POLITIK IDENTITAS DALAM PILKADA DAN MASA DEPAN DEMOKRASI DI DAERAH

Sabtu, 27 Desember 2008

Oleh PolitikNews

Pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ternyata memunculkan persoalan jika dikaitkan dengan momentum yang sebentar lagi akan digelar yaitu pemilihan umum kepala daerah (Pilkada). UU ini sebetulnya merupakan revisi dari UU sebelumnya –UU No. 22 Tahun 1999— namun, hasil amandemen tersebut tidak cukup menjawab masalah yang tentu saja tidak sempat terpikirkan atau sengaja tidak diperdebatkan ketika UU tersebut dirancang dan ditetapkan.

Diberlakukannya UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah di Indonesia yang mengakomodasi tentang pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah diseluruh Indonesia, pada kondisi hari ini cukup mencemaskan kita.

Ada beberapa pertimbangan untuk mencermati terbukanya peluang-peluang terjadinya kemungkinan di atas secara besar-besaran pada pelaksanaan pilkada jika berdasar UU Pemda yang ada saat ini. Yaitu pertama, sebagai pelaksana pilkada ditunjuklah KPUD setempat untuk mempersiapkan hal-hal mulai dari persiapan hingga penetapan kepala daerah dan wakil kepala daerah menurut suara yang diperoleh. Artinya, KPUD satu-satunya aktor yang memiliki kewenangan tersebut. Sementara panwas hanya mengontrol saja, tidak lebih.

Kedua, KPUD bertanggungjawab kepada DPRD. Dalam hal ini DPRD-lah yang memiliki kewenangan secara langsung maupun tidak langsung melakukan kontrol sekaligus menilai pelaksanaan pilkada oleh KPUD. Jika DPRD memperoleh hal-hal yang menyimpang maka DPRD berhak untuk menegur KPUD. Atau sebaliknya, DPRD dan KPUD memiliki peluang melakukan komitmen-komitmen tertentu dalam meloloskan satu orang atau lebih calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Artinya, pilkada ini akan menjadi ladang jual-beli yang dikomandoi oleh DPRD dan KPUD.

Ketiga, bila ada pembedaan bahwa KPUD bertanggungjawab secara finansial kepada DPRD saja, maka itupun tidak menutup kemungkinan terjadi manipulasi dan kemungkinan lainnya yang dapat menodai pilkada jujur, adil, demokratis dan jauh dari korupsi. Di atas kertas bisa saja itu dicantumkan, namun pada tataran teknis-operasional di lapangan tentu tidak semudah apa yang diinginkan di atas kertas.

Tiga hal tersebut sebenarnya merupakan pandangan pesimistis penulis pribadi, namun pandangan ini semakin pesimis ketika pada 11 Februari 2005 lalu PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Di dalam PP tersebut pada bab III Pasal 4 ayat (4) menyatakan bahwa KPUD bertanggungjawab kepada DPRD. Walhasil, meski pemerintah telah mengeluarkan PP Pilkada tetapi isinya masih tidak berbeda jauh dengan UU Pemda di mana pertanggunggjawaban KPUD adalah kepada DPRD.

Selain itu, PP Pilkada juga masih terdapat banyak kekurangan. PP tersebut belum mengatur secara eksplisit bagaimana penanganan hukumnya (law enforcement) bila para calon kepala daerah itu melakukan pelanggaran dalam hal mencuri start waktu kampanye. PP ini hanya menyebutkan tidak boleh ada money politic, tidak boleh mencuri start, pilkada harus berlangsung secara fair dan sebagainya.

Semangat yang diusung pemerintah melalui UU Pemda dapat dipahami merupakan bagian dari pelaksanaan demokratisasi di Indonesia. Perkembangan demokrasi khususnya di Indonesia sangat lekat dengan proses politik. Secara umum penyelenggaraan Pilkada langsung adalah gambaran dari perkembangan demokrasi di Indonesia yang mengikut sertakan para peserta pemilu, tidak lain yaitu partai politik. Karena calon kepala daerah dan wakil kepala daerah nantinya diusulkan dari partai politik.

