungan politis dan sejarah (Rosseau , 1975:32-49). Dalam keadaan tertentu, indentitas etnis seringkali diciptakan oleh fungsionaris negara, dilakukan dan diperlihatkan kembali oleh pihak-pihak yang menggangap hal tersebut dapat menjaga dan memelihara dominasi negara (Kahn, 1993: 278-280; Tsing, 1993:5-37).

Identitas etnik adalah sebuah hal tentang identifikasi diri yang paling utama (Moerman, 1965; Dentan 1976: 75-76; Nagata, 1979), dan ini didasari pada asumsi tentang asal muasal; orang yang memiliki kategori etnikal yang sama mengklaim bahwa mereka berasal dari akar yang sama dan identitas mereka merupakan ‘pemberian’ dasar.; yang telah ditetapkan, dikokohkan dan tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini etnisitas menyerupai kategori antropologi ‘ikatan keluarga’ (termasuk keturunan) (King dan Wilder , 1982: 1-6). Dengan ikatan keluarga, etnisitas mengatur kesetiaan utama, keturunan diklaim dari nenek moyang yang sama dan sering menggunakan justifikasi biologis termasuk pertalian ‘darah’ atau sifat-sifat alami seperti layaknya pohon , yakni akar, tanah, dan cabang yang sama.

Seringkali di Asia Tenggara, ketika seseorang diminta untuk menidentifikasi dirinya, ia memebrikan identifikasi yang langsung, dimana baik secara natural dan kultural , bahwa ia adalah ‘seorang lelaki’, ‘perempuan’ atau ‘seseorang’; dengan kata lain , ia dan yang yang lainnya adalah manusia dan secara fisik berbagi ‘kemanusiaan’, dengan implikasi bahwa ‘orang lain’ yang berbeda dengan mereka , dalam beberapa hal lebih rendah dari manusia. Menariknya, istilah etnis yang dipakai oleh mayoritas masyarakat penduduk dataran rendah sampai ke pedalaman dan pegunungan diartikan sama dalam penggunaannya, namun seringkali memiliki konotasi peyoratif, dan memiliki arti yang sama dengan ‘barbar’, ‘budak’ , atau ‘orang gunung’.

Asal muasal masyarakat dapat diekspresikan dalam artian mereka memiliki tempat lahir yang sama dan berasal dari daerah yang sama pula. Lagi di Asia tenggara, orang dapat mengklaim bahwa ia berasal dari daerah yang sama, bahwa mereka datang dari ‘hulu’ atau ‘dari pantai’ atau ‘seberang lautan’ atau dari sebuah tempat seperti sungai atau gunung. Migrasi dan perpindahan boleh tidak memeberikan suatu identifikasi namun lebih kepada ketetapan fisik;identitas etnik dalam kasus ini diekspresikan dan ditegaskan dalam bentuk asal muasal, jika seseorang secara terus menerus menepati ‘suatu daerah’, dimana “Kita telah berada di sini sejak awal’. Patokan pada tempat juga sering diasosiasikan dengan sebuah habitat dan ekologi tertentu sehingga individu tertentu dapat mengidentifikasikan diri mereka atau diidentifikasi sebagai penduduk pantai, orang bukit/gunung, orang hutan, atau sebagai nelayan dan peladang. Sesungguhnya Barth menentang pernyataan bahwa keadaan ekologii ‘menandai dan melebih-lebihkan perbedaan’ (1969: 14), da sering kali menimbulkan sebuah perkembangan dan saling ketergantungan dalam perdagangan dan hubungan yang lainnya.

Etnisitas sesungguhnya dinyatakan sebagai produk dari masa lalu, mengungkap asal muasal yang sama, hubungan sosial dan berbagi nilai seperti bahasa dan agama. Bagaimanapun, dimensi identitas historis juga menunjukkan bahwa identitas seringkali diubah dan bisa didapatkan, dari pada ditetapkan, dan tudak diubah-ubah. Aspek‘melewati’ atau ‘melintasi’ batasan etnik adalah sesuatu hal yang didalami oleh Barth dalam tulisannya yang berjudul Ethnic Groups and Boundaries, membahas hal tersebut dari pada berfokus pada identitas kultural dan sosial dimana seseorang seharusnya menguji mekanisme pemeliharaan batasa-batasan dan bagaimana batasan tersebut tidak hanya di dilintasi tetapi juga dilangkahi. Barth membuat poin-poin penting bahwa identitas diciptakan, dipelihara, dan dirubah emlalui interaksi dan hubungan antara sesiapa yang dinyatakan sebagai ‘kita’ dan orang lain yang dinyatakan sebagai ‘mereka’ (ibid.:9-10). Dengan kata lain, etnisitas adalah relatif, dan kategori etnik, dan kelompok tidak berada dalam isolasi satu dengan yang lain. Nagata, dalam analisisnya tentang etnisitas di Malaysia, mengindikasikan bahwa, saat penelitiannya dilaksanakan, ia berpindah dari sebuah hal dengan ‘kelompok etnik’ kepada ‘sebuah keasyikan dengan batasan-batasan mereka sendiri’ (1979: 3). Seperti yang kita telah lihat pada bab 4, Leach, dalam studinya tentang Dataran Tinggi Burma, mendemonstrasikan bahwa identitas Kachin diciptakan dan diubah dalam hubungannya dengan masyarakat penghuni lembah Shan agar orang Kachin mendefinisikan dirinya sendiri dan didefinisikan sebagai ‘orang Shan yang lain’ . Selain itu, dalam studinya yang monumental tentang etnohistori masyarakat Dataran Tinggi Tengah Vietnam pada pertengahan 1970an (1982a, 1982b, 1993), Hickey membantah bahwa elit antar etnis yang berpendidikan adalah ‘sesuatu yang instrumental dalam mengangkat etnonasionalisme masyarakat dataran tinggi’ dan rasa etnisitas ‘montagnard’ dalam responnya terhadap tekanan dan meningkatnya interaksi denan masyarakat pesisir yang mendominasi negara (1982a: xvii). Leach juga memberikan bukti bahwa dalam beberapa waktu orang kachin telah ‘menjadi orang Shan’ melalui proses dengan masuk agama Budha dan asimilasi yang gradual, seringkali melalui perkawinan, dalam masyarakat Shan dan tergantung dari keadaan dimana orang Kachin menunjukkan identitas Kachin dan dilain waktu menjadi orang Shan. Perubahan dalam identitas etnik dapat juga melibatkan konversi individu ataupun kelompok atau keduanya. Kunstadter, dalam penelitiannya terhadap masyarakat perbukitan dan lembah (petani) di Timur laut Thailand, menyatakan bahwa selalu ada ada hubungan antara mereka dan sistem sosial yang tidak pernah secara tajam didefinisikan. Ia menambahkan bahwa ‘Mungkin kita sebagai antropolog menyalahkan ide bahwa ‘suku’ tersebut adalah unit yang di definisikan, dibatasi dan dipadukan.’ (1969:70). Proses paralel dapat dilihat dalam dunia Islam di Asia Tenggara dimana bekas masyarakat penyembah berhala yang telah masuk Islam dan dalam beberapa waktu mengubah seluruh identitas etnik mereka. Di Borneo contohnya, banyak orang yang sekarang dikenal sebagai ‘Melayu’ tidak memiliki nenek moyang Melayu dan dalam beberapa waktu masyarakat trasisional ini dapat diidentifikasikan dalam proses perubahan identitas mereka namun meneruskan kebiasaan lama mereka (sebelum masuk Islam) (King, 1993: 31ff,). Seringkali adalah identitas diri dari sebuah kelompok minoritas yang secara jelas diciptakan dalam hubungannya dengan kelompok mayoritas. Dalam hubungan ini, Dentan, dalam studinya tentang penduduk asli semenanjung Malaysia, memiliki pertanyaan yang menarik ‘Jika tidak ada orang Melayu, akan jadi apa orang Semai ?’ karena apa yang menyatukan orang Semai merasa bahwa mereka datang dari tempat dimana orang Melayu tinggal. Ia juga mengatakan bahwa perpindahan dan manipulasi identitas adalah biasa di Asia Tenggara, khususnya diantara masyarakat perbukitan. Tulisan penting yang dibuat oleh Nagata menyelidiki berbagai hubungan antara masyarakat Melayu yang secara politik dan budaya dominan di Malaysia dan menunjukkan bahwa bagi orang Melayu, dan juga pendatang Cina dan Idia, ‘identitas adalah bersifat kaku dari yang ditujukan pada ‘masyarakat tribal’ yang lebih dapat menyesuaikan dalam afiliasi etnis, dan lebih dapat menerima peran perpindahan etnis dan untuk membentuk indentitas mereka dalam hubungannya dengan kelompok yang lebih dominan (1975a: 4-10). Konversi agama dan perkawinan adalah dua mekanisme penting dalam perubahan identitas etnik. Yang lain adalah praktek adopsi anak antara kelompok etnis , asimilasi dengan mitra dan budak yang diambil dari masyarakat lain., masuknya kelompok asing dalam sturktur politik negara, perubahan aktifitas ekonomi, ketika masyarakat yang tadi nya nomaden mengadopsi sistem pertanian tetangganya. Seringkali beberapa proses tersebut terjadi secara bersamaan. Kahn menunjuk pada proses hubungan masyarakat di Asian tenggara dengan orang Barat dan berpengaruh pada ‘kontak budaya’ , ‘westernisasi’ dan ‘globalisasi’ (1993: 17-18, 22-23). Dalam hal ini, apa yang kita asumsikan sebagai penanda identitas tradisional oleh antropolog awal adalah merupakan penemuan atau ciptaan dari kolonialisme barat. Kita telah melihat pada bab 3 bagaimana lembaga kampung Thai adalah sebuah ciptaan administratif dan di Jawa berdasarkan studi Breman (1982) telah menunjukkan bahwa masyarakt kampung yang tertutup dibangun oleh Belanda untuk tujuan administrasi dan untuk memungkinkan pihak kolonial untuk menerapkan dan memelihara sistem pertanian di abad ke 19. Bagaimana pun, Kahn membantah bahwa kita seharusnya waspada terhadap perbedan yang belebihan terhadap tradisi yang diciptakan dan budaya yang asli karena semua tradisi diciptakan dalam konteks sosial dan historikal tertentu dan digunakan sebagai ‘yang asli’ oleh pembawanya, dan bahwa budaya tersebut bukan hany asekedar ciptaan orang luar karena masyarakat lokal juga secara aktif terlibat dalam penciptaan budaya mereka sendiri.

Pluralisme yang dipertimbangkan kembali

Dalam kontek Burma adalah para ilmuwan politik dan sejarah yang memakai dan merevisi konsep Furnivall tenang masyarakat plural. Dua diantaranya yang dikenal secara luas adalah Robert Taylor (1987 dalam studinya tentang Burma pada masa penjajahan dan pasca penjajahan dan hubungannya dengan masyarakat sipil, dan Michael Adas (1974) dalam penelitiannya tentang pembangunan ekonomi kolonial dan pertumbuhan industri beras di daerah Delta Irrawaddy dari pertengahan abad ke 19 . Kedua penulis menganggap konsep Furnivall berguna dalam memahami stuktur sosial Burma Inggris dan dalam penekanan cara-cara bagaimana sebuah masyarakat multietnis diciptakan dan diatur secara politik oleh pemerintahan kolonial dalam pencariannya untuk menciptakan kemakmuran’ (Taylor , 1987:68). Bagaimana pun, ada pemikiran yang mereka kritisi dimana Furnivall telah gagal untuk menunjukkan kompleksitas dari masyarakat yang plural. I atelah menunjukkan sebuah gambaran yang terlalu stagnan dari hubungan sosial (ibid.:79). Konsep masyarakat plural Frunivall terdii dari‘kelompok ras yang terpisah’ (Eropa, India, Cina dan Burma asli), pembagian yang kentara antara mereka bertepatan dengan adanya fungsi ekonomi yang terpisah; mereka dibagi secara budaya dan sosial, tanpa kehendak sosial dan politik yang sama; setuap kelompok adalah sebuah tingkatan orang-orang dan bukan sebuah kelompok yang organis dan terpadu; kebanyakan non-Burma adalah imigran bebas, penduduk sementara, yang daerah asalnya berada di tempat lain dan komitment terhadap daerah yang mereka tinggali sangat rendah; dan mereka hanya mencari keuntungan ekonomi, sehingga kehidupan sosial mereka tidak sempurna. Taylor, menunjukkan bahwa hubunagn antara etnisitas dan kelas sosial (atau fungsi ekonomi) lebih kompleks dibandingkan konsep Furnivall, dan hal ini bisa menjelaskan sifat-sifat hubungan antara kelompok yang berbeda (ibid.:123-147). Jauh dari homogen secara ekonomi, masyarakat dataran rrendah Burma membangun kelas masyarakat baru dibawah pemerintahan Inggris; yaitu masyarakat Burma kelas menengah yang merupakan pekerja kerah putih perkotaan yang utamanya bekerja dibidang administrasi publik dan terikat pada pemerintah kolonial. Pecahan lain dari masyarakat kelas menengah Burma adalah yang bermukim di pedesaan, sebagai pemilik lahan luas, rentenir, kreditor pertanian dan pedagang di pedesaan. Bagaimanapun, penduduk Burma adalah petani atau pemilik lahan, buruh tani dan tingkat ketidakpunyaan lahan dan proletarianisasi meningkat sejak industri beras menjadi sangat terikat dengan pasar dunia, dan tekanan penduduk akan lahan meningkat. Sejak pekerjaan semakin sulit untuk didapatkan, khususnya selama saat Depresi tahun 1930an, pekerja Burma pindah ke daerah perkotaan dan bersaing dengan pekerja India dalam bidang buruh pelabuhan, transportasi dan manufakturing. Orang India juga, kelasnya juga termasuk didalam proletariat perkotaan; tetapi sejak pertanian beras meningkat, pekerja India juga berpindah ke luar kota untuk mencari pekerjaan, dan mereka bersaing dengan para buruh tani Burma, namun seperti orang Cina, mereka bukanlah pekerja kerah putih, tetapi terkonsentrasi di bidang perdagangan dan industri di daerah perkotaan, rentenir India juga terlibat dalam pembiayaan industri beras disekitar ibukota dan daerah perkotaan lainnya. Taylor menunjukkan bahwa hal ini tidak bertepatan dengan kelas dan etnisitas (kasta ekonomi Furnivall) yang menjelaskan konflik antar etnik, tetapi lebih kepada kompetisi antara anggota kelompok etnik yang berbeda yang memiliki posisi kelas yang sama. Contohnya, konflik komunal yang terjadi di tahun 1930 di pelabuhan Rangoon antara pekerja Burma dan India yang bersaing dalam pekerjaan. Yang lebih penting lagi, Taylor membantah bahwa stuktur sosial ini diciptakan oleh sebuah negara kolonial yang mendukung sistem ekonomi laissez-faire tetapi memonopoli semua instrumen koersi,sanksi dan kontrol.