Semangat berdemokrasi yang digambarkan melalui Pilkada ini oleh banyak kalangan dinilai merupakan langkah tepat dari implementasi mewujudkan negara demokrasi. Namun, jangan sampai semangat tersebut menutup mata hingga merusak semangat itu.

Dengan biaya yang tidak sedikit tentunya pelaksanaan Pilkada diharapkan dapat sesuai dengan keinginan masyarakat agar terpilih pemimpin yang memahami rakyat. Apalagi Pilkada di tiap daerah seluruh biayanya dialokasikan ke dalam APBD masing-masing. Sehingga alokasi yang sedianya untuk pembangunan tersedot untuk pelaksanaan Pilkada. Waktu empat bulan merupakan waktu yang tidak panjang. Apalagi jika dihitung dari mulai persiapan sampai pelaksanaan. Kesiapan teknis perangkat pelaksanaan Pilkada mutlak sudah dipenuhi untuk mengantisipasi keterlambatan. Akan tetapi, hal ini tidak kemudian menjadi alasan untuk memasakkan pelaksanaan Pilkada.

Pemerintah dalam hal ini sudah semestinya bersifat lebih arif dalam melihat berbagai perkembangan perihal Pilkada. Tidaknya masyarakat dalam negeri yang akan memonitor proses Pilkada, masyarakat internasional pun tentunya mengambil bagian dalam menilai demokratisasi di Indonesia. Karena pada akhirnya jika demokrasi dipaksakan atas nama kepentingan sesaat, walhasil demokrasi yang bakal lahir sangatlah prematur dan rawan dari konflik kepentingan yang tidak bertanggungjawab.

Sekali lagi, sikap arif pemerintah dalam menyikapi masa depan demokrasi di Indonesia sangat dibutuhkan. Apa yang telah dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan PP Pilkada patut dihargai, meski membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan PP tersebut. Mengutip tulisan Mendagri berjudul “Optimisme Menghadapi Pilkada Langsung” –yang dimuat di salah satu media cetak— yang mengutarakan lima alasan mengapa Pilkada harus tetap dilaksanakan. Salah satu alasan yang disebutkan yaitu Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education).

Indonesia, sebagai sebuah Negara bangsa seakan-akan terkotak dalam kedaerahan. Semangat primordialisme didaerah muncul dan berkembang. Hal ini barangkali terkait dengan terpendamnya semangat nasionalisme selama hampir 40 tahun, sejak pemerintah Orde Baru berkuasa. Ketika reformasi bergulir, isu kedaerahan muncul dan menguat, bahkan cendrung meluas ditengah masyarakat yang plural di Indonesia.

Di Kalimantan Barat, Pilkada telah secara masif menghidupkan kembali debat mengenai tantangan perbenturan peradaban antar komunitas etnik. Argumentasi yang disampaikan oleh Prof. Syarif Ibrahim Alqadrie, bahwa kita sedang menghadapi sebuah perbenturan dapat dihindari antara peradaban-peradaban, khususnya antara Dayak dan Melayu, antara Islam dan Kristen. Sebagai alasan krusial yang mendukung prospek yang tidak menyenangkan ini adalah adanya hipotesa bahwa dengan adanya peradaban dunia yang berbeda-beda saat ini, tidak dapat melewati batasan yang terbentuk dari semakin luasnya beberapa interpretasi tentang nilai-nilai politik mendasar untuk dapat hidup bersama.

Persaingan antar kelompok etnik ini telah menjadi sebuah paradigma untuk pandangan dunia baru, yang mengakibatkan goncangan di Indonesia di kantor-kantor editorial, dalam berbagai seminar, sidang perencanaan dan rapat konsultasi politik, serta juga dalam pemikiran kekuatan-kekuatan yang ingin muncul yang mengharapkan mendapatkan keuntungan politik darinya. Sebetulnya tidak mengherankan, banyak yang sudah mulai berperilaku seolah-olah model tersebut berlaku. Setiap pihak menganggap dirinya paling mengerti dalam menghadapi realitas yang disebutkan tadi, juga karena pihak-pihak lain melakukan hal yang sama sesuai dengan perkiraan yang ditentukan oleh model tersebut. Dengan demikian paradigma fundamentalisme dapat melebarkan sayapnya di luar penganut setianya.

Bilamana kita mengamati teori skenario Huntington mengenai perbenturan peradaban lebih mendalam, maka dapat ditemukan gambaran-gambaran klasik dari ideologi-ideologi menarik yang ingin menproklamasikan hasil akhirnya. Dengan mengambil beberapa fakta pilihan dari kejadian-kejadian dunia yang sesungguhnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing, maka teori ini mengikatkan semua unsur di atas dalam pernyataan konklusif mengenai kejadian sebagai keseluruhan, dan mengesampingkan semua hal yang tidak cocok dengan gambaran yang sengaja diedarkan. Dibangun dalam bentuk demikian, teori ini dapat digunakan sebagai pembenaran bagi berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kekuasaan dan supremasi, dimana sebuah pandangan adil dan tak berpihak tidak dapat memberikan pembelaan pada tingkat keyakinan manapun. Huntington memperlakukan peradaban-peradaban yang berbeda seolah-olah mereka hanya terdiri dari fundamentalisme.Namun demikian, fundamentalisme adalah salah satu dari berbagai pilihan untuk dapat mengerti dan mempraktekan tradisi budaya. Sebagai bentuk ekstrem dari politisasi perbedaan budaya, fundamentalisme tidak terbatas pada budaya barat (yang menciptakan terminologi tersebut), atau pada peradaban tertentu seperti Islam, walaupun banyak sekali pandangan yang menentangnya. Fundamentalisme juga bukan merupakan sebuah instrumen analisa barat, seperti contoh dapat ditemukan dalam budaya lainnya, tetapi mungkin cara penerapannya di budaya lain melalui perspektif barat.Sebaliknya, semua budaya dunia terbukti berupa sekat-sekat diskusi dan wacana sosial yang pada hakekatnya sangat beranekaragam dan dinamis.

Dalam budaya tersebut, dengan ukuran berbeda-beda, fundamentalisme muncul; dan dalam semua budaya itu pula, fundamentalisme merupakan ekspresi yang mendapat tentangan dalam keseluruhan identitas budaya. Perbandingan empiris yang menjangkau semua budaya menunjukan bahwa dalam kondisi tertentu setiap budaya menghasilkan aliran fundamentalisme berbarengan dengan modernisasi dan tradisionalisasi yang mengitarinya. Walaupun terdapat perbedaan yang luas dalam lingkungan-lingkungan budaya, aliran fundamentalisme dalam struktur dan fungsinya menunjukan karakteristik yang sama dimanapun dan memberi bahan untuk kebutuhan politis dan psikologis dalam semua budaya, yaitu kebutuhan akan kepastian, identitas dan pengakuan bagi mereka yang terisolasi atau terancam oleh kekuatan yang lebih tinggi atau oleh perkembangan pembangunan. Dalam masing-masing budaya ini, fundamentalisme menyatakan perang terhadap kedua aliran bersaing, yaitu modernisme dan tradisionalisme, dan dengan tak tergoyahkan mengupayakan dikembalikannya identitas yang sesungguhnya dari budaya tradisional yang saat itu berada dalam keterpurukan, dengan membangkitkannya kembali dengan cara mengambil alih kendali kekuasaan politik dan mencapai supremasi absolut. Dengan demikian masyarakat dibebaskan secara menyeluruh terhadap penderitaan kontradiksi modernisasi. Semua label fundamentalisme, apakah itu Kristen, Yahudi, Islam, Hindu atau Buddha, senantiasa bertendensi untuk membentuk sebuah sistem berpikir tertutup yang dengan demikian secara sintetis mengisolasikan perbedaan pendapat, keraguan, alternatif, dan keterbukaan. Oleh karena itu, tujuannya adalah untuk memberikan keamanan, keyakinan orientasi, identitas yang mantap dan kebenaran yang menyeluruh. Mereka akan tiba pada sebuah kepastian sistem kepercayaan yang dihasilkan sendiri dan disterilkan terhadap keraguan. Fundamentalisme modern memberikan pelayanan dalam bentuk militannya sebagai legitimasi tuntutan intelektual, agama dan supremasi terhadap mereka yang berbeda pendapat. Sistem iman yang tertutup dan penerapan peraturan dalam format fundamentalisme mewakili suatu paham kembali secara absolut dalam politik sampai pada batas bahwa mereka berasumsi memiliki peran dalam lingkungan publik dan mematikan kritik, semua alternatif, keraguan, serta dialog terbuka mengenai tuntutan kognitif diantara mereka yang setara. Apa yang terjadi selanjutnya adalah pengabaian penuh (atau kadang-kadang dalam masyarakat demokratis yang telah berkembang hanya secara selektif) terhadap hak azasi manusia, pluralisme, toleransi, hukum dan prinsip mayoritas demokrasi atas nama kebenaran yang absolut yang dipercayai oleh kaum fundamentalis.