Ada juga menguji perubahan antar hubungan antara kelompok budaya yang berbeda dan mencatat bahwa apa yang menyebabkan hubungan simbiotik pada pertengahan abad ke 19 saat lahan melimpah dan harga beras pada pasar dunia meningkat, secara gradual berubah menjadi sebuah konfik hingga Perang Dunia Ke 2 saat populas dan jumlah pekerja meningkat, pasar beras tutup dan harga beras jatuh (1974: 104-106, 122-123, 166ff). Adas menyangkal bahwa masyarakat plural adalah bentuk organisasi sosial yang mudah goyah dan tidak stabil’ (ibid.:192), dan membutuhkan kontrol politik langsung dalam menjalankannya. Sekalipun begitu, ia menekankan bahwa ancaman kekuatan fisik oleh rezim otoriter bukanlah hanya berarti menjaga pembagian kelas. Anggota elit dari berbagai kelompok budaya non-Inggris masuk kedalam lingkungan orang-orang Inggris melalui pendidikan dan hukum Inggris, dan berbagai bidang ekonomi yang mendukung hubungan saling ketergantungan. Batasan antara kelompok yang berbeda tidaklah mudah ditembus seperti pada konsep Furnivall tentang puralisme; ada perkawinan, ‘kumpuk kebo’ antar etnik dan konversi agama yang meningkat kepada percampuran kelompok seperti Anglo-India dan Anglo-Burma (ibid.: 108). Seperti Taylor, Adas juga menekankan pembagian dalam berbagai kelompok budaya, khususnya pembagain kelas dan fakta bahwa kekerasan komunal Burma-India terjadi tidak pada semua level masyarakat, namun pada pekerja pertanian dan pelabuhan. Ia juga menarik perhatian pada pembagian budaya dalam kelompok yang berhubugan dengan pembagian kelas. Khususnya pada komunitas orang India, ada perpecahan antara Hindu dan kasta-kastanya, Muslim, Sikh dan jain (ibid.: 106), dan diantara penduduk asli Burma, istilah Furnivall, ‘orang Burma’ menyamarkan fakta bahwa selain penduduk lowland Burma yang beragama Budhasebagai mayoritas disini, ada juga orang Mons dan Arakan, dan beberapa minoritas – Karen, Chins, Kachin, Naga, Shan – yang mendiami lembah, bukit dan gunung sekitar daerah persawahan. Apa yang juga ia tunjukan adalah bahwa karakteristisasi petani Asia adalah pasif dan tidak merespon rangsangan pasar, seperti yang digambarkan dalam konsep Boeke tentang masyarakat ganda, adalah sebuah produk dari keadaan politik, sosial dan sejarah.Orang Burma, saat dihadapkan pada kesempatan untuk bertanam padi untuk kebutuhan pasar dan memperluas produksi, memiliki motif akan keuntungan, mencari barang-barang konsumen dengan kelincahannya dna menjadi terlibat dalam masyarakat yang mobile (ibid,:210-213). Adas juga mengindikasikan bahwa perbedaan budaya dalam masyarakat yang plural juga terwujud dalam istilah perbedaan rasial dan fisik, dan ke 4 kelopok ras berdasarkan stereotip yang digabungkan ke dalam aturan dan praktek administratif kolonial Inggris. Ke 4 kelompok ini dalam kenyataannya bukanlah dalam kelompok secara keseluruhan dalam artian bahwa mereka memberikan tempat berinteraksi dan komunikasi berbasiskan pembagian nilai, namun lebih kepada ketegori ideologi yang dipakai untuk tujuan administratif politis dan yang menyatakan hubunagn kelas, status dan kekuasaan serta asumsi tentang superioritas dan inferioritas rasial dan kecocokan dari perbedaan ras untuk kegiatan ekonomi yang berbeda dalam ekonomi kolonial.

Malaysia

konsep pluralisme digunakan dan dipertimabngkan secara luas dengan rujukan pada Malaysia, walau konsep tersebut juga sering tertukar dengan artian ras, hubungan etnis dan komunalisme. Ada literatur yang berkembang dalam pluralisme Malaysia untuk alasan yang jelas. Tidak dimana pun diwilayah ini, kecuali Singapura, ada banyak kelompok besar yang berasal dari imigrasi ke bekas jajahan Inggris tersebut dari luar Asia Tenggara. Baik di Malaysia dan Singapura, walaupun jumlah masyarakat India sangat banyak, adalah orang Cina yang menjadi komunitas terbesar. Di Singapura, orang Cina mencakup ¾ dari keseluruhan penduduk, sementara di Malaysia, lebih dari ¼ dari keseluruhan penduduk. Adalah antropolog Inggris Maurice Freedman yang merupakan salah satu peneliti pasca-perang yang meneliti tentang sejaran dan struktur komunitas Cina di Semenanjung Malaya dan Singapura. Dalam kondisi yang tidak aman selama Keadaan Darurat Malaya (1948 -1960), sebagai seorang antropolog yang ditugaskan oleh Colonial Social Science and Research Council diakhir 1940an untuk melaksanakan penelitian etnografik dasar di wilayah Inggris di Asia Tenggara, berkonsentrasi pada masyarakat Cina di Sigapura (1957, 1961, 1962). T’ien ju-K’ang juga melaksakan studi pada masyarakat Cina di Sarawak (1953). Bagaimanapun, tulisan Freedman tentang penciptaan masyarakat plural di Malaya (1960) menstimulasi refleksi tentang kepatutan konsep bagi pemahaman sturktur sosial Malaysia. Seperti halnya di Burma , identitas etnik diciptakan dalam negara kolonial Inggris. Ketiga kategori etnik level makro (kadang-kadang disebut sebagai ‘ras’) di Malaysai (Melayu, Cina dan India) merupakan istilah yang baru. Walaupun ada perbedaan budaya yang nyata antara masyarakat lokal dan imigran Asia, hal ini tidak mengkirstal kedalam kategori enik yang luas sampai muculnya organisasi politik dan politisasi etnisitas dalam dua dekade sebelum Perang Dunia ke II dan dalam perjalanan menuju kemerdakaan Federasi Malaya tahun 1957. Etnisitas menjadi sangat berhubungan dengan identitas politik dengan orang Melayu, Cina dan India membentuk partai-partai komunal dan berdasarkan etnik mereka sendiri (UMNO, Malaysian Chinese Association, dan Malaysian Indian Congress), dan perbedaan antara kategori-kategori ini ditunjukkan dalam bentuk ketidakseimbangan ekonomi, khususnya antara Cina dan Melayu, dan dalam istilah ‘hak istimewa’ orang Melayu sebagai orang pribumi/bumiputera dalam sektor pekerjaan publik, pendidikan dan bidang ekonomi umum. Nagata juga menunjukkan bahwa di daerah perkotaan Malaysia dimana ‘kategori etnik dan hubungannya telah menjadi sangat menyolok dan bermasalah’ (1979: 4), dan disinilah dimana seseorang menemukan contoh yang menarik tentang sebuah percobaan yang dilakukan oleh orang Melayu, dengan cirikhas pedesaan dan dasar pertanian mereka, untuk mendefinisikan identitas mereka sebagai orang Melayu perkotaan yang modern dan hidup dalam lingkungan multikultural (Kahn, 1997:118-119). Meskipun demikian, pembahasan kerangka kerja etnik mulai dibangun oleh Inggris sejak akhir abad ke 19 , dan melalui sensus , klasifikasi dan penstereotifan ada sebauh proses yang berlanjut dari rasionalisasi dan simplifikasi , membawa banyak pengelompokan etnis kedalam beberapa kategori etnis utama. Pemerintah kolonial juga memisahkan identitas etnik secara ekonomi dan administratif. Sultan Melayu dan keturunannya digabungkan kedalam sebuah sistem pemerintahan tak langsung dan masyarakat Melayu dibawa ke berbagai macam bidang administrasi, ke tentaraan dan kepolisian. Pemerintah Inggris menetapkan dan melindungi posisi masyarakat Melayu atas tanah sebagai petani karet dan padi skala kecil, sementara menyokong imigran Cina untuk menempati bidang perdagangan dan bisnis didaerah perkotaan yang diperlukan bagi ekonomi negara. Banyak orang Cina juga menjadi buruh di pertambangan tembaga, pertanian komersial, transportasi, manufaktur dan pelayanan publik. India, yang berasal dari India utara, datang dan berprofesi sebagai pedagang, rentenir dll. Pekerja Tamil yang berasal dari selatan India bekerja pada perkebunan karet, dan orang Sikh berprofesi sebagai tentara dan polisi. Batasan antara kelompok etnis semakin progresif kedatangan para pendatang baru yang secara ekonomi dan demografi mengancam keberadaan penduduk lokal. Imigrasi skala besar baik pria dan wanita di akhir masa penjajahan juga memberikan kesempatan bagi perkawinan dalam kelompok etnis daripada perkawinan antar kelompok etnis dan mendukung ‘kecukupan’ budaya khususny diantara orang Cina (Nagata , 1979: 30-31). Pemerintah kolonial sebagai penengah diantara kelompok etnis, dan dalam artian sebuah ideologi dalam perbedaan ras, sebuah sistem pemerintahan tak langsung , bertindak untuk memisahkan anggota-anggota dari berbagai macam kelompok satu dengan yang lain dan membawa mereka kedalam masyarakat yang plural (Nagata, 1975b:117-121). Kecocokan kelompok tertentu untuk suatu tugas dan pekerjaan tertentu dijelaskan dalam istilah karakteristik ‘bawaan’ ras atau nilai budaya ‘tradisional’, dimana konservatisme, fatalisme dan ketergantungan orang Melayu berhadapan dengan rasionalisme, keberanian mengambil resiko-isme, dan kemandirian-isme orang Cina (Nagata , 1979: 81-82). Kelompok minoritas lain di Semenanjung Malaya dan Borneo Inggris juga mengalami proses yang sama dalam rasionalisasi etnis; Keanekaragaman komunitas asli non-Melayu di Semenanjung disatukan melalui istilah ‘Orang Aseli’ dan dipisahkan secara administratif (Dentan, 1997 : 98-134) dan yang di Borneo secara gradual di satukan dengan label ‘Dayak’ (Winzeler, 1997: 1-29). Bagaimanapun, secara historis pembagian intra-etnis adalah penting, juka tidak lebih penting dari ketiga kategori utama diatas, dan bahkan saat ini pada tingkatan lokal, interaksi intra dan antar etnik terasa lebih komplek dan beraneka ragam dibanding pad tingkat nasional. Seperti yang kita lihat pada kasus di Burma , komunitas Indoa dibagi dalam bentuk agama, kasta, tempat asal di India, pekerjaan, kelas, bahasa dan cirikhas budaya lainnya. Melalui waktu yang panjang, administrator Inggris di Malaya dan Singapura cenderung tidak menyatukan ‘orang India’ bersama , namun membeda-bedakan mereka kedalam sub kelompk yaitu Tamil, Bengali, Gujarat, Sikh, Chulia (Muslim dari pantai Coromandel), Parsi (dari Bombay), Malayalis (dari Malabar) dan lainnya. Berkenaan dengan orang Cina ada pembagian budaya dan bahasa dalam masyarakat tersebut, contohnya Hokkien, Teochiu, Cantonese, Hakka, Hainan, dan Foochow, dan , sebagaimana Freedman, T’ien dan yang lainnya juga telah menunjukkan kecenderungan untuk membagi kelompok-kelompok dialek, dalam pekerjaan dan spesialisasi ekonomi tertentu. Kategori ‘Melayu’ juga memiliki perbedaan kelas dan status dan meliputi kelompok-kelompok sub-regional yang berbeda, yang telah lama berkembang di Semenanjung dan merupakan masyarakat migran seperti orang Jawa dan madura, Minangkabau dan Aceh dari Sumatra, Banjar dari Kalimantan dan Bugis dari Indonesia bagian Timur (Clammer 1986: 54ff). Definisi ‘Melayu’ dalam bentuk agama, bahasa dan adat istiadat, telah menajdi tetap dan diatur secara konstitusional. Pengelompokan melalui payung etnik lebih bermacam-macam dibandingkan dengan definisi secara politik, konstitusional, dan administratif yang ada (Nagata, 1979: 14). Sama seperti di Burma, ada juga masyarakat campuran di Malaysia yang berasal dari perkawinan campuran dan pertukaran budaya yang menyatukan batas-batas antar kelompok. Diantaranya adalah Peranakan atau Cina Baba, yang telah lama tinggal di Malaka dan Penang, dan yang mengkombinasikan elemen budaya Cina dan Melayu; orang Eurasia yang sebagaian besar merupakan keturunan campuran antara orang Portugis dan Melayu yang tinggal di Malaka; orang Jawi Peranakan atau Muslim India yang merupakan perpaduan India-Melayu dan India Baba atau Chitty Malaka yang merupakan keturunan India Hindu namun banyak menyerap budaya Melayu (Clammer, 1980,1986; Nagata, 1979:25-49).
Diantara para peneliti yang melakukan studi tentang hubungan etnis pra-1963 di Federasi Malaysia yang baru terbentuk dengan merujuk pada konsep pluralisme, Judith Nagata mungkin adalah peneliti yang paling terkemuka (1974, 1975b, 1979). Seperti komenator tentang pluralisme Burma, dia juga meneliti hubunagn antara etnisitas dan ketidaksamaan sosial, walau di bawah bendera stratifikasi, ia mempertimbangkan baik hubungan kelas dan sosial (1975b: 114-115,121-130; 1979:144-183). Ia melakukan penelitian lapangan di Georgetown, Penang dan kota kerajaan Melayu di Bintang , Kedah. Tidak seperti Taylor dan Adas, hal ini membawa perhatiannya pada perbedaan antara analisis ‘objektif’ perbedaan (kelas) dan subyektif (status, pangkat dan prestise) dan mempelajari bagaimana anggota kelompok etnik yang berbeda merasakan hirarki sosial. Hal ini membolehkannya untuk menunjukkan bahwa dalam bentuk obyektif ada hubungan kelas yang muncul yang memotong batasan etnik dalam negara Malaysia modern, walaupun orang Malaysia secara subyektif tidak merasakan masyarakatnya dalam istilah kelas. Malahan, mereka menunjukkan ‘perbedaan sosial dalam sebuah idiom etnik’, dan menekankan ada sifat plural dari masyarakatnya daripada sebuah kesadaran kelas antar-etnik. Untuk alasan ini Nagata memilih untuk menyebut kelas-kelas masyarakat yang baru muncul ini, yang meliputi bisnismen (pedagang, wiraswasta), profesional, pegawai negeri dan buruh (1975b: 130-133; 1979: 164 -172). Ketiga kelompok etnis tersebut (Melayu, India, Cina) memiliki sistem status kesukuan mereka sendiridan mereka memiliki persepsi yang berbeda terhadap keseluruhan stuktur sosial Malaysia. Dalam artian ini sebuah kelompok etnis juga berhubungan dengan sebuah evaluasi kehormatan dan gaya hidup ideal (1975b: 117). Lee juga menyangkal bahwa konflik antara kelompok etnik merupakan disebabkan oleh karakter dari konflik status dimana setiap kelompok ingin merendahkan yang lain dan memperkuat apa yang diyakininya sebagai cara pandang yang secara moral dibenarkan. (1986b: 29).
Sistem ststus internal Melayu secara tradisional berasal dari perbedaan antara sistem tingkatan sekuler yang menempatkan pihak kerajaan dan aristokrat pada tingkatan atas, dan hirarhi religius yang memberikan penghargaan tertinggi kepada orang-orang keturunan Arab dan/atau keturunan Nabi, dan kemudian pemimpin agama dan guru serta orang yang telah naik Haji (Nagata, 1979:147-150). Ada sebuah pengolonggan yang komplek terhadap posisi status, banyak diantara penyandangnya menyertakan titel khusus dan di tempatkan di kantor-kantor. Bagaimanapun, perbedaan yang besar terjadi antara penguasa (rajah) dan rakyat biasa. Dalam Malaysia modern, sistem status internal melayu tetap memberikan status tertingginya pada keluarga kerajaan dan para aristokrat dan kepada pemimpin tinggi agama. Dalam hal tingkatan status masyarakat Malaysia yang lebih luas, pegawai negeri senior memiliki posisi tertinggi yang kemudian diikuti oleh para pebisnis dan profesional, saat kelompok etnik lain dimasukkan, orang Cina ditempatkan diatas orang Melayu dan India. Nagata menyarankan agar orang Melayu tidak merasakan pengelompokan etnisnya sendiri atau masyarakat Malaysia yang lebih luas dalam bentuk kelas (1975b: 122-123). Mereka terlena dengan sistem tingkatan status yang terdiri dari urutan status yang berlanjut dan terpilih. Bagi orang Cina, status didasarkan pada kemakmuran , pekerjaan di daerah perkotaan dan pendidikan ala Inggris. Karena itulah, pebisnis memiliki prestise tertinggi diatas profesional dan pegawai politik dan pemerintah. Pekerjaan di daerah pedesaan ditempatkan pada skala terbawah. Menariknya, pihak kerajaan Melayu dan aristokratnya dianggap sebagai yang paling prestisius, walau ‘oleh mereka sendiri...hampir lepas dari masyarakat yang sesungguhnya’ (1975b: 124). Kemudian datanglah elit politik orang Melayu; orang Cina melihat dirinya tidak memiliki seorang elit tingkat nasional. Tingkatan yang paling bawah adalah para petani Melayu. Dengan sistem mereka sendiri, orang Cina cenderung menekankan pada hubungan marga, dialek dan daerah asal daripada perbedaan kelas (1979: 160). Diantara orang India, Nagata menyatakan bahea prinsip utama kategorisasi adalah afiliasi keagamaan yang diikuti oleh perbedaan daerha dan bahasa dari pada sebuah hirarki status orang India pada umumnya (ibid.: 162). Saat menanyakan secara spesifik tentang status, mereka menyatakan bahwa yang paling penting adalah kemakmuran , diikuti posisi profesional, kualifikasi dan bahasa Inggris. Pebisnis medapat kehormatan tertinggi yang diikuti oleh pegawai pemerintahan dan para profesional. Pada tatanan yang lebih luas,elit politik Melayu dan elit ekonomi Cina ditempatkan di atas masyarakat India yang dilihat pada tingkatan terbawah dari hirarki (1975b: 125).

Nagata menyimpulkan bahwa masyarakat Malaysia sedang bergerak dari..

Apa yang digambarkan sebagai tipe pluralisme Furnivallian dengan sistem tingkatan status yang berbeda untuk setiap bagian etnik kepada sebuah bentuk stratifikasi obyektif dimana adanya peningkatan kompetisi untuk status dan sumberdaya yang sama oleh seluruh anggota kelompk etnis. (ibid.: 133-134)

Kriteria tingkatan status yang sama – bidang politik dan pemerintahan, pekerjaan, bahasa Inggris, pendidikan tinggi dan kemakmuran melalui bisnis dan perdagangan – adalah awal untuk mengasumsikan pentingnya kesamaan antara garis etnis. Bagaimanapun, ‘pluralisme subyektif’ berlanjut untuk mengaburkan dan mengahlangi proses ini sehingga kelompok status dan pekerjaan dalam masyarakat Malaysia terpotong oleh persepsi intraetnik, aliansi dan relasi, daln dalam model msyarakat Malaysia ada kecenderungan untuk menempatkan kelompok etnis satu diatas yang lain. Perbedaan tidak dirasakan dalam bentuk perbedaan kelas meliankan dalam kepribadian (ibid.: 127). Dalam studi nya tentang 2 kota di Malaysia, Nagata menunjukkan bahwa hampir seluruh hubungan sosial adalah ‘berada dalam hirarki secara etnis, daripada melalui hubungan partai-partai politik etnis atau perkumpulan atau melalui ikatan nonformal dari pemimpin’, dan ‘kesetiaan probadi dan antipati, perlindungan dan konfrontasi, menyerap kejutan dari apa yang digeneralisasikan untuk sebuah bentuk konflik kelas (1979:143, 178). Akhirnya, Nagata mengajukan pertanyaan bagaimana rasa kebangsaan diciptakan dalam negara seperti Malaysia dari sebuah situasi perbedaan etnis, khususnya saat instrumen koersif dari pemerintahan kolonial menghilang. Ia mengindikasikan bahwa ada 4 arah yang mungkin dimana pemerintah Malaysia dapat merujuk dalam menciptakan persatuan nasioanl: (1) asimilasi kepada ke-Melayu-an; (2) Penciptan sebuah budaya hibrida Malaysia yang mencakup element-element yang berasal dari seluruh kelompok etnis yang berbeda; (3) Sebuah pengaturan pluralistik dimana seluruh komunitas memelihara perbedaan budayanya; (4) Asimilasi kepada budaya Barat yang ‘netral’ diatas identitas individu (ibid.: 219ff). Ia menunjukkan model plural sebagai situasi yang paling cocok dengan Malaysia, ada elemen pendekatan awal dalam mengistimewakan Bahsa Melayu dan simbol-simbol negara yang diambil dari budaya dan masyarakat Melayu (Islam sebagai agama negara, sultan sebagai kepala negara, lagu kebangsaan Melayu, layang-layang Melayu sebagai lambang airline negara), kedua , dalam presetasi dari identitas rakyat Malaysia secara umum (sejarah, masakan, pakaian, musik dan tarian) khususnya dalam promosi pariwisata dan keempat, dalam pengaruh pembangunan dan modernisasi bahasa yang merupakan bukti dalam meningkatnya Barat-nisasi dalam politik, birokrasi dan perdagangan. Bagaimanapun secara keseluruhan, Nagata melihat ‘mosaik’ pluralisme tetap dipelihara dan mendesak untuk melanjutkan pentingnya pemahaman tentang masyarakat Malaysia dalam hal hubungan antar etnisitas, kelas, status dan kekuasaan.

Etnisitas di Borneo Indonesia dan Brunei: identatas diri, penyebutan etnis dan sistem sosial

Mari kita membahas sebuah kasus permasalahan pelabelan etis di Borneo, dan masalah defenisi diri. Michael Moerman , dalam penelitiannya di Lue, Thailand Utara, memyangkal akan pentingnya indetitas diri dan penamaan diri dalam membatasi pengelompokan etnis, tetapi mengakui bahwa klasifikasi penduduk asli dan penamaan tidak akan memberikan bukti yang jelas tentang identifikasi satuan-satuan terpisah untuk penelitian (1965). Klasifikasi masyarakat asli, yang merupakan percobaan untuk membawa kepada hubungan sosial budaya yang dinamis dan komplek, seringkali membawa suatu kumpulan kategori dan penamaan etnis yang tumpang tindih dan bermasalah. Komunitas tetangga yang lain mungkin memiliki sistemklasifikasi yang lebih berbeda untuk menempatkan dan mendefiniskan dirinya dan tetangganya, dan hal ini biasanya melebar melewati konteks lokal dalam sebuah cara ad hoc untuk mencakupi komunitas lain yang jauh secara fisik dan budaya.; mereka juga mencakupi sebuah campuran kategori dan label yang diturunkan sendiri maupun secara eksternal yang tidak saling cocok bagi satu dengan yang lain. Beberapa unit boleh jadi dengan mudah didefinisikan dan secara jelas terikat dari pada yang lain. Masalah identifikasi etnik dan nomenklatur telah tampak secara luas dalam study etnografi masyarakat Borneo, dengan banyak prbedaan dan sering bertentangan skema klasifikasi antropologi yang diberikan. Rousseau memusatkan diri pada dilema ini dalam percobaannya untuk memahami hubungan antar kategori etnis dan hubungan sosial di Borneo. (1975, 1990). Ia mengatakan : Adalah sulit untuk menidentifikasi satuan-satuan etnis, karena kelompok yang bernama sama memiliki bahasa yang berbeda, sedangkan kelompok yang memiliki nama yang berbeda terlihat identik. Borneo Tengah tampil sebagai dalam bentuk papan catur satuan etnis yang terbagi-bagi secara acak melalui migrasi. Tidaklah mungkin untuk mengasumsikan secara jelas batasa-batasan antara pemburu-peraih dan swiddener karena mereka kadang-kadang berbahasa yang sama dam saling berhubungan dekat satu dengan yang lain. Pendekatan Rousseau adalah untuk mempersoalkan tentang ‘orang-orang yang menggunakan sebuah idiom kategori etnik untuk menjelaskan kenyataan politik’ (1975: 350). Sebuah contoh yang bagus adalah istilah ‘Dayak’, sebuah istilah peyoratif derivasi yang digunakan oleh para penghuni daerah pesisir untuk menyebut masyarakat pedalaman dan hulu sungai, dan kemudian diadopsi oleh pemerintah kolonial Inggris dan Belanda. Setelah kemerdekaan, istilah ini dipakai oleh elit politik masyarakat asli dan dipakai sebagai nama berbagai macam partai politik baik untuk membedakan masyarakat asli yang non Muslim-Melayu dari masyarakat Melayu yang dominan dalam politik, dan untuk menciptakan dan membangun kesadaran dan dukungan politik yang lebih luas (King, 2001a: 3). Islitah ‘iban’, yang saat ini diketahui secara baik dalam literatur antropologi Borneo, tidak diterima oleh masyarakat luas sampai saat ini. Komunitas tersebut tidak merasa dirinya dalam kategori etnis yang homogen dan terdefinisi secara eksplisit sampai pertengahan abad ke 19 saat keluarga Brooke, ‘raja putih’ Sarawak, membawa mereka kedalam sistem administrasi, hukum dan pendidikan yang lebih luas dan membangun komunikasi antara komunitas-komunitas yang terisolasi. Mereka mendapat dorongan setelah berakhirnya PD 2 saat masyarakat asli mulai memobilisasi diri secara politik sebagai respon pada pembentukan partai-partai Melayu dan Cina. Disebutkan bahwa istilah ‘iban’ berasal dari kata ‘ivan’ (yang berarti penggembara,pengelana), yang di populerkan oleh orang Kayan, bekas musuh yang kemudian menyebutnya ‘iban, merujuk pada perpindahan dan perburuan kepala secara agresif yang melanggar batas teritorial mereka pada pertengahan abad ke 19. Istilah ‘iban’ berangsur-angsur menggantikan istilah lokal yang dipakai oelh mereka sendiri dan bahkan istilah umum ‘Dayak Laut’ atau ‘Dayak’ yang dipakai oelh pemerintah kolonial Inggris (Wadley, 2000:86). Sebuah kasus menarik tentang defenisi etnik dan nomenklatur adalah pada orang ‘Maloh’ di hulu sungai Kapuas , Kalimantan Barat (King, 1985; istilah etnik ditempatkan dalam tanda kutip karena tidak diterima secara keseluruhan). Orang ‘Maloh’ bukanlah penduduk yang homogen secara budaya dengan batasan-batasan yang jelas, walaupun ada penandaan budaya yang mengizinkan kita untuk membedakan kelompok etnis di hulu sungai Kapuas dari kelompok yang lainnya. Bahasa ‘Maloh’ merupakan bahasa tersendiri di Borneo, walau penuturnya meminjam perbendaharaan kata dari bahasa lain seperti Iban dan Melayu; mereka memiliki keahlian khusus dibidang pengolahan perak dan emas yang merupakan sifat khusus dari kebudayaan Maloh, walaupun tidak lagi dipraktekkan secara luas; ada juga elemen budaya dan ritual dan nilai yang membuat mereka sebagai penanda batasan, walau orang Maloh telah menyerap banyak hal dari kelompok etnik lain sehingga beberapa pengamat telah menyatakan bahwa bentuk utama organisasi sosial orang Maloh berasal dari hubungan dan gabungan dengan/kedalam dunia polik dan budaya Muslim-Melayu (Thambun, 1996; Bernstein, 1997). Beberapa komunitas lain juga beralkulturasi dengan komunitas Iban. Yang menjadi problematika tentang orang‘Maloh’ adalah bahwa mereka adalah komunitas yang terbagi-bagi, minoritas yang secara historis bermukim di zona hubungan budaya antara Kayan, Iban dan komunitas yang berhubungan dengan Iban, dan daerah kekuasaan Melayu di sepanjang pantai dan sungai. Karena itu, ada semacam pertukaran budaya, perkawinan, konversi agama dan asimilasi di daerah ini. Secara internal, orang‘Maloh’ mengadopsi identitas-identitas yang berbeda tergantung dari situasi, tujuan, dan tingkat kekontrasan yang mereka inginkan dan hadapi. Selain dari identifikasi dengan nama komunitas, sungai dan kampung tertentu di sepanjang daerah tempat mereka tinggal, sebuah identitas yang lebih tinggi adalah yang dimana telah disebut sebagai ‘divisi’ atau sub-pengelompokan’ yang terdiri dari 3 : Embaloh (atau Tamambaloh), Taman (Kapuas) dan Kalis (king, 1985: 33-34).Ketiga divisi ini berdasar pada bahasa dan perbedaan budaya lainnya dan mereka menyebar secara geografi.
Kesulitan utama yang dihadapi oleh King selama penelitiannya diawal tahun 1970an adlah untuk memutuskan istilah etnis atau etnonim yang dipakai untuk menyebutkan orang-orang pedalaman Borneo ini karena hal tersebut tidak secara luas diterima (ibid.: 35). Literatur kolonial Belanda tentang Borneo merefleksikan pengamatan ini bahwa penulis Belanda biasanya menggunakan nama yang berdasarkan nama sungai dalam klasifikasi mereka terhadap populasi secara keseluruhan . Selain itu, masyarakat Embaloh/Tamambaloh menyatakan bahwa itu adalah istilah untuk divisi mereka yang seharusnya diperluas untuk mencakupi yang lain juga, sedangkan masyarakat Taman menyatakan bahwa setiap orang adalah Taman. Masyarakat Kalis, tidak menerima disebut sebagai Embaloh atau Taman. Ada juga perbedaan mitos asal dan cerita sejarah migrasi yang dipakai sebagai sesuatu yang mendukung klaim atas budaya dan sejarah. Daripada memilih salah satu nama , King memilih untuk menggunakan istilah ‘Maloh’ yang merupakan nama umum...yang digunakan oleh oran Iban yang merujuk pada masyarakat di hulu sungai Kapuas yang memiliki keahlian mengolah logam’ (ibid.: 35). Penamaan ini berasal dari nama ‘Embaloh’ sebuah sungai yang terdekat dengan pemukiman Iban disekitar perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, yang kemudai diterima oleh masyarakat yang dinamakan tersebut. Masyarakat Iban termasuk dalam tujuan pasar barang-barang kerajinan perak dan emas orang Maloh; pengerajin Maloh berpergian sepanjang daerah orang Iban, beberapa diantaranya tinggal dan menikahi wanita Iban; mereka kemudian membawa barang-barang dagang yang dibuat oleh orang Iban seperti kain tenun, kembali ke kampung mereka. Banyak orang Maloh pandai berbahasa Iban dan ekspansi Iban kedalam daerah orang Maloh telah menghasilkan asimilasi Maloh ke dalam komunitas dan budaya Iban. Istilah ‘Maloh’ dipakai secara luas di perbatasan Sarawak dan Kalimantan ; dan merupakan istilah yang dikenal luas dalam literatur Inggris pasca perang tentang Borneo; dan orang Maloh menerima istilah tersebut sebagai sebutan resmi yang memisahkan mereka dengan komunitas lain. Sejak tahun 1970an, issu pelabelan etnis telah menimbulkan banyak pertentangan. Kerajinan logam makin berkurang pada sekitar 1960an dan telah hilang sejak 1970an karena persaingan dengan perhiasan impor. Lalu, dalam konteks dimana istilah ‘Maloh’ telah dipakai tidak lagi relevan. Istilah tersebut menjadi bermasalah dan tidak lagi dapat diterima. Beberapa tulisan King juga dibaca oleh intelektual muda ‘Maloh’ yang mulai mendebatkan istilah ini. Wadley telah mengatakan bahwa pada ssat ini orang ‘Maloh’ yng berpendidikan telah sepakat untuk mencari sebuah label etnik yang umum dan pada saat yang sama menantang etnografi barat tentang kelompok merekadan untuk menegaskan otoritas intelektual mereka pada dunia luar. Salah satu tantangan awal datang dari Jacobus Frans, seorang politisi dan pegawai pemerintahan, yang nenek moyangnya merupakan campuran Iban-maloh dan berasal dari divisi Embaloh. Ia dan pendukungnya telah mengenalkan etninim ‘Dayak’ (atau Daya) Banuaka’ yang merupakan kombinasi yang menarik tentang rujukan untuk penduduk asli non Muslim, yang biasanya diterjemahkan sebagao ‘orang pedalaman’ atau ‘orang darat’, dan bahasa Maloh ‘banuaka’ , yang berarti orang kita’ atau ‘orang dari tempat kita’ (King, 2001a: 15). Istilah ini kemudian dipakai secara luas untu merujuk kepada institusi dan kegiatan yang bersifat ‘Maloh’, namun sampai saat ini tidak dipakai sebagai etnonim. Menariknya, istilah tersebut dipersoalkan oleh akademisi lokal lainnya dari divisi Taman atau Kapuas. Thambun Anyang, dalam thesis doktoralnya di Belanda, tidak yakin bahwa istilah banuaka cukup membedakan karena ia mempersoalkan bahwa arti utamanya adalah ‘kita bersama’ dan dapat diperluas kepada orang yang bukan ‘Maloh’ (1996: 4). Sebaliknya ia memilih istilah ‘Taman’ atau ‘keluarga Taman’ sebagai label etnik yang paling cocok (ibid.: 18ff). Secara bersamaan, orang Kalis tetap menolak kedua penamaan tersebut. Perbedaan pandangan ini dilihat sebagai ekspresi perbedaan antara ketiga divisi Maloh dan ketidaksetujuan internal tentang prioritas kultural dan sejarah. Wadley mempersoalkan bahwa debat internal antar akademisi Maloh tentang label etnik yang cocok bagi mereka adalah untuk mendapatkan hasil yang menarik, tergantung pada posisi politis dan administratif dari para pemain lokal, dan pencarian label etnik yang disetujui oleh kedua antropolog dan politisi masyarakat asli boleh jadi akan sia-sia’ (2000: 96, 97-98). Apa yang kemudian terjadi adalah para antropolog akan memusatkan perhatiannya pada pengelompokan Maloh dan menggunakan istilah lokal yang cocok (Arts, 1991; Diposiswoyo, 1985; okuno, 1997) atau menggunakan istilah gabungan seperti ‘Maloh/Banuaka’ (Bernstein , 1997: 19). Apa yang ditimbulkan oleh pertentangan ini adalah masalah homogenitas budaya terhadap variasi budaya dan cara kelompok-kelompok etnis saling berhubungan dalam hubungan sosial. Dalam tulisan mengenai sekelompok masyarakat masih ada tendensi untuk mengganggap apa yang di definiskan oelh orang luar terhadap mereka lebih penting dari apa yang membagi mereka secara internal. Masalah penamaan etnik diantara orang ‘Maloh’ adalah pada perbedaan internal diantara mereka sendiri dan kenyataan bahwa kelompok etnik ‘Maloh’ tidak coterminous dengan sebuah ‘kelompok’ atau ‘kelompok sosial’, atau pun berhubungan dengan pengelompokan budaya modern. Contohnya, walaupun untuk tujuan tertentu, antropolog dan orang Maloh sendiri membedakan orang Maloh dengan orang Melayu, Iban, Punan dan lainnya, ketiga kelompok tersrbut memiliki sistem sosial yang sama dan kita tidak dapat mengerti tentang Maloh tanpa merujuk kepada hubungan sosial dalam sebuah sistem yang lebih luas. Hal ini juga menegaskan bahwa tidak semua komunitas Maloh menikmati hubungan dengan kelompok non-Maloh daripada dengan kelompok Maloh yang lain. Hal ini terjadi dalam hubungan mereka dengan orang Melayu di daerah kekuasaan mereka di hulu sungai, yang telah didirikan sejak awal abad ke 19 , karena daerah ini telah menjadi daerah penting bagi orang maloh; kita telah melihat bahwa Leach menggambarkan sebuah peran penting dalam kehidupan sosio-politik dan budaya kachin ([1954] 1970). Dalam studinya mengenai etnomedicine Taman, Bernstein megamati bahwa ‘di dalam kampung orang Taman....dukun Melayu....memainkan peran yang penting dan orang Taman telah banyak melakukan apa yang dibuat oleh orang Melayu (1997: 41, 430). Apa yang menjadi jelas adalah pada abad ke 19 banyak orang Maloh yang masuk Islam dan mengubah identitas etnik mereka dengan ‘masuk Melayu’. Para aristokrat Maloh bekerja sama dengan keluarga penguasa Melayu untuk memelihara posisi ekonomi dan politiknya dan biasanya terjadi perkawinan dan konversi ke Islam. Ada juga bukti bahwa beberapa aristorkrat Maloh keluar dari rumah panjang dengan para pengikutnya dan menempati pusat perdagangan orang Melayu. Beberapa orang Maloh juga menikahi orang Melayu dan pindah ke pemukiman Melayu yang kadang-kadang dikarenakan oleh ketidakpuasaan akan posisi sosial politik mereka dan untuk mencari kesempatan di tempat lain. Karena itu, kelompok etnik Maloh dan Melayu dapat dilihat sebagai pihak utama dalam sistem masyarakat; keduanya saling bergantung satu dengan yang lain. Hal yang sama juga terjadi antara hubungan orang maloh dengan Iban dan Punan.

Brunei

Situasi yang sama terjadi dalam hubungan antara penduduk asli non Muslim dan komunitas Melayu di Brunei. Kesultanan Brunei telah menjadi pusat penting dalam penyebaran Islam dan budaya Melayu selama 500 tahun dan merupakan pusat perdagangan internasional di abad 15 dan 16 (king, 1994). Brunei juga menjadi fokus secara polotik, ekonomi dan budaya badi daerah sekitrnya. Apa yang telah King sebut sebagai ‘masyarakat Brunei’ adalah, berbeda dengan pandangan Brown (1970, 1998), tidak sama dengan Melayu Brunei sebagai sebuah kelompok etnis karepa kesultanan Brunei mencakup dan masih mencakup atas masyarakat sosial yang plural (King, 1996a). Konsep masyarakat Brunei mesti memasukkan , tidak hanya etnis Brunei, tapi juga Muslim Kadayan dan kelompok etnis Dayak non Muslim seperti Dusun (Bisaya), Murut ( Lun Bawang/Lun Dayeh), Tutong dan Belait. Secara sejarah, sebelum pendirian negara Brunei dan Borneo Malaysia yang terpisah, masyarakat Brunei juga terbagi atas beberapa komunitas seperti Iban dan Melanau (King, 1994,1996a).

Pikiran mengenai masyarakat Brunei yang terbagi atas kelompok2 etnis , sebuah konsep ‘masyarakat’ atau stuktur sosial yang pertama kali dikembangkan oleh leach dalam hubungan studinya tentang kachin, memiliki arti untuk 4 alasan. Pertama, akar dari Melayu brunei sebagai sebuah kelompok etnik dapat dirujuk pada penduduk aboriginal penyembah berhala di daerah teluk Brunei. Mereka memiliki warisan budaya dan mitos asal yang sama. Kedua, adanya hubungan yang berlanjut dan dinamis antara Melayu Brunei dengan lainnya melalui konversi berbagai kelompok ke dalam Islam , khusunya melalui perkawinan, praktek pemberian gelar dan jabatan kepada pemimpin komunitas penyembah berhala dan memasukkan mereka kedalam sistem administrasi dan politik yang sama, dan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Ada juga proses interaksi dan asimilasi yang terjadi antara masyarakat non-Melayu, khususnya antara Kadayan dan Murut. Ketiga, adanya prinsip-prinsip sosial organisasi yang sama dan pembagian kelompok sosial , yang meliputi pangkat, kelompok etnik dan satuan lokal yang hidup bersamaan dan memerintah beberapa kelompok di daerah teluk Brunei. Bagaimanapun, masing-masing komunitas mengartika hubungan diantara mereka dengan caranya msing-masing tergantung dari keadaan mereka sendiri. Akhirnya, sistem sosial Brunei disokong oleh kecenderungan untuk mengisi fungsi-fungsi yang berbeda dalam pembagian kerja. Dalam kasus kadayan , contohnya, mereka adalah penyedia makana, khususnya beras, dalam negara Brunei dan Melayu Brunai yang menjadi pegawai pemerintahan, pedagang , pengrajin dan nelayan (King 2001a: 31). Kasus hulu Kapuas dan Brunei menunjukkan pentingnya pusat perdagangan, ritual dan pemerintahan Melayu sebagai titik simpul yang melingkupi sistem sosial dan hal ini bukan berasal dari orang luar , melainkan diturunkan dari transformasi komunitas non Melayu.

Etnisitas, ‘negara budaya’ Indonesia dan Kolonialisme Belanda

Kita sekarang ingin membahas isu pembentukan identitas masyarakat minoritas dengan mempelajari kasus dari Indonesia yang mengadopsi perpektif postmodern. Kita mulai dengan studi Pemberton tentang nasionalisme Indonesia dibawah Presiden Suharto dan dasarnya dalam sebuah identitas Jawa yang ditempa sejak zaman kolonial Belanda (1994). Kita kemudia pindah ke sebuah pertimbangan tentang cara-cara yang diciptakan oleh masyarakat minoritas ciptakan dan bagaimana mereka merespon ke marginalan mereka dalam negara Indonesia modern dengan merujuk pada 2 studi kasus : studi T’sing tentang Dayak Meratus di Tenggara Kalimantan (1993) dan penelitian Spyer tentang orang Aru di Maluku (2000). Tema penciptaan dan transformasi identitas dilakukan dalam arah yang sedikit berbeda dengan pertimbangan pembangunan pariwisata yang berhubungan dengan identitas dan budaya orang Bali dan Tana Toraja di Sulawesi. Kita akhiri dengan analisis Kahn tentang ‘keadaan’ identitas orang Minangkabau dalam konteks hukum kolonial Belanda (1993). Kahn menunjukkan bagaimana pemerintahan kolonial Belanda berperan dalam penciptaan gambaran dan identitas masyarakat didaerah jajahannya dan hubungannya dengan studi ‘turisifikasi’ budaya bali , yang dimulai selama masa penjajahan , dan dengan studi Pemberton tentang masyarakat Jawa.

Mengenai ‘Jawa’

Analisi post modern Pemberton tentang budaya Indonesia yang didominasi Jawa membuka bagaimana elit politik di Indonesia memakai konsep ‘nilai tradisional’ , ‘ritual’ dan ‘warisan budaya’ untuk memelihara kendali dan pemerintahan terpusat dinegara ini (1994). Hal ini mengatakan kepada kita tentang cara penciptaan dan transformasi identitas masyarakat Jawa, tetapi yang lebih penting lagi adalah hal tersebut mengatur keadaan untuk studi kasus kita dengan mempertimbangkan praktek-praktek dan ideologi para pemimpin di Jakarta. Perlakuan negara sangat memperngaruhi seluruh wilayah dan identitas masyarakat minoritas seperti Dayak Meratus melalui sistem pendidikan nasional, penggunaan bahasa Indonesia, penyiaran simbol-simbol kenegaraan di radio , tv dan media cetak,pengenalan tentang program pembangunan regional dan lokal, termasuk pembangunan pariwisata, dan intervensi dalam politik dan administrasi lokal. Pemimpin politik Indonesia dibentuk berdasarkan aturan warisan Belanda dalam mendefinisikan dan mengklasifikasikan kelompok etnik dan penggambaran orang Eropa tentang budaya tradisional. Pemberton sebenarnya datang untuk memperlajari tentang musik Gamelan di Indonesia tahun 1971 dan 1975 – 1977, namun ketertarikannya dengan budaya meningkat dan kembali ke Jawa Tengah untuk penelitian lanjutan di tahun 1982 – 1984, yang berfokus pada hubungan antara sejarah , politik dan budaya di kesultanan Surakarta (Solo) (ibid.: ix-xi). Perjalanannya ke Jawa bertepatan dengan pemilu Indonesia yang ke 3 di tahun 1982. Selain mempelajari tentang politik budaya Orde Baru, Pemberton juga meneliti lebih dalam melalui manuskrip Jawa dan arsip tulisan Belanda tentang penciptaan budaya di Jawa Tengah khususnya Surakarta dan ‘pemusatan perkembangan ritual dalam budaya Jawa (ibid.: 1). Apa yang sebenarya diteliti adalah fakta bahwa sampai jatuhnya rezim Suharto, Orde Baru secara umum tidak terganggu oleh protes dan perlawanan. Kerusuhan sosial jarang terjadi, khusunya di jawa dan apabila terjadi, dengan cepat hal itu dapat diatasi. Politik, termasuk penyelenggaran pemilu, berada dalam efek depolitisasi di Indonesia dan dinyatakan secara umum dalam bidang budaya dan ritual. Pemberton mencatat bahwa pemerintahan Suharto yang merupakan pemilik dari Golkar, selalu memenangkan pemilu sejak tahun 1982, sebuah ‘pesta demokrasi’, sebuah ritual nasional yang besar. Walaupun rezim otoriter Suharto menggunakan kekuatan penuh untuk memelihara kekuasaannya, rezim tersebut menunjukkan jatidirnya dalam bentuk lain. Dan inilah yang dinamakan penciptaan citra, representasi kultural dan pembentukan ideologi yang Pemberton teliti. Pemberton mempersoalkan bahwa budaya di Indonesia digunakan untuk mengangkat kepentingan politik dan kelas dan untuk menyatakan karakter esensial dan konsekwensi dari kepemimpinan Orde Baru; stabilitas sosial dan negara yang kuat yang dinyatakan dengan merujuk pada ‘nilai tradisional’, ‘warisan budaya’ dan ‘riutal’, sehingga even politik seerti pemilu dijadikan sebagai ritual dan upacara belaka. Pemberton juga menempatkan asal dari budaya tradisional Indonesia yang berfokus pada norma sosial khususnya di jawa, karena itulah orang jawa sangat dominan dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Ekspresi budaya ini mencakup tidak hanya pada jabatan-jabatan ofisial di pemerintah pusat, tapi juga pada berbagai even pada tingkatan kampung dimana pemerintah mendukung, menjaga, dan memperkenalkan hal tersebut sebagai ‘tradisi’. Satu contoh ritual tingkat lokal, dimana Geertz menuliskannya dalam The Religion of Jawa, adalah slametan, sebuah acara komunal yang berhubungan dengan perkawinan, yang seperti Geertz katakan, mengekspresikan dan mempekuat aturan budaya umum dan kekuasaannya untuk melawat kekuatan lain (1960: 14). Pemberton merujuk pada ‘pencarian rasa ketidaksempurnaan’ dalam proses memperbaiki budaya karena pada masa Orde Baru , hal tersebut dinyatakan dalam istilah yang umum (Pemberton, 994, 10-11). Ketidaksempurnaan ini menuntut perhatian untuk mengulangi ritual serta doa yang ditujukan untuk melaksanakan tradisi. Mengenai Orde Baru, selain mewakili rasa persatuan budaya yang berfokus di Jawa, juga mengakui keanekaragaman yang tidak hanya diantara masyarakat jawa tetapi juga bagi keseluruhan rakyat Indonesia. Dalam hubungan ini, Pemberton mencurahkan perhatian pada sebuah taman, yaitu ‘Taman Mini’, yang dibangun di Jakarta. Ide Taman Mini Indonesia Indah datang dari Ibu Negara, Ibu Tien Suharto, setelah mengunjungi Disneyland sebelum pemilu 1971 (ibid.: 12). Taman tersebut dibuka pada tahun 1975 dan dirancang, seperti namanya, sebagai miniatur dari Indonesia. Selain sebagai tempat rekreasi dan liburan , ada sebuah danau dengan pulau-pulau kecil buatan yang menggambarkan kepulauan Nusantara, beberapa monumen kuno yang menggambarkan kejayaan Indonesia dimasa lalu, dan sebuah arena dengan 26 rumah pameran yang dirancang mewakili setiap model arsitektur rumah-rumah tradisional dari 26 propinsi di Indonesia (ibid.: 152-161). Penting untuk dicatat bahwa yang tergambarkan pada taman tersebut adalah budaya daerah dan bukan budaya dari sebuah kelompok etnis, dan, seperti yang akan kita lihat dalam pembahasan mengenai Bali, negara Indonesia mendefinisikan budaya dalam bentuk jelas, elemen yan terstandarisasi seperti artefak, kostum, tarian , musik dan upacara. Pusat dari taman tersebut adalah sebuah pendopo bergaya jawa Tengah , bukan miniatur, melainkan lebih besar daru pada ukuran aslinya, dimana upacara tradisional dilaksanakan. Seperti yang Pemberton katakan, Taman Mini Jawa centris ini, dekat dengan ibukota negara, menghancurkan masa lalu dan sekarang dari keanekaragaman rakyat Indonesia menjadi sebuah ruang budaya yang terorganisir , terkendali, dan teratur. Untuk membahas tentang asal budaya Jawa di Indonesia, Pemberton kembali pada pembangunan istana Surakarta, yang menarik perhatian kita kembali pada peran VOC dalam pembentukan kerajaan Jawa ditahun 1745. Apa yang ia tunjukkan adalah, dalam usahanya untuk menjauh dari kekuasaan asing, bangsawan Surakarta, hadir, dan menciptakan sebuah ‘gaya Jawa’, yang pada abad ke 19 dlihat sebagai identitas budaya Jawa. Dalam kisah tentang Surakarta , dalam literatur dan budayanya seperti perkawinan, memunculkan identitas Jawa yang berbeda yang berbeda seperti pada masa sebelum penjajahan (ibid.: 22023). Ide tentang budaya Jawa ini dinilai sebagai sesuatu yang otentik, asli dan tradisional oleh para akademisi Belanda yang belajar tentang ‘Javanologie’ ,melalui Java Institute, yang didirikan di Surakarta tahun 1919, serta oleh jurnal institut, Djawa, yang diterbitkan antara 1921 dan 1941. Adalah identitas dan keaslian dari budaya Jawa inilah yang menjadi dasar bagi Orde baru untuk hadir sebagai Jawa yang otentik, dan sebagai inti dari identitas nasional indonesia. Namun, ini adalah sebuah identitas yang diciptakan oleh para penulis kisah dalam konteks sebuah kerajaan yang menjadi daerah kekuasaan Belanda, tanpa kekuatan politik yang sebenarnya dari 1830, namun telah mempertahankan bentuk-bentuk seremonial, pakaian, status dan etika dalam sebuah budaya yang teratur (ibid.: 28-147). Menariknya, di Malaysia, proses yang sama juga terjadi; Kessler mencatat bahwa budaya Malaysia saat ini di dasarkan pada pemerintahan tradisional Melayu, dalam hubungannya antara Raja dan rakyat, dan hal ini berasal dari model tradisional dan sejarah kesultanan Malaka. Tak dapat dipungkiri, seperti yang kita telah lihat, bahwa budaya adalah sesuatu yang dapat di rundingkan, tidak bersifat tetap dan homogen. Pembentukan tanah impian Orde baru (Pemberton, 1994: 318) dalam proses penciptaan dan penyebaran identitas nasional, dan pelaksanaan kendali atas rakyat , telah memiliki konsekwensi terhadap masyarakat minoritas di luar Jawa. Kita akan mambahas berbagai cara yang mereka lakukan dalam merespon masuknya agen-agen negara – sebuah proses yang dilakukan Belanda saat zaman penjajahan – dan identitas yang diciptakan dalam proses tersebut, baik oleh negara maupun oleh masyarakat minoritas tersebut. Seperti yang Kahn katakan ‘Sangat sedikit analis yang mengakui bahwa ke Indonesiaan adalah identitas yang diciptakan , begitu pula dengan etnisitas pada tingkaan yang lebih rendah seperti ke-Balian, ke Jawaan, Minangkabau dan lainnya’ 91998: 13).

Masyarakat yang terpinggirkan: Dayak Meratus dan Bemun Aru

Kedua studi kasus berikut menunjukkan respon masyarakat pulau terluar terhadap perlakuan negara Indonesia dibawah kepemimpinan Suharto, dan cara –cara penciptaan dan pengekspresian identitas dalam hubungannya dengan kampanye persatuan dan pembangunan nasional dalam memelihara kontrol sosial. Penelitian Anna T’sing yang dilaksanakan antara 1979 dan 1981 serta 1986 memfokuskan pada masyarakat Dayak di Gunung Meratus , Tenggara pulau Kalimantan dan penciptaan maerginalitas secara kultur dan politis’ (1993: 5). Bukan hanya tentang bagaimana orang Dayak Meratus terpinggirkan oleh kekuasaan negara dan persepsi serta perbuatan yang dilakukan oleh suku mayoritas seperti Melayu Banjar terhadap mereka, tetapi juga bagaimana mereka sendiri menanggapi identitas marginal mereka melalui potes, tantangan , negosiasi dan penjelasan status mereka melalui cerita, lagu, dan narasi . Tsing juga mempelajari perbedaan perspektif kaum lelaki dan wanita mereka tentang marginalitas, dimana secara umum bahwa ‘wanita adalah aktor politik yang tidak berguna’ (ibid.: 8). Ia merekam percakapan dengan seorang informan wanita, Uma Adang. Perspektif postkolonial dan post modern Tsing melibatkannya dalam sebuah analisis tentang ‘pembahasan marginalitas, institusi, dan pengalaman tentang dominasi dan perbedaan dan perhatian terhadap perbedaan antara peradaban, modernitas, kemajuan, hukum dan kekuasaan pada suatu pihak dan keprimitifan, tradisional, keterbelakangan, nomadik, ketidakberaturan di phika yang lain (ibid.: 5-6). Ia meneliti tentang keterbatasan dan kelemahan kekuasaan negara dan batasannya. Menariknya, seperti pada kasus orang ‘Maloh’, komunitas orang Meratus tidak dengan mudah dilabelkan.Deangn pertolongan seorang mahasiswa lokal, Tsing memutuskan istilah ‘Meratus’ untuk menggambarkan apa yang ia pelajari; ini bukanlah istilah yang digunakan oleh orang mereka sendiri, tetapi diciptakan oleh seorang antropolog. Ia melakukan ini karena tidak adanya sebuah penamaan yang otentik secara internal. Sedangkan istilah lain dianggap peyoratif dan bersifat menghina.; orang banjar menyebut mereka dengan istilah ‘Bukit’, yang telah digunakan dalam literatur etnografik, tetapi dengan konotasinya yang berarti ‘orang gunung’ membuat istilah tersebut tidak diterima secara lokal. Tsing kemudian memutuskan menyebutnya Dayak Meratus, karena, merujuk pada masyarakat Dayak di daerah pegunungan Meratus, dan bagi mahasiswa nya kata tersebut berakar dari kata ‘ratus’ ; itu adalah sebuah penamaan anti-etnik....untuk sebuah kelompok masyarakat yang sangat berbeda dengan orang lainnya(ibid.: 52). Hal tersebut menunjukkan bahwa marginalisasi telah menimbulkan keanekaragaman lokal, penolakan, mobilitas dan bahkan isolasi sejauh mungkin dan bukan seperti orang Kachin, Kajang atau Semai yang bersatu untuk mengahdapi kelompok mayoritas yang lebih dominan. Orang Meratus kemudian bergeser menjadi peladang dan perambah hutan dan unit sosial utamanya adalah umbun, atau kelompok yang bertani bersama-sama, dimana mereka bangga akan ke-otonomi-annya’ (ibid.: 64). Tsing mengatakan bahwa orang Meratus mengahargai nilai ke-otonomi-an mereka untuk berpindah dan berladang dimana mereka mau dan untuk membentuk perbedaan, pergeseran identitas dan afiliasi dalam hubungan dengan mobilitas (ibid.: 63). Ia tidak menemukan komunitas ‘kampung’ yang secara jelas terdefinisi untuk dipelajari dan menemukan bahwa adalah baik untuk berpergian keseluruh wilayah, tinggal ditempat berbeda dalam kelompok umbun. Dalam hubungannya , ia kemudian mengetahui hubungan orang Meratus sebagai percabangan , pergeseran dan pembentukan kembali, dan budaya mereka tidak tetap dan stabil tetapi sebagai sesuatu yang variabel, dan terbuka. Perbedaan kategorikal utama adalah antara orang Melayu Banjar dan orang Meratus dan dengan memberikan mereka sebuah penamaan etnik secara umum. Tsing melakukan pemisahaan identitas Dayak Meratus dengan yang lain. Hal ini tidak terlalu sulit, seperti contoh, orang Banjar menyetujui hal ini berdasarkan perbedaan ras dan budaya, sedangkan orang Meratus menyangkal apa yang dikemukakan orang Banjar dan banyak yang mengatakan bahwa keduanya berbahasa yang sama , yaitu bahasa Banjar (ibid.: 53). Adalah aturan negara,baik kolonial maupun pasca kolonial, yang cenderung untuk membagi satu dengan yang lainnya dan membuat orang Meratus sebagai kelompok terposah dan terpinggirkan (ibid.: 41ff). Bagaimanapun, walau negara dan pemerintah menjadi dominan dan otoriter terhadap mereka, keduanya saling berhubungan dengan baik (ibid.: 22-26), dan tsing menunjukkan bagaimana orang Meratus memahami, berbicara dan mewakili kekuasaan negara dalam bentuk kekerasan, terorisme, proyek seremonial dalam bentuk pembangunan dan pengambilalihan. Hal yang sama dilakukan oleh Patricia Spyer dalam studinya tentang orang Aru bemun di pulau Barakai di Tenggara Maluku, sebuah komunitas pencari mutiara laut dan pengumpul hasil laut yang telah terlibat sejak lama dalam perdagangan lintas laut internasional (2000). Ia melaksanakan penelitiannya disana di tahun 1984, 1986-1988 dan 1994. Bagaimana pun, disini kita tidak berhadapan dengan komunitas Dayak yang terisolasi, namun dengan masyarakat maritim. Spyer mempelajari pembentukan identitas dan hubungan masyarakat Bemun dengan dua kelopon ‘Aru’ dan ‘Melayu’ dan juga keterlibatan mereka dengan modernitas dan dunia diluar Aru. Bagi masyarakat Bemun, seperti orang Dayak Meratus, mereka berada dalam kekuasaan kolonial Belanda dan kemudian negara Indonesia merdeka yang juga termarginalkan dalam sistem ekonomi dan politik yang lebih luas. Mereka menjadi subyek dan terlibat dalam kekuasaan. Bagi orang Benum, ekpresi hubungan problematikal mereka dengan modernitas dan negara dan konseptualisasi hubungan antara disini dan disana, antara lokal dan yang jauh, dan antara komunitas dan dunia luar adalah dalam istilah ‘harapan’ , ‘keinginan. Secara spesifik mereka bertanya kepada Spyer mengenai kehilangan akan sanak saudara di laut dan keinginan mereka untuk membangun kembali hubungan dengan keturunan mereka. Konsekuensi dari keterlibatan ini adalah, persepsi bahwa dunia dalam hal tertentu berada di tempat yang lain, bukan hanya sekedar diseberang lautan (ibid.L 4).

Pariwisata dan Etnisitas : Orang Bali dan Toraja

Pembangunan pariwisata etnis dan budaya di Asia Tenggra memiliki konsekuensi dimana masyarakat yang menjadi objek pariwisata menilai diri mereka dan orang lain, dan bagaimana mereka merespon program pembangunan nasional dan pembentukan identitas. Selama dua dekade yang lalu, studi antropologi tentang pembangunan pariwisata dan hubungannnya dengan budaya dan masyarakat telah menghasilkan posisi penting dalam bidang ini. Adalah tulisan Valene Smith berjudul Host and Guest: The Anthropology of Tourism (1977), yang diterbitkan dalam sebuah edisi revisi (1989), yang merangsang minat akan efek pariwisata pada budaya da identitas lokal. Tulisan tersebut juga berisi artikel yang ditulis oleh Philip McKean tentang Hindu Bali dan Eric Crystal tentang Tana Toraja di Sulawesi tengah. McKean, mempersoalkan tenatng pesimistis awal yang memandang bahwa pariwisata massal menhancurkan budaya tradisional; lebih spesifik ia meragukan pernyataan bahwa pertunjukkan budaya dan cinderamata yang dihasilkan bagi pasar pariwisata Indonesia telah kehilangan makna dan artinya. McKean, menyatakan bahwa pariwisata di Bali, jauh dari merendahkan budaya Bali, dan mengarahkannya pada revitalisasi (1976, 1989). McKean menunjukkan bahwa orang Bali memisahkan produk budaya untuk pariwisata dari budaya nya yang asli. McKean juga menunjukkan bahwa pariwisata juga memberikan pendapatan bagi masyarakat Bali, dimana pendapatan tersebut diinvestasikan kembali dalam bidang pelatihan musik dan tarian dan pembuatan kerajinan tangan. Minat wisatawan akan budaya mereka memberikan rasa kebanggaan pada para seniman Bali dan menolong masyarakat Bali untuk memperkuat identitas nya dalam kontek negara Indonesia. Thesis yang sama disampaikan oleh Crystal dalam analisanya tentang sebuah elemen utama dari indentitas orang Toraja, Aluk To Dolo, atau upacara leluhur, yang termasuk dalam ritual penguburan (1989). Diawal tahun 1970an, pemerintah Indonesia berencana untuk menjajaki kemungkinan menarik minat para wisatawan pada budaya Toraja dan membentuk pandangan untuk menjadikannya sebagai Bali yang lain; upacaa penguburan dianggap sebagai atraksi utama yang sangat potensial, dengan patung orang mati yang dipajang dibukit batu, arsitektur rumah yang khusus dan pemandangan perbukitan yang indah (Volkman, 1984, 1990; Adams, 1997: 159). Infrastruktur transportasi dan fasilitas pariwisata lainnya seperti hotel dan guest-house dibangun dan kunjungan wisata meningkat dengan pesat, sehingga pariwisata Toraja yang sebelumnya hanya sekedar wisata etnis berubah menjadi wisata massal dalam beberapa tahun. Sampai pada perkembangan pariwisata, Crystal menganggap bahwa buadaya Toraja kelihatannya akan hilang karena tekanan dari aktifitas misionaris Kristen, penyebaran pendidikan modern dan promosi identitas nasional Indonesia. Bagaimanapun,mengikuti dukungan pemnerintah terhadap kepercayaan orang Toraja sebagai pusat perhatian wisata, pemimpin-pemimpin Toraja memiliki etika wisata. Crystal mengatakan bahwa upacara kematian ditetapkan kembali dalam perencanaan ekonomi regional dan prioritas negara (1989; 148), dan dengan kekuatan dari ritual yang eksotik ini, Toraja mendapa status sebagai primadona wisata dan mendapat tampat yang baik dalam hirarki kelompok etnik di Indonesia (Adams, 1997: 159). Seperti penelitian McKean terhadap budaya Bali,Crystal menidenifikasi efek positif dari pembangunan pariwisata dalam memberikan insentif bagi masyarakat Toraja untuk memelihara dan memperbaharui ritual dan tradisi artistik mereka, dan untuk menunjukan identitas mereka yang, memberikan kontribusi pada pembangunan nasional Indonesia dan menekankan sifat-sifat ke-Torajaan dalam negara Indonesia. Selama tahun 1980an, pariwisata di Tana Toraja telah menjadi sebuah fenomena internasional’ (Crystal, 1989: 161). Walaupun jumlah kunjungan wisatawan asing meningkat, mayoritas wisatawan yang datang ke Tana Toraja adalah orang Indonesia yang berasal dari kelompok etnis lain dan perhatian yang diberkan oleh orang Indonesia sendiri telah menambah antagonisme etnic yang telah berlangsung lama’, khususnya antara masyarakat dataran tinggi dan dataran rendah seperti Bugis dan Makasar yang hidup ditengah bayang-bayang keterkenalan budaya Toraja (Adams, 1997: 174). Selain dari pengaruh positif dari budaya dan identitas Toraja, Crystal juga menunjukkan konsekwensi negatif dari meningkatnya jumlah wisatawan dengan cepat: hilangnya benda-benda pusaka dan artefak yang dicuri dan dijual ke pasar ‘barang antik’ internasional, potensial akan hilangnya integritas budaya sebagai sebuah upacara belaka dan terpisah dari arti yang sebenarnya. Perhatian akan efek positif dan negatif dari pembangunan wisata pada budaya dan identitas lokal telah membawa ke sebuah usaha untuk mengevaluasi kembali pemikiran dari sebuah budaya. Penelitian Rober Wood (1984,1993) dan michel Picard (1990,1993,1996) telah menjadi sangat penting dalam hal ini. Meningkatnya kepentingan pemerintah dalam memperkenalkan rasa kebangsaan dan identitas nasional serta medorong kegiatan budaya lokal untuk pariwisata dalam meningkatkan pembangunan nasional, telah dibahas dalam studi tentang hubungan antaa pariwisata, etnisitas dan negara (Picard dan Wood, 1997). Wood telah mengatakan dalam hubungannnya dengan masyarakat Asia dan pasifik pada tulisannya bersama dengan picard di tahun 1997 bahwa ‘negara memainkan peran utama tidak hanya dalam mendatangkan wisatawan tapi juga dalam membentuk dan mengendalikan bentuk-bentuk yang terlihat dari etnisitas’ (ibid.: 5). Negara dapat, mendukung secar resmi penandaan budaya dan penamaan etnis lokal dan melarang pihak lain dalam hubungannya dengan pembangunan dan pengenalan identitas nasionla. Dalam hal ini Wood merujuk pada domestikasi etnisitas dibeberapa tempat seperti Singapura dimana penduduk lokal mendefinisikan identitas dirinya dalam istilah sub kelompok Cina seperti Hokkien atau Kantones dan India seperti Tamil atau Sikh tetapi pemerintah Singapura dan industri wisata membagi seluruh raykat Singapura kedalam 4 etnis utama :Cina , India , Melayu dan lainnya (ibid.: 12). Dengan kata lain, secara resmi identitas diri ditiadakan, ras dilihat sebagai sesuatu yang unik, terpisah dan terikat dan individual ditekan untuk mengidentifikasikan diri kedalam suatu kelompok etnis, untuk mencari akar etnisitas mereka sndiri, dan untuk berbuat sesuai dengan stereotip resmi tentang tradisi budaya mereka’ (Leong, 1997.: 94). Seperti yang kita telah lihat, asumsi bahwa etnisitas , dan tentu saja perangkat budaya yang menunjukkan identitas etnis , adalah promordial, tetap dan melekat, telah dipertanyakan , dan dalam antropologi wisata, Wood telah mempersoalkan bahwa apa yang kita sebut ‘budaya tradisional’ adalah pokok persoalan untuk reformulasi yang berlanjut dan pembentukan simbol’ (1993:60); dengan kata lain, budaya secara konstant dan simbolis di ciptakan kembali dalam interaksi antara kelompok etnis yang berbeda dan menjadi meningkat dalam hubungannya dengan aturan negara. Hal ini juga berlaku pada ide tentang ke otentikan budaya dengan merujuka pada pengalaman wisatawan bahwa masalah utamanya adalah untuk memahami proses dimana elemen-elemen budaya tertentu di tunjuk dan mendapatkan keotentikan. Cohen mengatakan bahwa ke-otentik-an ‘budaya tradisional’ dan ‘identitas etnis’ bukanlah tetap dan dapat dinegosiasikan, dan ini membantu untuk menjelaskan mengapa sebuah produk budaya, yang pada suatu waktu dinyatakan tidak otentik dapat menjadi otentik pada suatu waktu (1988: 379). Masyarakat Bali, melalui penelitian Michel Picard, memberikan sebuah contoh terbaik tentang sebuah masyarakat yang secara dinamis mengubah identitas budaya mereka dalam konteks pembangunan pariwisata (1996,1997). Picard, seperti yang Wood katakan, menunjukkan pertentangan antara pihak yang mempersoalkan bahwa pariwisata merendahkan dan merusakkan budaya lokal dan pihak yang tetap melestarikan dan mempromosikannya; ia juga meneliti apa yang dikemukakan McKean bahwa orang bali dapat membangun batasan antara budaya yang sakral dan duniawi (budaya untuk pariwisata). Picard mengatakan bahwa pengamat-pengamat ini telah menanyakan pertanyaan yang salah (1996;8). Bukanlah ya atau tidaknya kebudayaan Bali dapat bertahan terhadap masuknya pariwisata, namun bagaimana budaya bali tersebut telah dibentuk dan diubah dari dalam oleh pariwisata . Picard menunjukkan bahwa istilah ‘budaya turistik’ dalam risetnya adalah untuk menjelaskan bahwa pariwisata bukanlah kekuatan luar untuk mengubah budaya Bali, namun sebuah proses perubahan masyarakat Bali dari dalam , dan bahwa masyarakat Bali telah secara aktif terlibat dalam mengubah budaya mereka sendiri dan kesadara etnis dalam merespon peluang wisata. Tak dapat dipungkiri, proses ‘turifikasi’ budaya Bali ini , mengaburkan batasan antara luar dan dalam,...antara yang memiliki budaya dan yang tetap pada ‘pariwisata’” (1997: 183), telah dilakukan oleh administrator kolonial Belanda yang menanggap Bali sebagai museum hidup, yang merupakan peninggalan peradaban Hindu-Jawa yang masih bertahan (ibid.: 285; dan Schulte Nordholt, 1999). Seharusnya dicatat bahwa Belanda telah menyelesaikan ‘pasifikasi’ Bali, dimana sering digambarkan sebagai daerah liar, pemberontak dan penuh peperangan, di tahun 1908 ‘setelah dengan perjuangan yang panjang dan berdarah’ (Vickers, 1989: 2, 11-36). Setelah ‘dijinakkan’ oleh Belanda, citra Bali sebegai daerah yang ‘liar’ tidak lagi sesuai dan Belanda kemudian melindungi, dan memelihara Belanda mendefinisikan identitas masyarakat Bali dan integritas budayanya dalam bentuk Hinduisme, dan perlawanannya terhadap Islam; mereka juga cenderung untuk menekankan pentingnya hirarki kasta dan kerajaan Hindu (Boon 1977: 41-46, 68, 70). Aturan perlindungan budaya yang dikenal sebagai Balinisasi Bali (Baliseering) dan ditujukan untuk memperkenalkan kebangkitan budaya Bali dan untuk meyakinkan masyarakat Bali untuk tetap ‘menjadi orang Bali asli’ (Picard, 1997: 186). Kontek politik dari aturan ini adalah bahwa Belanda ingin untuk memperbaiki citranya setelah ‘menaklukan Bali dengan keji’ dan untuk memerangi penyeebaran radikalisme Islam dan nasionalisme Indonesia dengan mendukung kaum bangsawan Bali dan memperkuat pemerintahan administratif tradisional (Vickers, 1989: 3; Picard, 1997: 186). Tak dapat dipungkiri, adalah Belanda dan bukan para bangsawan Bali yang memegang kekuasaan, dan dalam proses memelihara kebudayaan dan masyarakat Bali dalam bentuk yang tetap dan tanpa batasa waktu, mereka mengubahnya, mengorganisir administrasi kampung, menyusun hukum adat, menciptakan para inteligensia Bali yang berpendidikan Belanda, dan menekankan pada aspek-aspek khusus pada budaya Bali. Mereka melarang perbudakan dan pengorbanan kaum janda, melarang kegiatan seperti sabung ayam, penggunaan opium, dan mengubah struktur organisasi pemerintahan (Vickers, 1989: 92). Dengan kata lain, ‘Belanda mengatur kerangka kerja dimana masyarakat Bali dapat mendefinisikan dirinya’ (Picard, 1997: 186), dan mereka juga mulai membuka pulau tersebut untuk pariwisata sejak 1920 dan 1930 an. Bali kemudian dipromosikan dalam brosur-brosur wisata dan buku perjalanan asbagai pulau yang ‘eksotik,erotik, permata kepulauan Sunda, Surga yang terakhir, pulau yang mempesona, Pulau para seminan, Pulau bertelanjang dada’ (Picard, 1996: 23, 27-32; Vickers, 1989: 77-130). Para antropolog seperti Margaret mead, gregory Bateson, dan Jane Belo, dan artis, aestetis dan penulis luar seperti Gregor Krause, Walter Sipes, Beryl de Zoee, Colin McPhee, Vicki Baum dan Miguel Covarrubias yang mengunjungi Bali di tahun 1920an dan 1930an juga memberikan kontribusi pada eksotisme dalam deskripsi mereka tentang pulau ‘para dewa dan setan’ ini (Picard, 1996: 32-33). Gambaran ini juga diakarkan dalam gambaran tentang petani yang hidup didesa dan mewujudkan esensi dari budaya masyarakat Bali (Vickers, 1989: 89-91, 107,110,117). Seperti yang Picard katakan, Bali digambarkan sebagai : Sebagai tanah dari budaya tradisional yang tertutup dari dunia modern dan perubahannya, yang memiliki , dan dikarunai dengan talenta-talenta seni yang luar biasa, yang memberikan waktu dan harta bendanya untuk menyelenggarakan berbagai upacara bagi kesejahteraan dan dewanya – dan saat ini , untuk hiburan para turis. Diakhir masa penjajahan masyarakat Bali yang berpendidikan juga mulai untuk mengkontemplasikan apa yang disebut sebagai ‘ke-Balian’ dan datang dengan istilah dan pemahaman mengenai perubahan yang mempengaruhi budaya Bali. Sekolah dan yayasan keagamaan untuk studi tentang budaya Bali didirikan dan berperan sebagai forum debat dan diskusi mengenai sifat-sifat agama dan masyarakat bali. Menariknya, hal ini ditulis bukan dalam bahasa Bali tetapi bahasa melayu, yang merupakan dasar dari bentuk bahasa Indonesia (1997; 187). Pada waktu ini ada dugaan mengenai masyarakat Bali, sekelompok etnis yang lain, yang didefinisikan dalam istilah agama dan adat; kedua elemen ini dinyatakan terpisah oleh masyarakat Bali degan bahasa melayu sebagai agama dan adat. Apa yang sebelumnya terjadi adalah sebuah pulau dengan variasai budaya , dengan Hinduisme yang termodifikai, agama lokal yag berdasarkan nenek moyang, yang dipadukan dengan hubunagn sosial dan adat istiadat, menjadi sebuah identitas ke-pualuan yang berfokus pada Hinduisme sebagai adalam dunia (terhadap Islam dan Kristen), dan meliputi lingkungan kepercayaan dan tindakan yang dinyatakan dalam tradisi artistik (ibid.: 187-192). Diatas semuanya itu, masyarakat bali , khususnya pada tingkatan elit, memiliki susunannya sendiri dan menggunakan nya untuk tujuan nya msing-masing; mereka menerima bahwa budaya mereka adalah aset yang harus di hargai dan dilestarikan. Identitas Bali kemudian diubah sejak kemerdekaan Indonesia. Pendiri negara Indonesia membentuk sebuah ideologi dan identitas nasional yang berdasarkan pada ‘peradaban tinggi’ negara ini khusunya pada masyarakat jawa (imigran Cina dan etnis minoritas tak termasuk). Semboyan negara ‘Bhinneka Tunggal Ika’ didasarkan pada gagasan tentang bentuk budaya kesukuan Indonesia secara keseluruhan, identitas bangsa Indonesia berdasarkan atas kesamaan adat istiadat dan juga penggunaan bahasa yag sama (bahasa Indonesia), persamaan sejarah dan persamaan daerha. Pemikiran akan kesamaan konsep dari komunitas sosail, , ketergantungan antar komunitas, kewajiban dan tanggung jawab yang saling menguntungkan, pengambilan keputusan dengan musyawarah dan mufakat di tekankan (Hitchook dan King, 1997: 8-9). Untuk mengkonsolidasikan rasa kesadaran akan keterlibatan seluruh kelompok etnik di Indonesia, elit politik juga memformulasikan sebuah dasar negara pancasila yang menekankan bahwa kelahiran negara Indonesia melalui perjuangan kemerdekaan dari Belanda dan terinspirasi dari filosofi politik Eropa. Hal ini menjadi batu penjuru yang sakral bagi persatuan bangsa indonesia , dan tergabung dalam 5 sila yang mencakup (Ketuhanan YME, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia , Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dan permusyawaratan perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) (Holtzappel, 1997). Lalu, ke-etnisan Indonesia adalah bentuk politis pasca perang yang melebur bersama dengan berbagai elemen dari prinsip dan tradisi yang berasal dari filosofi politik Eropa. Dengan memperhatikan definisi etnisitas dalam artian agama, negara sekuler Indonesia dengan prinisip kebangsaan nya yang ‘percaya kepada Tuhan YME’, mengakui dan melindungi agama ‘asli’. Agama Bali tidak termasuk dan secara resmi hanya memiliki status sebagai agama ‘adat’ karena berdasar pada adat istiadat. Setelah lobi yang panjang yang dilakukan oleh masyarakat Bali dan formalisasi dan penyusunan kembali, agama Hindu Bali , diberikan pengakuan sebagai agama ‘yang sebenarnya’ di tahun 1958. Pada saa itu disebut sebagai ‘Agama Hindu Bali’, namun saat pengakuan resmi diberikan pada tahun 965, agama Bali disah kan sebagai agama Hindu (Picard 1997: 194-195). Hal ini menyebabkan perpisahan antara agama Bali dari adat istiadatnya, dan meningkatnya unsur-unsur Hinduisme dalam mendefinisikan masyarakat Bali, walaupun Picard menyatakan bahwa agama resmi ini tidak terlalu memiliki kemiripan dengan praktek keagamaan sehari-hari (ibid.: 195). Sebagai tambahan terhadap perubahan identitas dan budaya etnik maysrakat Bali dari tahun 1920an, perubahan penting telah berada dalam konteks meningkanya kunjungan wisata di Bali sejak tahun 1970an. Dan berasal dari dibukanya Indonesian terhadap investasi asing dan tekanan akan pembangunan ekonomi oleh Presiden Suharto setelah berakhirnya pemerintahan presiden Sukarno tahun 1965. Rancangan PembangunanPariwisata Bali telah diterbitkan dalam 6 volume di tahun 1971 sebagai bagian dari tujuan negara Indonesia untuk memformulasikan aturan tentang pariwisata nasional dan mengamankan posisi pada pasar pariwisata internasional (Picard, 1996: 45ff). Pariwisata merupakan bagian dari agenda politik Orde Baru untuk mempromosikan persatuan nasional dan untuk membangun kembali posisi Indonesia dan meningkatkan kembali citra Indonesia di dunia untuk menarik investasi asing (Adams, 1997: 156ff). Bali adalah ‘contoh nyata’dan promosi wisata budaya berperan sebagai model untuk pembangunan pariwisata nusantara di masa depan’ (Picard, 1993: 79). Kenyataannya ekspansi pariwisata tidak selalu pada jalannya sampai akhir 1980an saat pemerintah Indonesia mengendorkan aturan penerbangan nasional dan membuka bandar udara Denpasar bagi airline asing, yang didukung di tahun 1990an oleh kampanye promosi pemerintah, yang ditargetkan khususnya untuk menarik minat turis-turis kaya untuk menempati hotel-hotel berstandar internasional di resort-resort tepi pantai (ibid.:81). Saat pemerintah Indonesia memfokuskan pada pembanguna pariwisata di Bali sebagai proyek nasional, politisi Bali, administrasi senior dan para intelektual ,mencurahkan perhatiannya pada ketertinggalan masyarakat Bali dalam rencana ini dan potensi dari konsekwensi yang tidak diinginkan dari pariwisata masal (Picard, 1996: 127, 182ff). Prioritas mereka adalah untuk mengamankan keuntungan ekonomi masyarakat Bali dan untuk mempromosikan identitas dan status masyarakat Bali dalam negara Indonesia. Disamping itu, mereka setuju bahwa budaya Bali, yang penting bagi pariwisata harus dilindungi dan dipelihara. Bagaimanapun, pandangan masyarakat bali terhadap efek pariwisata internasional dan dan konsekwensi untuk melindungi budaya Bali berkurang selam tahun 1980an. Apa yang ingin dinyatakan baik oleh orang luar dan masyarakat Bali adalah sebuah kebangkitan budaya oleh pariwisata. (cf. Picard. 1993: 88-89). Kemudian Picard menarik perhatian kita pada perubahan-perubahan konsepsi budaya Bali yang terjadi selama pemerintahan Siharto, sebuah proses yang dimulai oleh Belanda ditahiun 1920an. Definisi budaya dalam bentuk nilai dasar hubungan sosial, ekonomi dan politik serta moral telah berpindah kepada sebuah fokus tentang ‘ekspresi artistik’ dan ‘seni budaya’ yang berfokus pada pariwisata (tarian, musik, pakaian, cinderamata dan arsitektur) yang ditekankan oleh Departemen Pendidikan dan kebudayaan (1993: 90; 1996: 167-171, 198-199). Vickers juga mempersoalkan bahwa diskusi publik tentang kebudayaan Bali tidak hanya tantang kebudayaan sebagai ‘kebiasaan yang berarrti’ tetapi lebih kepada ‘pemikiran yang lebih sempit tentang aktivitas atristik dan keagaman’ (1989: 195). Kebudayaan Bali sebagai sebuah etnis telah berasimilasi dengan pemikiran sebagai sebuah ‘budaya daerah’. Budaya daerah Bali berdasarkan pada pertunjukan budaya yang digabungkan dengan yang lain untuk membentuk suatu budaya nasional Indonesia. Lalu, kebudayaan bali di angkat dan diatur kedalam elemen-elemen yag sesuai dengan budaya nasional yang kemudian didukung oelh pemerintah (Picard, 1996L 171-179). Picard setuju bahwa budaya Bali yang seperti inilah yang berasimilasi dengan masyarakat Bali sendiri dan mengalami kebangkitan kembali (1997: 203). Tak dapat dipungkiri, bahwa kerangka referensi yang dengan bebas diberikan secara bebas oleh negara sebagai saluran aman dalam pengekspresian etnisitas di Indonesia , menjadi subyek dari negosiasi dan perdebatan, dan walaupun mayarakat Bali adalah kontestan terlemah dalam hubungannya dengan negara, mereka telah menolak elemen ‘peng-indonesia-an’ tertetu , dan menggunakan kelebihan mereka dalam mengekspresikan identitas masyarakat bali (ibid.: 202 – 206). Kesimpulan McKean, dan seperti yang dikutip oleh para intelegensia Bali, adalah bahwa masyarakat Bali telah dapat memelihara budaya tradisional mereka dengan membedakan hiburan untuk wisata dari ritual asli bagi mereka sendiri, adalah sulit untuk meneria ketika budaya Bali telah ‘dipariwisatakan’ selama 80 tahun hingga saat ini. Apa yang ada, adalah, bahkan jauh sebelum pengaruh pariwisata datang, bahwa sulit untuk membedakan antara aspek ritual dan teatrikal dari tarian Bali. Dalam sebuah analisis tarian , Picard menunjukkan bahwa ada pertunjukkan khusus seperti Legong dan Ramayana yang merupakan ‘kreasi modern’ , yang dirancang untuk menghibur para penonton non-Bali, namun ini telah kembali digabungkan dalam pertunjukkan asli masyarakat Bali. Ada juga berbagai pertunjukkan lain yang ditujukan bagi turis, yang elemen-elemennya digunakan dalam eksorsime dan ritual masyarakat Bali, dan masih berasal dari upacara keagaman Bali yang diadopsi sebagai atraksi bagai para turis (1996: 134-163). Salah satu tarian, Panyembrana, dimulai dengan kontek ritual, menjadi suatu hiburan dan kembali ke kontek ritualnya (Picard, 1990: 62). Picard menunjukkan dengan jelas bahwa pembanguna pariwisata budaya di Bali telah mendorong kesadaran masyarakat Bali akan nilai dan pentingnya budaya mereka, dan perannya dalam mendefinisikan identitas etnik masyarakat Bali , namun budaya adalah berbeda dari apa yang didefinisikan pada awal abad 20 karena ‘pertunjukan bagi wisatawan dianggap sebagai tradisi bali’ (ibid.: 73). Sebagai tambahan, ‘bagi masyarakat Bali, seni, hiburan dan ritual , bukan merupakan sesuatu yang berbeda – dan ...isi dari pertunjukkan budaya saling tumpang tindih antara yang satu dengan yang lain (1996:198). Untuk menunjukkan bahwa tidak hanya dalam konteks pembangunan pariwisata , hubungan antara komunitas lokal dengan pemerintah yang membentuk dan mengubah identitas etnik dan budayanya, mari kita melihat pada penelitian Joel kahn tentang penetapan identitas masyarakat Minangkabau (1993,1995). Kahn sendiri mengatakan : Saat terjadinya pertemuan yang intens antara Bali dan (dunia) Barat ditahun 1920 dan 30an membuat proses yang terjadi dalam pembentukan wacana modern mengenai keunikan budaya Bali, adalah menarik untuk mencatat proses yang sangat mirip yang terjadi pada saat yang sama di bagian lain Hindia Belanda, dimana pariwisata adalah sesuatu yang penting. (1997: 110)Dengan kata lain, pembentukan identitas adalah bagian dari pertemuan antara kekuatan kolonial Barat dengan pihak-pihak yang ter-kolonial-kan.

Pembentukan Identitas Masyarakat Minangkabau

Seperti yang kita lihat di bab 5. Kahn melaksanakan penelitiannya di Sumatera Barat di awal 1970an dan kemudian diantara imigran Minangkabau di Negeri Sembilan. Setelah itu, ia bermaksud untuk memahami bagaimana keadaan yang ia amati di tahun 1970an itu dikemudian hari, dan karena itu ia menganalisa sejumlah literatur sejarah Minangkabau dari perspektif globalisme dan teori budaya, mencatat bahwa mereka telah tergabung kedalam sistem ekonomi yang lebih luas selama masa perdagangan dengan bangsa Eropa, dena saat mereka mejadi subyek terhadap proses ‘modernisasi’ selama ,masa penjajahan Belanda, tepatnya diakhir abah ke 19. Ia mencoba untuk memahami mengapa beberapa pengamat yang melihat akan punahnya kebudayaan Minangkabau, dan identitas tradisional mereka sebagai hasil dari ‘kebebalan pra modern’, ‘kesendirian’ dan lainnya (1993: vii, 21). Bagaiaman kontradiksi antara citra modern dari masyarakat Minangkabau sebagai individualis, kompetitif, komersialis dan rasionalis dan citra tradisional yang berfokus pada sifat kekeluargaan matrilineal, ‘republik kampung’, panen padi, pembuatan barang kerajinan tangan dan perambah hutan dapat dijelaskan (ibid.: 3-4) ? Kesimpulan utama Kahn, mengatakan bahwa kita telah melihat penemuan antropolog seperti Picard di Bali, Pemberton di Jawa ,adalah bahwa asal dari tradisi orang Minangkabau yang ditemukan pada masa penjajahan Belanda tidak berada jauh dari masa pre kolonial. Ia juga menindikasikan bahwa tugasnya dalam analisis sejarah adalah lebih sulit karena perubahan pemikiran dalam lingkaran antropolog dan kritiisme mengenai dasar pemikiran, konsep dan metode sebelumnya, khusunya keraguan dalam ilmu sosial postmodern terhadap kemampuan ‘orang luar’ untuk menganalisa, menjelaskan dan merepresentasikan budaya lain. Bahakan preasumsi yang para antropolog seharusnya kemukakan dipertanyakan sebagai ‘etnosentris’ dan ‘orientalis’. Dalam semangat ini, Kahn mempersoalkan bahwa catatannya tentang kebudayaan Minangkabau adalah ‘ citra yang diciptakan’, tetapi sebagai sesuatu yang perlu di evaluasi dalam konteks sosial dan historikalnya (ibid.: ix).Kahn menarik perhatian pad kenyataan bahwa masyarakat Minangkabau tidak dapat dibatasi secara obyektif dan rancu sebagai sesuatu yang bercirikhas, tak berubah dam homogen (ibid.: 16-19). Secara umum, ‘tidak pernah mungkin untuk memperlakukan ‘masyarakat’ Indonesia sebagai ‘suku terasing’, karena hubungannya dengan dunia barat selama berabad-abad (ibid.: 22). Baginya, citra yang dipakai untuk merepresentasikan masyarakat Minangkabau telah diciptakan oleh proses sosial dan historikal. Satu diantaranya diciptakan oleh perbahan ideologi , hukum dan tindakan kolonial Belanda sejak akhir abad 19 dalam hubungannya dengan administrasi kampung dan tanah (ibid.: 32); birokrasi kolonial meningkat dalam hal ukuran, kekuasaan, pengaruh dan fungsinya, setiap kampung harus didirikan dewan sebagai titik kontak administrasi dan dibiayai dari pajak lokal, organisasi supra-kampung ditiadakan, dan hak penduduk asli atas tanah dilindungi sementara tanah kosong dapat sewakan, sebagai konsesi tambang dan hutan lindung (ibid.: 187ff), Proses ini, menurut Kahn , baik di Sumatera Barat dan negeri Sembilan, telah meliputi apa yang ia sebut ‘modernisasi’ (perbedaan sosial dan pembentukan kelas, komoditisasi produksi dan hubunagn sosial) dan tradisionalisasi atay petanisasian (pembentukan hubunagn tanpa kelas, komunalisasi) namun dalam kontek modern secara keseluruhan (ibid.: 62067). Penggunaan stategi non-kapitalis dan non-komoditi adalah satu respons terhadap inovasi teknologi dan komersialisasi pertanian. Sejak akhir abad ke 19 , penulis Belanda membentuk ‘beberapa citra’ terpilih terhadap kaum tani tradisional Minangkabau. Pengamat yang sangat berpengaruh adalah sosiolog Belanda Bertram Schrieke (1955, I: 13), yang merepresentasikan masyarakat Minangkabau abad ke 19 sebagai orang yang bekerja pada skala kecil, berekonomi tertutup, berorientasi pada nafkah bukan keuntungan, bergantung pada pertanian, dan diatur secara total oleh hukum adat. Sistem ini kemudian menghilang oleh komersialisasi, termasuk dengan adalanya sistem perpajakan dengan uang pada abad ke 20. Schrieke berpandangan bahwa masyarakat Minangkabau sedang dalam modernisasi. Secara umum, pandangan orang Belanda didasarkan pada asumsi evolusionis, namun ada berbagai macam posisi yang diambil, beberapa menyukai transisi kapitalis di Indonesia sementara yang lain menolak. Beberapa yang lain mempersoalkan keinginan pembuat hukum kolonial liberal tentang perdagangan bebas, upah buruh dan kebebasan modal yang dapat membuat rakyat Indonesia terus maju mengikuti modernisasi; yang lain, pergerakan ‘etika’ – memelihara agar baik rakyat yang terjajah tidak dapat mengikuti modernisasi untuk membenarkan aturan-aturan liberal atau rakyat Indonesia membangun menurut logika dan ke-dinamisan budaya mereka sendiri dan mereka mempertanykan jalan Barat dalam mencapai modernitas (Kahn, 1993: 78). Adalah kritik terhadap liberalisme yang berkontribusi terhadap pembangunan masyarakat dan budaya Indonesia dan keunikan budaya ini juga didukung oleh orang-rang Indonesia yang berpendidikan , termasuk para intelektual dan aktivis politik Minangkabau, yang mulai menulis tentang tradisi pra-modern dan pra-kolonial mereka sejak tahun 1920an (Kahn, 1995: 66-69, 94-98). Walaupun begitu, sepertai yang Kahn tunjukkan, masyarakat Minangkabau pada abad ke 19 terlibat dalam produksi dan perdagangan berbagai macam komoditi ada variasi antara komunitas maupun perubahan pada komunitas yang sama pada saat itu (1993: 173ff). Karena itu, kebudayaan Minangkabau digambarkan oleh orang Belanda dan intelektual Minangkabau adalah sesuatu yang diciptakan pada abad ke 20 (ibid.: 186). Hal tersebut dibentuk dalam konteks tindakan birokrasi negara kolonial yang memperluas kekuasaannya sampai ke tingkat komunitas lokal namun tanpa mengubah Hindia Belanda menajdi negara yang berekonomi kapitalis. Pentingnya hubungan birokratik negara dan pihak individu maupun kelompok terhadap hal tersebut dalam menentukan kesempatan hidup, kemakmuran dan kekuasaan berlanjut pada masa setelah kemerdekaan. Kahn mempersoalkan bahwa perdebatan antara fungsionaris-fungsionaris negara yang mendukung perluasan aturan liberal tentang pembangunan dan menghilangkan tradisi dan pihak yang menolaknya dan membangun ‘budaya lain’ , juga mengenai perdebatan ‘tentang apa yang akan mendasari mode dominasi yang paling efektif’ (ibid.: 278). Pihak yang mengkritik program yang bersifat Eurocentrik dan etnosentrik untuk modernisasi komunitas tradisional dan meletakkan pentingnya keunikan masyarakat Indonesia , cenderung memandang pemerintah untuk lebih efektif jika memasukkan setiap kelompok etnik yang memelihara cara hidup tradisionalnya sebagai elemen utama dalam pemerintahan.

Kesimpulan

Apa yang telah kita lakukan pada bab ini, khusunya melalui berbagai macam studi kasus, adalah untuk menunjukkan bahwa etnisitas dan identitas adalah bagian dari proses sosial dan historikal, dan sebagai sesuatu yag di ciptakan dan diubah sebagai hasil dari interaksi. Hal yang perlu dicatat dari kaum minoritas di Asia Tenggara adalah identitas mereka telah dibentuk dalam interaksi mereka dengan sistem kekuasaan negara: peradaban masyarkat pesisir, rezim kolonial Eropa dan pemerintahan pasca kolonial. Pluralisme juga adalah hasil dari persatuan bersama kelompok etnik berbeda yang dilakukan oleh kekuatan kolonial untuk tujuan dagang dan profit mereka. Seperti konsep budaya, kita telah berfokus pada aspek dinamik tentang identitas dan karakternya yang variable, dan fleksibel. Dalam literatur tentang etnisitas, ada sebuah penekanan penting pada apa yang disebut sebagai perspektif post modern dan pasca kolonial, yang berhubunagn dengan analisis ‘teori dan praktik’ tentang berbagai hal seperti tradisi, budaya, identitas dan ke-otentikan dan bagaimana wacana tertentu mendapat tempat otoritas dalam hubungannya dengan struktur dan hirarki kekuasaan.

Baca Selengkapnya...