Teori Huntington mengenai perbenturan peradaban yang tidak dapat dihindarkan didasarkan pada asumsi bahwa saling pengertian yang murni atau kehidupan bersama antara buaya-budaya pada hakekatnya adalah hal yang tidak mungkin disebabkan adanya nilai-nilai dasar sosio-politik yang bertentangan dalam struktur pusatnya. Asumsi ini bukan hanya terbantah oleh banyak kasus penelitian empiris mengenai hadirnya eksistensi dan dialog antar budaya, seperti Parlemen Agama Sedunia (Chicago 1993) dengan deklarasinya “Towards Global Ethics”. Bahkan dengan sangat meyakinkan dipalsukan oleh penelitian empiris dalam distribusi nilai-nilai sosio-politik dalam masyarakat yang berasal dari berbagai budaya. Jika dilihat dari, contohnya, dukungan luas yang diberikan kepada nilai-nilai dasar sosio-politik seperti individualisme vs. kolektifisme, keadilan vs. ketidakadilan, penghindaran ketidakpastian vs. toleransi ketidakpastian, yang sangat relefan sebagai anggota sebuah struktur sosio-politik bersama, maka Melayu dan Dayak, walaupun tidak tergabung dalam tradisi budaya yang sama, menunjukkan profil yang sama, yaitu penilaian yang sama rendah terhadap individualisme, penerimaan yang tinggi terhadap ketidakadilan, dan banyaknya kejadian penghindaran ketidakpastian. Sebaliknya, Melayu dan Dayak, walaupun tergabung dalam tradisi budaya yang sama, menunjukkan suatu perbedaan maksimal dalam setiap nilai sosio-politik. Data penelitian menunjukan bahwa di masing-masing budaya dan antar budaya yang berbeda terdapat perbedaan yang sama tinggi. Semua budaya yang ada saat ini sudah sangat jauh dari bentuk kesatuan yang homogen: Budaya-budaya dunia sekarang tidak lagi dibedakan oleh batas-batas yang jelas dalam keabsahan nilai-nilai dasar inti yang merupakan dasar hidup bersama. Adalah sangat benar bahwa masing-masing budaya sampai batas tertentu dikarakterisasikan oleh perhatian khusus yang diberikannya kepada nilai politik dasar seperti individualisme, persamaan hak, keinginan untuk lebih banyak atau sedikit, dan petentuan kehidupan social, dan sebagainya.Tetapi pada saat yang bersamaan terdapat sebuah overlapping yang besar dalam hal profil nilai dasar relevan yang utuh antara semua budaya yang ada saat ini. Pengalaman sejarah masing-masing negara dan tingkatan perkembangan sosio-ekonomi secara menyeluruh mereka ternyata memberikan dampak yang lebih besar terhadap masing-masing profil nilai dibandingkan akar-akar agama-kultural. Perbedaan budaya tidak berfungsi sebagai hambatan terhadap kesamaan dan bertumpang tindih pada profil nilai. Kesamaan budaya, di lain pihak, tidak memberikan jaminan adanya kesamaan atau tumpang tindih pada profil nilai. Hanya untuk memberikan dua buah contoh: dalam hal nilai politis individualisme, kesamaan hak dan penghindaran ketidak-pastian, yang tergabung dalam peradaban yang sama, menemukan diri masing-masing pada sisi yang bertentangan dalam skala, sedangkan di lain pihak Melayu dan Dayak yang berbeda peradaban, memiliki profil nilai yang sama. Dengan demikian, data empiris sama sekali tidak memvalidasi ideologi perbenturan peradaban atas dasar perbedaan nilai-nilai dasar sosial politik yang tidak mungkin disatukan. Sebaliknya, kesamaan dan ketumpangtindihan dapat diidentifi-kasikan dalam semua budaya yang disurvei. Perselisihan justru terjadi di dalam peradaban-peradaban tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil usaha pencapaian sebuah pengertian bersama dalam hal nilai hidup bersama yang baru-baru ini dibuat oleh semua wakil agama yang relevan saat kini, seperti yang tertuang dalam “Declaration of World Ethos”: dimana tercantum hak setiap individu untuk mendapatkan perlakuan manusiawi, prinsip kebebasan dari kekerasan dan menghormati hidup, solidaritas antar manusia di seluruh dunia dan advokasi sebuah tata ekonomi sedunia yang adil, toleransi terhadap agama, pendapat, dan budaya lain, hak perlakuan yang sama bagi semua orang dan kemitraan yang didasarkan pada kesamaan hak antara pria dan wanita. Dari sini terlihat bahwa ada sebuah dasar yang sama untuk saling pengertian dan ko-eksistensi dalam semua peradaban dunia.

Sangat jelas bahwa pengalaman sosial dan situasi kehidupanlah, beserta kedekatan pada modernisasi budaya yang ditentukan olehnya, berada pada posisi utama untuk menentukan pendefinisikan cara hidup berbudaya kelompok-kelompok, dalam hal afiliasi pada tradisi agama-budaya. Termasuk dalam pengalaman-pengalaman yang membentuk ini adalah krisis, gejolak dan penyisihan, seperti yang telah diperlihatkan dalam hal fundamentalisme. Akan tetapi, nilai-nilai sosial yang menyangkut cara hidup bersama yang dianut oleh semua budaya yang ada akan membuka tempat bagi ko-eksistensi identitas budaya yang berbeda-beda sebagai cara untuk percaya dan hidup. Namun demikian, saat ini bertentangan dengan kesempatan nyata yang telah diberikan untuk saling mengerti, risiko berubahnya politisasi budaya menjadi sebuah proses mempertahankan diri sangatlah dekat. Mereka yang berusaha dari dalam dan mereka yang melakukannya dari luar akan bertemu dan saling mendukung, penjelasan dan ramalan mereka bekerjasama secara menyesatkan, dan tenaga mereka saling memberikan kekuatan.Seperti masyarakat dimanapun, munculnya tata global memerlukan nilai-nilai dan norma norma untuk hidup bersama yang umum. Kesamaan mendasar terdapat dalam inti semua budaya, walaupun diucapkan dalam bahasa, simbol dan gambar yang berbeda-beda. Seringkali hal ini sulit terlihat, tetapi perlu ditemukan dan di taruh di tempat yang jelas. Diperlukan usaha keras untuk mengenal, mengembangkan dan membawa elemen-elemen dalam berbagai budaya tersebut menjadi dekat satu dengan yang lain, sehingga memudahkan terjadinya saling pengertian dan tindakan bersama, khususnya karena selalu muncul dalam bentuk yang berbeda-beda. Ini adalah tantangan yang sesungguhnya setelah Pilkada dilangsungkan.

0 komentar: