Sabtu, 27 Desember 2008
Oleh PolitikNews
Kita semua selamanya terperangkap di titik pusat, antara apa yang telah terjadi dan akan terjadi terhadap diri kita, dan diatas sebuah pertentangan antara dua hal tegantung dari kemampuan kita untuk berubah
Dalam proses pembentukan sebuah negara, banyak pilihan yang harus dilakukan mengenai tujuan, sifat, dan sumber bangsa dan negara Indonesia. Bagaimanakah sikap para pemimpin Indonesia yang nasionalis terhadap konsep-konsep politik bangsa Eropa tentang ‘negara’, ‘bangsa’, dan ‘demokrasi’ ?” Apakah para nasionalis mengacu pada budaya asli dalam membuat dasar negara ataupakh mereka memilih definisi-definisi baru ? Pada tahun 1950an, Bangsa Indonesia mengklaim bahwa tidak ada tempat untuk ‘liberalisme bebas’ di Indonesia. Sukarno menanggapi pemikiran ini dalam sebuah pidato panjang saat peringatan Hari Kemerdekaan tahun 1959; bahwa hal itu akan menjadi gaya demokrasi di Indonesia (1965, II: 283-311) .
Hanya baru-baru ini, berkenaan dengan hak asasi manusia, Indonesia memandang bahwa budaya Indonesia adalah budaya dengan hak dan sifat-sifat khususnya sendiri. Dari hal ini, hal yang perlu diperhatikan, dengan mengesampingkan keikutsertaan Indonesia dalam ratifikasi perjanjian internasional dan nilai-nilai universal, hal ini akan mengalami penafsiran yang secara signifikan berbeda dengan tafsiran dunia internasional. Sudut pandang ini di pinjam dari pernyataan Montesquieu, dimana oleh Supomo, yang merupakan Ketua Perancangan UUD 1945, disampaikan dalam pidato nya :
“Setiap negara memiliki dimensinya tersendiri, yang tak bisa terpisahkan dari sejarah dan struktur masyarakatnya. Karena alasan inilah,arah pembangunan negara Indoneisa harus sejalan dengan struktur sisial masyarakat Indonesia, seperti yand jelas terjadi dalam era kontemporer, dan hal ini harus dilaksanakan sesuai dengan era saat ini, seperti contoh aspirasi Indonesia dalam lingkup Asia Timur Raya.”
Mengambil pandangan resmi bangsa Indonesia, dapat diharapkan bahwa di tahun 1945 dan sesudahnya, sebuah perbedaan yang tajam dapat dengan jelas digambarkan antara warisan budaya bangsa Indonesia dan Eropa; untuk membedakan Indonesia , dari sebuah bekas koloni dan sebagai sebuah ibu pertiwi. Bab ini akan menguji sampai tahap tertentu terhadap indikasi-indikasi perbedaan yang disampaikan pada sumber-sumber material utama Indonesia. Dan akan lebih ditekankan pada pembentukan nasionalme bangsa Indonesia pada periode 1945 dan setelahnya, dan termasuk 1965.
Walaupun ada banyak referensi yang telah digunakan, perhatian khusus diberikan pada 2 sumber penting : pertama, laporan Muhammad Yamin dari pertimbangan-pertimbangan dewan, yang diawal 1945 telah ditugaskan oleh pihak Jepang untuk menyiapkan undang-undang dasar Indonesia. Pertimbangan-pertimbangan ini di buat dari bulan Mei sampai Agustus 1945. Yang selanjutnya akan disebut sebagai Undang-Undang Dasar 1945. Yang kedua di buat pada tahun 1956 sampai 1959 dan disebut sebagai ‘Konstituante Ke 2’. Laporan-Laporan Yamin diterbitkan pada tahun 1959 dalam 3 volume. Ia membuatnya pada saat sidang komite dan dari catatan pribadinya. Naskah ini diberi judul Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945.
Sumber kedua adalah kumpulan dari artikel-artikel koran dan pidato Sukarno, yang ditulis pada tahun 1926 sampai 1959. kumpulan artikel2 ini dibuat sendiri oleh Sukarno dengan judul Dibawah Bendera Revolusi , Diterbitkan tahun 1959 untuk pertama kali, dan dicetak ulang tahun 1965 dalam 2 volume.
Terlepas dari hal di atas, berbagai sumber ‘kedua’ yang telah ditelaah, berisi beberapa kutipan dari pemimpin-pemimin nasionalis yang tidak terdapat pada 2 sumber utama di atas. Tulisan dari dokumen asli tidak diikuti secara detail namun dibahas sebagai topik diskusi.
Penulis sadar akan diskusi yang terjadi di awal tahun 1980an tentang keaskilan dari tulisan2 Yamin dalam sidang Dewan Konsitutsi tahun 1945. Yamin merupakan anggota istimewa dari Dewan tersebut. Melalui Bung Hatta, salah satu anggota istimewa Dewan Konstitusi dan kemuadian, Wakil Presiden Republik Indonesia pada masa 1940an sampai 1950an, pengecualian di ambil, terhadap laporan yang dibut oleh Yamin dalam sidang tersebut yang menyatakan tentang filosofi Pancasila utuk didiskusikan diawal.
Komite yang ditunjuk oleh pemerintah , diketuai oleh Hatta tahun 1975, untuk memverifikasi keaslian dari tulisan2 Yamin terhadap kesaksian hidup dari anggota-anggota istimewa Dewan Konstitusi, menghasilkan kesimpulan yang buruk. Sumbangsih Yamin terhadap diskusi tentang Pancasila adalah tidak benar. Hal ini sangat penting karena Pancasila merupakan moral dasar dari bangsa dan negara Indonesia. Jika sumbangsih pemikiran Yamin terhadap filosofi pancasila tidak benar, maka reputasi sumber tersebut – tentang bangsa dan negara Indonesia- dapat dipertanyakan.
Sejarahwan Indonesia, Nugroho Notosusanto menerbitkan sebuah buku yang mempertahankan sumbangsih pemikiran Yamin. Di tahun 1982, Hatta memberikan wasiat politik kepada putra Sukarno, Guntur, yang menjelaskan tentang kejadian-kejadian seputar kelahiran Pancasila secara detail. Secara khusus, keaslian mengenai pidato yang disampaikan oleh Yamin tertanggal 29 may 1945 termasuk dalam pembahasan. Dari laporan tentang pidato ini dalam Naskah vol. 1 , Yamin membahas tentan dasar-dasar Pancasila dan UUD 1945. Telah diasumsikan bahwa hanya Sukarno lah yang merupakan penggagas Pancasila pada 1 Juni. Hatta menerangkan bahawa urutan kejadian pada masa itu, seperti yang diberikan dalam keterangannya, tidaklah terjadi seperti yang disebutkan. Masalah ini telah menimbulkan keraguan mengenai keaslian sumbangsih pemikiran Yamin dalam sidang Dewan Konstituante tahun 1945 (Oey, 1982).
Sejarahwan Indonesia, R Nalehan, seorang ahli sejarah Pancasila dan UUD 1945, sebaliknya membuktikan bahwa pidato Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 juga mengisyaratkan kesalahan dalam sejarah UUD 1945. Teks pidato yang tercantum dalam Naskah telah memuat tentang seluruh elemen UUD dan Pembukaan seperti yang diketahui. Pada hari tersebut, pembahasan tentang masalah-masalah tersebut belum dimulai. Terpisah dari hal tersebut, beberapa versi yang lain tentang UUD juga di review. Sebelum versi defenitif dari UUD dibahas. Pendeknya, tulisan Yamin dalam naskah tentang pidatonya pada tgl 29 may 1945 adalah tidak benar dalam beberapa hal. (Oey, 1982;26-8).
Walaupun hal ini terbilang serius bagi bangsa Indonesia, tidaklah demikian bagi bangsa lain. Baik sebelum maupun sesudah kontroversi ini memunculkan hal-hal penting lainnya, di samping hal2 yang telah disebutkan, baik oleh sejarawan maupun ex-anggota Dewan Konstituante.
Hal penting lainnya yang muncul dalam analisis kumpulan sumber-sumber sejarah seperti Naskah karangan Yamin adalah perbedaan antara apa yang terjadi pada Dewan Konsituante di tahun 1945 dan setelahnya. Keputusan Presiden Sukarno tahun 1959 (Dekrit No. 150) untuk merombak UUD 1945, dan juga Piaga Jakarta, dalam hal ini membutuhkan perhatian khusus. Keputusan ini merupakan hal yang menarik , yang disebabkan oleh 2 alasan. Pertama, UUD 1945 telah dibuat sebagai UUD sementara, yang , setelah Pemilihan umum pertama , yang direncanakan pada pertengahan tahun 1946 , akan digantikan oleh UUD yang baru. Terjadinya perang dengan Belanda menyebabkan pemilu tidak jadi dilaksanakan dan Indonesia mau tidak mau memberlakukan UUD yang dipengaruhi Belanda. UUD tersebut,sekalipun di bekukan lagi pada 1950 tetap diberlakukan , bahkan setelah ‘Dewan Konstituante’ baru – dibentuk tahun 1956. Di tahun 1959, Sukarno memerintahkan Konstituante untuk menghentikan kegiatannya dengan alasan yang tidak jelas, setelah ia mengumumkan untuk kembali ke UUD 1945. Pada saai itu, sebuah dokumen yang mula-mula dirancang untuk berperang melawan Belanda, dan hanya berisi tindakan-tindakan secara garis besar serta syarat yang setelah pemilu pertama akan di ganti menjadi UUD yang defenitif. Sejak saat itu, hukum tentang UUD Negara Indonesia di tulis kembali.
Hal kedua yang menarik tentang keputusan Sukarno tahun 1959 adalah tentang Piagam Jakarta. Ini terkait dengan tulisan pada pembukaan UUD yang dibuat dalam rapat khususDewan Konstituante 1945, yang dibentuk tanggal 22 Juni ditahun tersebut. Di dalam pembukaan, sebuah kalimat yang menerangakan tentang kewajiban umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat Islam. ‘Negara Indonesia,...adalah negara republik yang berkedaulatan rakyat dan didirikan atas Ketuhanan YME dan kewajuban bagi umat Islam untuk menjalankan syariah-syariah Islam berdasarkan prinsip kebenaran dan kemanusiaan (amal maaruf nahi munkar)’ . Dengan kalimat ini, masyarakat Muslim menerima hak untuk secara formal mengembalikan ‘statistikal Muslim’ . Dewan Konstituante, dalam rapat tanggal 18 Agustus 1945, menghapus kalimat ini dan referensi lainnya yang berhubungan dengan Islam. Para nasionalis menganggap referensi ini sangat bertentangan dengan prinsip yang menjadi dasar negara Indonesia : Bhinneka Tunggal Ika (persatuan dalam perbedaan) berdasarkan hukum dan kebangsaan. Jika hanya satu golongan yang disebutkan dalam UUD, maka golongan yang lain akan menuntut hak yang sama dan ini akan menggangu persatuan bangsa (Yamin, 1959, I: 401-2). Pada tahun 1959, Sukarno menyebutkan kalimat pada Pembukaan UUD yang lama , sebagai Piagam Jakarta, sbb : ‘Kami meyakinkan bahwa Paiga Jakarta pada 22 Juni 1945, sesuai dengan semangat UUD 1945 dan membentuk sebuah kesatuan kelopok di bawah UUD....(Departemen Penerangan , 1960, II:XXXIII). Kalimat tersebut tdak lagi bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh seluruh golongan . Bahkan Sukarno berpendapat bahwa hal tersebut telah mencerminkan semangat UUD 1945 dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari UUD ’45. Majalah Mingguan Tempo dalam artikel tanggal 13 Juli 1991, berjudul ‘Tenang ada Benteng’, menggali tentang hal ini lagi. Dalam pengamatan yang dilakukan di tahun 1988 beberapa ahli hukum telah mempelajari dan menyetujui keputusan Sukarno, No. 150 tahun 1959 serta tambahan pada UUD 1945 9Sumbogo, Siregar, dan Abidian , 1991: 23-4) . Dengan kata lain, dekrit tersebut dianggap benar dan merupakan hal yang terpisahkan dari UUD Negara Indonesia; Sukarno masih memerintah dari dalam kubur.
Alasan dimasukkannya Piagam Jakarta menjadi suatu bagian integral dari UUD tidaklah jelas. Keterangan tertulis tentang Dekrit 150 , yang diberikan Kabinet kepada Parlemen pada tanggal 3 dan 4 Maret 1959, tidak memberikan informasi apapun tentang masalah tersebut. (yamin, 959,I:621). Hal tersebut ditetapkan, , bahwa dimasukkannya Piagam Jakarta dalam hukum negara tidak hanya menyiaratkan pengakuan resmi dokumen tersebut sebagai dokumen sejarah. ‘It juga akan mempengaruhi UUD 1945, beik pembukaannya maupun butir-butirnya khususnya pasal 29’ (Yamin, 1959 I:621). Tidak ada lagi informasi yang diberikan oleh pemerintah dan perhatian media sangatlah kecil terhadap hal tersebut.
Dalam hal kembalinya UUD ke UUD 1945, yang kita hadapi disini adalah suatu bentuk fundamental dari politik dan hukum perundang-undangan di Indonesia. Menurut pemikiran seorang arsitek utama dari UUD, sekaligus seorang ahli hukum dan hukum tradisional , Soepomo, mengungkapkan, bahwa ada kecenderungan kuat dalam dunia perpolitikan Indonesia pasca-perang untuk secara formal membatasi sesedikit mungkin proses politik. UUD 1945 hanya mengatur secara sekilas; proses politik itu sendiri yang memberikan interpretasi. Hal ini sendiri tercantum dalam UUD 1945, yang mana disebutkan bahwa segala persoalan ‘diselesaikan oleh dan secara hukum’. Hatta secara penuh mempertahankan kalimat ini pada sidang Dewan Konstituante tahun 1945 karena UUD itu sendiri tidak menjamin tanggung jawab dan perlindungan warga negara terhadap penyalagunaan kekuasan oleh negara. Penambahan Piagam Jakarta dalam UUD 1945 oleh Sukarno, seperti yang terjadi, tidak terlalu menarik perhatian pers pada saat itu. Pada saat ini, hal tersebut masih menjadi persoalan, bahkan ketika banyak perhatian ditujukan kepada pertanyaan akan Pancasila. Seolah-olah resiko dari keputusan Sukarno telah dijaga kerahasiaannya, demi untuk memberikan perhatian lebih pada diskusi tentang dasar negara secara politik dan moral.
Diskusi tentang ‘Konstituante ke 2’ tidak akan di bahas dalam bab ini. Ia nya tidak, dalam analisis akhir, memaikna peran penting dalam perkembangan politik Indonesia pasca-perang. Pada tahun 1959, Presiden Sukarno menghentikan ‘Konstituante ke 2’ , membubarkan Parlemen dan memberlakukan kembali UUD 1945. Penggalan diskusi dalam ‘Konstituante’ di terbitkan dalam Naskah karangan Yamin pada vol. 2 dan 3. Diskusi-diskusi tersebut, bagaimana pun juga, sama sekali tanpa musyawarah politik, telah melampaui batas kekuasaan karena merupakan hasil keputusan Presiden. Suatu analisa dan explorasi yang menarik dari apa yang telah dilakukan oleh ‘Konstituante’ dapat dilihat pada tesis Buyung Nasution yang berjudul ‘ Aspirasi bagi pemerintahan berkonstitusi di Indonesia. Sebuah Studi Sosio-hukum dari Konstituante Indonesia 1956-1959’ (1992). Dari studi ini, dapat disimpulkan bahwa ‘Konstituante ke 2’ mengikuti cara –cara musyawarah dan mufakat yang sangat berharga dan hati-hati selama pembentukan cara2 demorkasi yang nyata di Indonesia. Keputusan Sukarno untuk membubarkan ‘Konstituante ke 2’ mengakhiri proses tersebut secara tiba-tiba, yang mungkin telah membawa ke arah demokrasi Indonesia yang sebenarnya.
Strategy : Sebuah Pendirian Politis
Landasan pemikiran yang penting dari bab ini adalah pendirian yang kuat dari para nasionalis
Telah terbukti bahwa hanya ada bebrapa orang yang memainkan peran penting pada tahapan awal dari nasionalisme di Indonesia. Yang paling utama diantaranya adalah Sukarno, seorang intelektual,politisi dan kemudian Presiden; Muhammad yamin, sejarawan dan pengacara; Soepomo, ahli hukum tradisional/adat di sebuah Sekolah Hukum di Batavia dan mantan anggota Budi Utomo dan Parindra; dan Mohammad Hatta, seorang ekonom.
Tidak hanya keempat intelektual ini, tetapi semua yang hadir dalam diskusi di tahun 1945, berpendidikan ala Eropa. Pemikiran politik mereka telah dibentuk baik di tanah air , maupun di Belanda sendiri. Sebagai keturunan bangsawan pada masa kolonial, mereka menikmati keuntungan dari status yang sama dengan orang Eropa. Status ini, dalam ukuran yang terbatas, memberikan mereka hak yang sama dengan anak-anak Eropa di daerah jajahannya (Indonesia), Termasuk, hak mereka untuk menerima pendidikan ala Eropa. Dalam hal menerima pekerjaan, mereka agak sulit, bahkan ditolak oleh orang-orang Eropa sendiri. Hal ini menyebabkan para lulusan Indonesia menggunakan pengetahuna ala Eropa mereka untuk mengkritisi situsi masa kolonial atau melakukan kegiatan politik untuk melawan kebijakan pada saat itu. Dengan cara tersebut mereka menanamkan fondasi nasionalisme Indonesia pasca-perang. Walaupun mereka tidak dapat berharap bagaimana hasilnya , namun ide dan kualitas mereka dibuktikan di akhir perang dunia ke-2 saat mereka cukup dewasa untuk merancang struktur negara dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Mereka melakukannya dalam 2 bulan. Rancangan ini merupakan dasar bagi diskusi lanjutan tentang filosofi negara dan arah pembangunan Indonesia.
Nasionalisme Indonesia Pasca-Perang : Sebuah Karakteristik Sementara
Nasionalisme pasca perang ditandai oleh sifat-sifat yang .....dari diskusi mengenai akar dari budaya bangsa dan tujuan sebuah negar baru. Bahkan di tahun 1990an, diskusi ini masih berlangsung. Hal ini tidak terbatas untuk orang atau institusi tertentu saja. Hal ini terjadi dalam lingkaran , dimana para pemimpin negara tampil, baik di komunitas desa sampai di tingkat Kabinet.
Tidak akan ada pertanyaan tentang hal-hal sepertai universalitas dan kesamaan dari nasionalisme Indonesia pasca-perang. Dalam kenyataannya, pada saat ini kita memiliki banyak orientasi dan pemikiran, beberapa diantaranya dilakukan oleh pemberi pendapat individu. Di tahun 1945 pemimpin2 ini terbilang sedikit., sekitar 60 -70 orng. Di tahun 1990an , jumlah mereka masih terbatas, karena tekanan rezim Suharto terhadap kritik politis dan pemikir bebas. Pengaruh mereka , bagaimana pun juga, cukup besar karena hubungan mereka dengan kegiatan di komite, partai2, dan kelompok-kelompok diskusi. Bagi para intelektual dan politisi Barat, mereka juga adalah pembentuk ide dan guru.
Walaupun mereka, dalam pengertian sosial dan politis, berada dalam posisi elit, bukan merupakan sebuah kelompok tertutup dan elit yang memerintah. Dan kebanyakannya di sebut sebagai individualistis dan sulit untuk dimasukkan ke dalam gologan tertentu . Saat mereka berpikir untuk melakukannya, mereka akan mengubah setting sosialnya. Bagaimanapun juga mereka biasanya membawa pengikut/pendukung.
Disamping individualisme mereka, para pembuat ide biasanya mencari satu sama lain untuk kesatuan kepentingan politik. Fakta yang terjadi adalah, merupakan sebuah kompromi politik dan bukan merupakan hukum dari sebuah kesadaran nasional. Hal ini berakar dari situasi dimana berlakunya hukum darurat di indonesia pada tahun 1957-1963, saat dimana kebijakan khusus mengenai kekuasaan Presiden dibuat, bersamaan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945. Undang-undang darurat secara fakta benar-benar diberlakukan setelah terjadinya peristiwa G30S tahun 1965. 6 orang Jenderal Anngkatan Darat dibunuh dan diikuti oleh pembantaian besar-besaran. Orde Baru kemudian berdiri dan mengalami masa tenang di tahun 1980an. Saat itu adalah masa akhir dari undang-undang darurat, di thaun 1980an , saat pemimpin politik dan keagamaan menandatangani sebuah deklarasi pengakuan terhadap Pancasila. Perkembangan ini menandai akhir dari perjuangan bangsa Indonesia dalam kepemimpinan otoriter sejak tahun 1945.
Sebab nasionalisme Indonesia sering kali merupakan sebuah kompromi yang sulit yang dilakukan oleh pihak-pihak dari berbagai macam latar belakang, dan sangat berpotensi untuk diubah dalam arus perubahan kepribadian di arena politik. Hal ini membuat kesuksesan dan masa depan nasionalisme Indonesia menjadi faktor yang tidak pasti, dan harus selalu di jaga dan diperjuangakan.
Element utama dalam pemikiran bersama adalah, ide bahwa nasionalsime bukanlah hany asekedar ideologi, Nasionalisme, bagi pemimpin Indonesia pasca-perang adalah strategi utama negara. Dengan kata lain, hal tersebut menyangkut perjuangan politik dan kemerdekaan ekonomi, serta perjuangan pembangunan internal. Dua tujuan tersebut sangan berkaitan erat, karena tanpa kemerdekaan politik, sosial dan ekonomi, pembangunan nasional sangatlah tidak mungkin. Begitu juga sebaliknya.
Sebagai conditio sine qua non badi kemerdekaan dan pembangunan nasional, kesatuan pikiran dan tindakan orang Indonesia dan kesetiaan mereka terhadap bangsa dan negara sangat diharapkan. Harus ada konsensus nasional. Ini merupakan politik yang sangat mendasar. Perbedan pendapat dan konflik dapat menghalangi jalan menuju persatuan dan kebebasan di masa depan dan seharusnya , dihindari sebisa mungkin atau pun dihapuskan bersama. Hak-hak , yang dalam sejarah Eropa Barat modern, dipandang sebagai sesuatu yang mendasar, seperti prlindungan seseorang terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh negara, kebebasan berbicara, kebebasan berorganisasi dan berkumpul merupakan sesuatu yang dinilai penting secara politis .
Hak, baik bagi individu maupun kelompok, harus lah dilindungi oleh hukum, ataupun perundang-undangan. Dan itu bukanlah sesuatu yang diabadikan didalam Undang-undang. Negara, oleh karena itu, ada untuk kebaikan bersama. Secara moral, menjamin kesatuan dari sebuah bangsa, dan demokrasi, kesejahteraan dan kemanusiaan wajib diberlakukan untuk semua.
Diatas bangsa dan negara, ada Kekuasaan Tuhan. Negara dan Bangsa, karena itu, tidak mempunyai pilihan terhadap agama tertentu. Setiap orang berhak untuk menjalankan agamanya masing-masing. Ke 5 sila menjamin hal tersebut, dan terdapat dalam dasar negara, yaitu Pancasila.
Dibawah kepemimpinan Sukarno, memutuskan bahwa kewajiban moral negara, yang disebut sebagai hak moral , harus diletakkan dalam Weltanschauung. Tanpa memandang keseragaman budaya Indonesia sebagai asal dari sebuah negara dan bangsa yang baru, telah diputuskan untuk membuat sebuah aturan moral negara yang baru, yang bersumber pada asas kekeluargaanyang ada pada masyarakat lokal. Dan diharapkan, hal ini dapat membuat masyarakat lokal tidak lagi mempertahankan budaya setempat atau berperang satu sama lain, namun lebih mencurahkan perhatiannya pada perjuangan kemerdekaan negara. Tema utama pada aturan moral yang baru adalah mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan individu dalam melaksanakan pembangunan.
Persiapan Kemerdekaan
Pada bulan Juli 1945, Badan Penyelidikan Kemerdekaan Indonesia (BPKI) di bentuk dengan izin pemerintah pendudukan Jepang. Adalah dewan penasehat pusat pendudukan Jepang, Chuoo Sangi In, yang memberikan perintah ini. Kelompok ini didominasi oleh orang –orang Indonesia disamping perwakilan dari pemerintah Jepang yang jumlahnya sedikit. Badan tersebut menyelesaikan tugasnya pada bulan Juli 1945. Pada bulan Agustus 1945, sebuah komite yang baru dibentuk. Komite ini dinamai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
BPKI, bekerja sama dengan Jepang, menyelesaikan draft UUD pertama pada tanggal 17 Juli. PPKI , menyelesaikan tugasnya tanggal 18 Agustus 1945. Pada tahun 1956, atas perintah Sukarno, sekali lagi Dewan Konstituante dibentuk. Tugas dari Dewan ini adalah untuk menyiapakn sebuah UUD baru untuk menggantikan UU Federal yang diberlakukan oleh Belanda pada tahun 1949.
Walaupun hal-hal politis memainkan peran dalam diskusi ini, hal yang bersifat ideologis lebih berperan. Peserta datang dengan pandangan bahwa sebuah kesatuan negara adalah sangat vital bagi kesejahteraan dan itu lebih baik untuk berdiri bahu membahu. Penekana bahwa kesatuan bangsa merupakan prinsip dasar dari nasionalisme Indonesia, dapat dilihat lagi pada kedua UUD Indonesia, maupun pada konsep gotong royong Sukarno, dan pada konsep ‘pertempuran jarak dekat’ Suharto. Hal tersebut juga merupakan salah satu prinsip dalam Pancasila. Issue utama adalah, sumber kesatuan bangsa : apakah itu bahasa, sejarah, daerah, atau ras/suku ? Beberapa perbedaan mendasar dari sebuah pendapat muncul dalam percobaan untuk mendapat konsensus., yang memainkan peran penting dalam politik negara.
Adalah perbedaan pendapat dan pandangan yang menjadi sumber dari persatuan dan kesetiaan terhadap bangsa, dan cara bagaimana hal tersebut dapat digerakkan, yang tetap membuat hati dan pikiran bangsa Indonesia dapat terus bergerak sampai hari ini dan melanjutkan sejarah bangsa Indonesia pasca-perang. Dalam kerangka kesatuan bangsaselalu ada ruang untuk berdiskusi dan berjuang bagi pembangunan nasional. Di Indonesian sendiri, ada kebiasaan untuk berbicara tentang nasionalisme sekuler. Hal ini bertentangan dengan golongan Islam Indonesia. Nasionalisme dilahirkan oleh golongan nasionalis. Islam dilahirkan oleh golongan Islam. Lalu, kesan yang muncul adalah di Indonesia terjadi pertentangan antara kelompok nasionalis non-religi dengan Islam sebagai kelompok religius.
Saya menganggap ini sebagai penyederhanaan yang berlebih-lebihan. Walaupun pandangan ini, tanpa diragukanlagi, memiliki kegunaannya dalam aturan internal, mengaburkan perbedaan dalam setiap arus pemikiran, maupun persaingan yang dinamis antar pandangan tersebut. Apa yang pernah dikatakan oleh tokoh-tokoh politik dalam pandangan mereka tentang nasionalisme Indonesia adalah bahwa sifat hubungan antara nasionalisme sekuler, dan religi atau Islam diabaikan.
Dalam bab ini saya akan mencoba untuk adil terhadap pandangan para pemimpin Indonesia. Saya membedakannya dalam 3 kecenderungan: nasionalisme progresif Sukarno, yang secara politis berpengaruh dari tahun 1950an sampai 1965; nasionalisme konservatif, setelah tahun 1965; dan nasionalisme Islam, sejak tahun 1945, yang secara pasti .........bagi dirinya sendiri dan dengan kehadiran pihak lain. Dalam ketiga kecendrungan utama ini kelompok kecil, dan sekolah-sekolah dapat dibedakan. Tidak ketiga kecenderungan tersebut akan dibahas pada bab ini dan hanya satu tendensi utama saja , yaitu nasionalisme progresif.
Nasionalisme progresif Sukarno didasarkan pada kerjasama antara penganut Marxis dan Muslim untuk kepentingan pembangunan nasional. Nasionalisme konservatif didasarkan pada kerjasama antara birokrasi pemerintahan, pihak bangsawan, dan angkatan bersenjata. Kedua hal ini di gunakan dalam memimpin kaum tani, buruh dan pedagang menjadi sebuah keluarga yang giat dan bahagia menuju negara Indonesia yang baik dan makmur. Nasionalisme Islam dibagi menjadi Islam yang protagonis dan beberapa kelompok yang melihat Islam sebagai sebuah instrumen nasionalisme Indonesia. Ketiga kecenderungan ini berakar dalam konsep bangsa dan negara, yang telah dikembangkan dalam UUD 1945. Konsensus pandangan yang muncul dalam pembahasan adalah normal bagi para pemimpin politik sekarang ini. Saya menyebutnya nasionalisme 1945.
Sekalipun ada perbedaan mendalam tentang peran dan posisi Islam di Indonesia baru, dan jenis organisasi kenegaraan (republik, kerajaa, persatuan, atau negara federal), itu adalah jelas bagi para anggota Dewan Konstituante 1945, bahwa prisip negara Indonesia tidak terletak pada sesuatu yang membuat Indonesia terpecah. Pendapat yang akhirnya dapat diterima ,adalah bahwa sesuatu seperti bentuk negara, agama, kelas, letak, bahasa dan budaya daerah, sejarah serta keadaan ekonomi local dan daerah serta pandangan politik tidak boleh dibiarkan mengganggu kesatuan bangsa. Hal yang menjadi masalah bagi anggota komite adalah bahwa prinsip bersama harus dapat dibuat agar Indonesia mendapat tempat yang terhormat dalam komunitas dunia. Sukarno dan pendukungnya melanjutkan pandangan bahwa prinsip ini dibangun dalam perjuangan selama berabad-abad melawan kolonialismedan imperialisme barat.
Dalam perjuangan ini, telah dipastikan, bahwa semua akan belajar untuk membentuk diri berdasarkan pada nilai dan tujuan nasional. Kemudian, seseorang akan dapat melepaskan ikatannya terhadap latarbelakang kelas atau kota. Hanya dengan dasar itulah kemerdekaan akan dapat diraih dan kemerdekaan pembangunan nasional dapat berhasil. Nasionalisme seperti ini utamanya diperuntukkan bagi masa depan. Nasionalisme tersebut tidak mebikatkan diri pada apa yang telah terjadi pada Indonesia namun lebih kepada membuat Indonesia baru. Hanya dengan itu Indonesia dapat menjadi Indonesia yang sesungguhnya.
Bagaimanapun, adalah jelas bagi anggota komite bahwa sesuatu yang baru harus segera ditemukan, yang dapat menyatukan dan mengarahkan pikiran bangsa Indonesia dan menggantikan budaya , agama, dan sejarah lokal sebagai sumber nasionalisme Indonesia. Kemungkinan Ketua Radjiman lah yang meminta Sukarno memberikan pernyataan bagi masalah ini.
Dalam pertemuan tanggal 1 Juni, Sukarno memberikan ‘sesuatu yang baru’ ini sebuah nama dan mendukung pembentukan Weltanschauung.
Kami melihat d dunia ini ada banyak negara yang bebas dan merdeka, dan banyak negara merdeka tersebut ada berdasarkan Weltanschauung, seperti Weltenschauung Marxis-Materialis. Jeppang membangun negara Dai Nippon dengan dasar Tennoo Koodoo Seishin,...Saudi Arabia, Ibn Saud mendirikan negara Arab dengan Weltenschauung, bahkan dengan dasar agama, dalam hal ini Islam. Pare idelais di seluruh dunia bekerja sepenuhnya dalam pembentukan bermaca-macam Weltenschauung, bekerja untuk mewujudkan bermacam-macam keinginan mereka akan Weltenschauung.
Sesungguhnya, Sukarno menilai Weltenschauung sebagai produk yang dibuat oleh para idealis politik yang memberikan negara mereka fondasi moral dan spiritual yang baru. Dalam hal ini , akhirnya manusia menjadi pemimpin dalam sejarahnya sendiri dan bagi moral dan aturannya. Bagaimanapun, apa yang menjadi sumber dari Weltenschauung. Sesungguhnya tidak hanya kenyataan yang ada pada suatu titik tertentu dalam ruang dan waktu. Hal tersebut harus diciptakan dalam pandangan perjuangan emerdekaan , dan diadaptasi atau dire-kreasikan kapan pun diperlukan.
Kenyataan nya bahwa, banyak didalam lingkaran para nasionalis, satu melihat kedepan daripada sekitarnya yang merupakan satu fenomena baru. Tetapi pemikiran untuk menciptakan sebuah pandangan khusus untuk tujuan politik bukanlah sesuatu yang baru. Dalam pidatonya yang terkenal pada 1 Juni 1945, Sukarno sendiri mangakui bahwa pemikiran sebenarnya akan Weltenschauung Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Dia kemudian menunjukkan berapa lama waktu yang dihabiskan oleh pencipta pandangan dunia yang baru untuk menghasilkan ide yang memuaskan, dan berapa banyak yang telah dihabiskan bagi sebuah ide dan pemikiran baru oleh pencipta awal. Tidak ada sau pun tokoh nasionalis pra-perang Indonesia yang disebut dan lebih banyak perhatian diberikan kepada ide-ide pemikir asing. Paling tidak, ucapan Yamin tidak termasuk dalam pernyataan.
Bagaimana pun, walau nasionalisme Indonesia sebelum perang, menurut pernyataan Yamin, tidak pernah menjadi subjek utama dalam pembahasan selama rapat komite, semangat diskusi dalam BPKI dan PPKI berakar dari sumber lama nasionalisme Indonesia. Dan sangat berhubungan dengan , contohnya, deklarasi prisip-prinsip Dewan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda, Perhimpunan Indonesia, pada bulan Maret 1923. Dalam deklarasi pertama tanggal 1 Maret, penyataan tekanan bangsa Indonesia diumumkan : baik ekonomi dan politik. Hal ini memerlukan perjuangan nasional untuk kemerdekaan: sebuah perjuangan untuk kebebasan politik dan perjuangan terhadap modal asing. Dalam deklarasi yang kedua, tertanggal 3 Maret 1923, prinsip-prinsip demokrasi di letakkan sebelum prinsip perjuangan bangsa untuk kemerdekaan. Hal ini menyiaratkan tentang demokrasi ekonomi dan politik.
Masa depan Indonesia sepenuhnya dan semata-mata bergantung pada sebuah institusi pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya, karena dalam bentuk sebuah pemerintahan, sifat-sifat tersebut dapat di terima oleh rakyat....Saudara-saudara ! Dari deklarasi ini pertama kali muncul, konsep persatuan, yang mencakup seluruh isi deklarai. Dan setelahnya konsep demokrasi diberikan tempat yang terhormat, dan dibelakangnya, sebuah elemen demokrasi yaitu konsep kemerdekaan dapat terlihat.
Anggota dewan perhimpunan pelajar yang menandatangani deklarasi ini adalah Mohammad Hatta, Darmawan, Mangoen Koesomo, mahasiswa hukum Iwa Koesoma Soemantri, dan Sastromoeljono, dan seorang mahasiswa kedokteran J. B. Sitanala. Semangat dan pesan yag terkandung dalam deklarasi ini hampir sama dengan apa yang didiskusikan oleh Dewan Konstituante tahun 1945. Hal ini tidak mengejutkan, karena hampir seluruh anggota Dewan Konstituante merupakan anggota perhimpunan pelajar Indonesia di Belanda. 2 anggota perhimpunan yang memproklamirkan deklarasi pada bulan Maret adalah Hatta dan Sastromoeljono, juga merupakan anggota Dewan Konstituante. Juga para anggota BPKI, MR A. A. Maramis, Dr R. Koesoema Atmadja, Mr. Ahmad Soebarjo, Dor Soekiman dan Mr Sartono serta yang lain merupakan anggota perhimpunan tersebut. Anggota perhimpunan yang lain menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNUP), dewan sementara pemeritah Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus.
Tak heran bahwa ide yang didiskusikan oleh Dewan Konstituante 1945 benar-benar bergaya Eropa dan merupakan sebuah iedologi yang diciptakan di Belanda oleh anggota perhimpunan pelajar Indonesia. Mereka sangat berhutang-budi terhadap konsep-konsep Rousseau tentang kedaulatan rakyat. Karena memang, bebrapa dari mahasiswa ini tidak hanya tinggal dan belajar di Belanda, tapi juga berada di Paris untuk beberapa waktu; dan mereka merupakan anggota kelompok Hatta; Hatta tinggal di Paris tahun 1923, dimana ia tinggal selama beberapa waktu. (Poeze, 1986; 178-9).
Sumber semangat dari pertemuan BPKI dan PPKI adalah artikel Soekarno yang ditulis di koran Soeloeh Indonesia Moeda tahun 1926, yang berjudul ‘Nasionalisme, Islam dan Marxisme’. Dalam artikelnya Sukarno menulis tentang Nasionalime :
Nasionalisme ! Menjadi nasional! Tepatnya ditahun 1882 , Ernest Renan mempublikasikan pemikirannya tentang konsep “Kebangsaan’, menurut oengarang ini merupakan semangat hipu, prinsip intelektual yang muncul dari 2 hal: pertama, seseorang dimasa lalu harus bersama-sama menghadapi apa yang akan terjadi di masa depan, kedua, seseorang pada saat ini harus memiliki keinginan , harapa untuk hidup dan menjadi satu. Bukanlah ras, bahasa, agama , kesamaan kebutuhan maupun batas tanah yang membentuk suatu bangsa. ....(Sukarno, 1959,I:3)
Artikel tersebut secara jelas mengomentari tentang muncul dan jatuhnya Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada dekade kedua dan ketiga abad ini. Memerlukan kerjasama antara nasionalis, Islamis dan komunis dari pada mencerai-beraikan ketiga pergerakan ini seperti yang terjadi pada periode itu. Dalam tahun 1950an, kerjasama tersebut memberikan tumpuan bagi keinginan Sukarno untuk menhidupkan semangat revolusi dan menggerakkan umat Islam dan Marxis di jalur nasionalis. Dokumen utama pergerakan ini , Manifesto Politik, disebut Nasakom, sebagai strategi utama nasionalis. Strategi Nasakom ini berisi pemikiran Sukarno yang tertulis dalam artikelnya tahun 1926.
Terpisah dari banyaknya ‘Arabisme’ dalam kutipan dan bangsa Indonesia yang ditulis., tulisan ini sangatlah Eropa dalam hal semangat dan isinya. Ia nya menggabungkan diskusi pada akhir abad-19 di Perancis dan Jerman tentang sifat-sifat dari sebuah konsep kebangsaan, yang terjadi setelah berakhirnya perang Franco-Prussian di tahun 1871. Tetapi ada perbedaan. Saat sejarawan Jerman dan Perancis terfokus pada akar sejarah bangsa masing-masing, Sukarno mengemukakan, dalam pandangan nya bahwa asal nasionalisme yang sebenarnya adalah perjuangan kemerdekaan dan semua nya diperlukan untuk tujuan tersebut : seluruhnya demi kepentingan bangsa Indonesia. Dengan pandangan ini, ia memilih berada dalam posisi yang sama dengan para anggota perhimpunan pelajar Indonesia di Belanda pada tanggal 1 dan 3 maret 1923 .
Internasionalisme dan Kemanusiaan
Orientasi intelektualitas Sukarno lebih daripada teman-temannya yang lain, baik itu internasionalis maupun tokoh kemanusiaan; ia berpikir bahwa adalah sangat penting bagi para nasionalis Indonesia untuk bertemu dengan kolega-kolega asing. Orang Indonesia adalah manusia; mereka mampu mendapatkan banyak ilmu pengetahuan, filsafat dan teknologi dari bangsa lain. Posisi ini juga menjelaskan kenapa, dalam tulisannya tentang Pancasila, yang di kemukakannya dalam rapat BPKI, ia menempatkan internasionalisme dan kemanusiaan setelah nasionalisme dan sebelum hal-hal seperti demikrasi, sosial, kesejahteraan dan agama (Yamin , 1959, I:73,77). Kemerdekaan tidak boleh dikungkung oleh isolasiisme dan kebanggaan berlebihan terhadap diri sendiri.
Saudara-saudara..Tetapi.....prinsip kebangsaan seperti ini adalah sangat berbahaya! Bahanynya adalah orang menajamkan rasa nasionalisme menjadi chauvinisme dan membawa pengertian sebagai ‘Indonesia uber Alles’. Hal ini sangat berbahaya ! Kita cinta dengan tanah air kita. Tetapi tanah air Indonesia kita hanya lah bagian kecil dari seluruh dunia ! Tolong di ingat! Gandhi pernah mengatakan : ‘ Saya adalah seorang nasionalis, tetapi nasionalisme saya adalah kemanusiaan’ (Yamin , 959, I: 73)
Semangat dari pernyataan ini sangat bertentangan dengan pendapat bangsa Indonesia tentang hak asasi manusia. Tahun 1964 , Sukarno mengulang pandangan nya tentang kebebasan beragama . Tidak dapat dipungkiti bahwa Sukarno, sekalipun dengan persetujuan para nasionalis, memasukkan idealisme politik dalam diskusi ini.
Muhammad Hatta,diawal periode BPKI, mengatakan bahwa penekanan yang kuat akan kesatuan terlalu kuat berhubungan dengan ‘disiplin yang mati’ dan kepemimpinan absolut Presiden (Yamin, 1959; I299-300,360-2). Selain itu, ada pendapat , bahwa Indonesia, dalam perjuangannya untuk mencapai kemerdekaan, memerlukan kepemimpinan politik yang kuat dan kokoh. Hal ini berpengaruh dalam pemberian kekuasaan eksekutif kepada kepala negara. Sistem presidensial, seperti di Amerika Serikat, bertindak sebagai model. Selain itu, tulisan singkat tersebut memberikan kejelasna bahwa hampir seluruh peserta rapat tidak berkeinginan untuk memaksakan bentuk kepemimpinan nasional diaats rakyat Indonesia tanpa melalui permintaan dan pemilihan oleh rakyat tersebut. Karena itu, beberapa anggota komite meminta sebuah prosedur yang terdiri dari 2 tahap : satu adalah bagaiman deklarasi kemerdekaan dipersiapkan, dan kedua adakah pendapat rakyat diminta, adalah isu dalam pertemuan BPKI ( Yamin , 1959 I:161-2, 163,173-4). Karena situasi inilah Soepomo, arsitek utama UUD 1945 memutuskan bahwa UUD bersifat sementara, yang setelah pemilu pertama, akan digantikan dengan yang baru, berdasarkan persetujuan rakyat.
Hatta tetap berkeberatan dengan hal tersebut. Konsentrasi kekuasaan eksekutif berada di tangan Presiden , karenanya, UUD harus mengandung aturan tentang penyalahgunaan kekuasaan tersebut. Kemudian, dalam tingkatan yang lebih luas, Presiden menjadi eksekutor dalam MPR yang diadakan tiap 5 tahun sekali. Dalam hal ini, Presiden bertanggung jawab terhadap kebijakan nya didepan Kongres. Bagaimanapun juga, MPR tidak secara langsung dipilih, dan tanggung jawab ministerial, kepada Parlemen , termasuk kepada kepala negara tidak ada. Aturan tentang hubungan intrapemerintah diserahkan kepada legislator, jadi, ada resiko besar bahwa presiden sebagai kekuasaan legislatif tertinggi ngara akan mamanipulasi Kongres dan Parlemen untuk menghilangkan kekuasaan kontrol dari 2 institusi tersebut.
Ada juga, perihal tentang perlindungan seseorang terhadap penyalahgunaan kekuasaan politik dan pembelaan hal-hak demokratis, sperti hak bebas berbicara, berkumpul dan berorganisasi. Masalah ini juga diserahkan kepada legislator.
Bukan Sukarno melainkan Soepomo , mantan anggota Volksraad dan anggota Budi Utomo serta Prindra, yang secara berulang-ulang menjadi penjawab pernyataan Hatta, menyatakan tentang prinsip negara kesatuan. Tidak ada yang boleh memecah-belah bangsa dan negara, bahkan ketentuan-ketentuan dalam hukum perundang-undangan. Karena itu, presiden menikmati kekuasaan legislatifnya(artikel 5); tanggung jawab ministerial adalah masalah pelaksanaannya antara presiden dan kabinet. Hak-hak perseorangan dan demokrasi di Indonesia diperlakukan sebagai sebagai kesatuan politis dan sosial. Hal tersebut diatur dalam hukum yang terpisah, tetapi tidak didalam UUD.
Hatta tidak mau mengometari hal tersebut. Kelihatannya ia, menarik diinya dari situasi tersebut. Selama sisa hidupnya, ia tetap bekerja untuk nasionalisme Indonesia. Ia kerap kali menjengkelkan presiden dan para eksekutif dengan membandingkan sistem politik di Indonesia dengan sistem demokrasi parlementary modern.
Tanggapan Soepomo sangat mudah untuk dimengerti jaka seseorang menganut konsep Barat yang tak memihak. Hal ini didasarkan pada prinsip persamaan seluruh manusia dalam hukum, baik secara umum maupun individual. Untuk penerapah dari prindip tersebut, demokrasi gaya barat tidak diperlukan. Bentuk pemerintahan ala Indonesia sudah cukup. Contoh-contoh yang diberikan Soepomo dalam hal ini adalah, Nazi Jerman dan Kekaisaran Jepang sebelum perang. Kesatuan kepemimpinan dan pendirian , dianggap lebih mirip dengan kepemimpinan lokal di indonesia dibandingkan dengan sistem politik di Perancis, Amerika Serikat atau Uni Soviet. Desa-desa didaerah Jawa dan Minangkabau, contohnya, menunjukkan pengertian yang sama dari asas kekluargaan, yang juga menjadi tipikal Nazi Jerman dan Kekaisaran Jepang sebelum perang. Uni Soviet, mewakili sebuah sistem revolusi berkelanjutan dan perjuangan kelas masyarakat, walau memiliki pandangan yang kuat pula, sedangkan celah antara demorkrasi politik dan ekonomi yang terjadi di Perancis dan Amerika Serikat, membuat sistem politik di negara-negara ini tidak cocok dengan sistem di Indonesia. Baik perjuangan kelas masyarakat, maupun indivdualisme dan dualisme politik tidak boleh terjadi di indonesia. Tak seorang pun boleh mengekpolitasi dan menekan warga negara lainnya demi kepentingan pribadi maupun kekuasaan , kesejateraan dan latarbelakangnya. Hanya Negara yang merupakan kekuasaan dalam negara. Serta berdasarkan atas kedaulatan rakyat, yang diterapkan dalam MPR. Alat pemerintahan ini harus diisi melalui pemilihan, seperti aparat desa yang dipilih dengan cara yang sama . Dialog antara pemerintah dan rakyat harus dapat menyiapkan dasar bagi keputusan dan aturan-aturan yang dapat disetujui setiap orang, seperti yang telah dilakukan di Indonesia selama ribuan tahun melalui musyawarah dan mufakat. (Yamin , 1959, I: 112-13).
Dengan tegas, pemikiran tentang rakyat dan negara kesatuan yang terpisahkan dapat ditemukan pada pasal 33 UUD 1945. Pada pasal ini, tertulis bahwa ekonomi akan diorganisir berdasar atas asas kekeluargaan (koperasi), dimana negara akan mengendalikan seluruh cabang industri dan segala sumber daya alam yang penting bagi kehidupan rakyat. Kedua paragraf awal dari artikel ini, sekarang menjadi 3 paragraf, dibahas di bagian akhir sidang Dewan Konstituante, pada tanggal 18 Agustus 1945. Yang mengherankan dalam kontek ini, adalah beberapa catatan (dicetek tebak dibaqwan ini) dimana Yamin menempatkan nya pada catatannya, setelah diskusi :
Bab XVI Kesejahteraan Sosial : Pasal 33 Sub 1 : Ekonomi akan diatur berdasarkan atas asas kekeluargaan. Kolektifisme
Sub 2 : Cabang-cabang Produksi yang penting bangi negara dan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara’ Sosialisme
Orang tidak dapat mengira bahwa dai sini Yamin menilai para anggota Dewan Konstituante adala komunis atau sosialis. Sesunguhnya, bagi kaum nasionalis di wilayah koloni Eropa, Soviet, sebelum perang dunia ke 2, dianggap sebagai model yang paling bagus dari sebuah negara, dimana telah membebaskan drinya dari kungkungan sebuah rejim dan menempatkan ekonomi dibawah kontrol rakyat , yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Tetapi, begitu juga Nazi Jerman dan Kekaisaran Jepang sebelum perang. Intinya adalah, dalam mencari contohsistem politik dari negara lain yang cocok dengan bangsa Indonesia dalam perjuangannya untuk kemerdekaan, kolektifisme, dan sosialisme, dalam bentuk apa pun, menyiaratkan sosialisasi dalam artian produksi, dekat dengan artian sistem keluarga. Dalam pidatonya tanggal 31 Mei sebelum sidang Dewan Konstituante, Soepomo mengatakan :
Setiap negara memiliki karakteristiknya masing-masing yang berhubugan dengan sejarah dan struktur sosila dari masyarakatnya. Untuk alasan tersebut kebijaksanaan pembangunan negara Indonesia harus sejalan dengan struktur sosial masyarakat Indonesia,....prinsip-prinsip persatuan antara pemimpin dan rakyat dan persatuan seluruh bangsa, sesuai dengan pemikiran orang Timur,....negara Dai Nippon berdasarkan persatuan fisik dan mental yang abadi antara Yang Tertinggi Tennoo Heika dan seluruh bangsa dan rakyat Jepang.
Tennoo merupakan tokoh pusat dari seluruh rakyat. Negara berdasarkan semangat kekeluargaan.... dasar dari persatuan dan semangat kekeluargaan ini sangat cocok dengan sifat bangsa Indonesia...(Yamin, 1959, I:111-13).
Secara alamiah adalah penting untuk menggerakkan sistem kekeluargaan lokal dalam hal perjuangan kemerdekaan keluarga nasional. Hal ini memerlukan kontrol pusat bagi pembangunan ekonomi, dalam hal ini pemerintah tidak mengambil posisi didepan rakyat melainkan sebagai perwakilan vis –a-vis berhadapan dengan penjajah. Politik dan ekonomi haruslah menjadi satu dan tak terpisah-pisah demi alasan strategis dan ideologi.
Pada waktu yang sama ada sebuah kepentingan praktis di pasal 33. Koloni Hindia Belanda adalah penyuplai bahan mentah bagi Belanda dan dunia Barat. Produk makanan dan pertanian maupun hasil tambang dan produksi hidrokarbon berada dalam kontrol penjajah. Perjuangan kemerdekaan betujuan untuk mengakhiri situasi ini dan mengalihkan kontrol tersebut kepada rakyat Indonesia. Untuk menghindari konflik kepentingan diantara rakyat dalam peruangan, nasionalisasi sumber daya alam diseluruh wilaya kepualauan, dan dengan kontrol negara tak dapat dielakkan. Kontrol negara terhadap ekonomi bukan hanya sekedar masalah ideologi tetapi diatas segala hal yang dilakukan untuk bertahan bagi negara yang sedang berjuang untuk kemerdekaannya, hal tersebut sama dengan yang terjadi di Rusia, Jerman dan Jepang sebelum perang dunia ke-2.
Dalam sebuah brosur tanpa tanggal (kemungkinan sekitar tahun 1959) milik Kementerian Penerangan Indonesia, sebuah komentar tertulis :
Pada pasal 33 terdapat landasan demokrasi ekonomi....Adalah kemakmuran rakyat yang ditekankan, bukan kemakmuran individu. Untuk alasan itu, ekonomi diorganisir sebagai tujuan bersama, berdasarkan atas asas kekeluargaan. Koperasi adalah bentuk dari sebuah usaha yang sejalan dengan hal ini......Karena itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan memperngaruhi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara...(Departemen Penerangan, 1959:22)
Ungakapn yang berhubungan dengan terjemahan bagian pertama dari pasal 33 yang tertulis dalam brosur tahun 1959 tersebut : Ekonomi harus diatur dengan cara kerja sama.’ Itu juga berhubungan dengan dukungan Hatta untuk ekonomi koperasi, begitu juga dengan penjelasan Sukarno soal pertentangan terhadap individualisme dan liberlaisme : indivudualisme dan liberalisme memberikan hak kepada setiap individu dan kelompok untuk menjauhkan ( mengambil) barang dan kekayaaan dari masyarakat, dan memperlakukan kekayaan tersebut sebagai properti eksklusif. Ini adalah suatu sisem dan kebiasaan yang membawa rakyat Indonesia kepada kolonialisme Eropa dan hal tersebut harus dihilangkan.
Dalam hal ini, Kementerian Penerangan secara tepat mangkarakteristikan semangat Sukarno dalam mengkampanyekan revolusi Indonesia : urusan dengan kolonial di masa lalu harus diselesaikan. Dalam kontek tersebut, kepemilikan asing di Indonesia harus dinasionalisasikan dan dikembalikan kepada rakyat Indonesia. Pada point ini, telah lah jelas apa yang Sukarno maksudkan dengan demokrasi ekonomi dalam UUD 1945 : tidak ada lagi juragan gula dan tuan tembakau, yang dilindungi oleh pemerintah kolonial, yang mengontrol pertanian, melainkan petani yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia. Negara dan individu tidak lagi saling berhadapan dalam bidang ekonomi, namun bekerja sama dalam bingkai kekeluargaan, berdasarkan aturan-aturan yang dibuat oleh Kongres Rakyat.
Penting dalam hal ini adalah apa yang Sukarno katakan tentang ekonomi sebelum pertemuan BPKI tanggal 1 Juli 1945. Ia merujuk pada sosialis Perancis bernama Jean Jaures yang mengamati bahwa ‘dalam demokrasi parlementer buruhbahkan memiliki hak untuk memilih dan bahkan memiliki hak untuk membubarkan kementerian apabila mereka mau. Secara ekonomi, bagaimanapun juga, mereka tak memiliki kekuatan. Jika sang bos ingin memecat mereka maka sang bos dapat melakukannya dengan mudah. Sukarno mengatakan bahwa ‘ini tidak dapat menjadi contoh demokrasi di Indonesia’. Dalam sistem demokrasi parlementer di Indonesia, pekerja memiliki kekuatan ekonomi juga. Sistem demokrasi parlementer Indonesia menjadi sistem demokrasi politik ekonomi terbaik. Demokrasi kemudian berhubunagn dengan cerita rakyat terkenal akan adanya Ratu Adil (Yamin , 1959 I:76).
Patut dicatat didalam kontek ini bahwa terjemahan dalam bahasa Inggris padaSpetember 1945 mengikuti komentar dalam bahasa indonesia yang dilampirkan bersama UUD. Pemahaman yang diberikan dalam brosur tahun 1959, juga, mencerminkan pandangan Sukarno dan BPKI tahun 1945.
Mengenai Islam
Isu tentang peranan dan posisi Islam di Indonesia hampir menjadi isu yang berkembang di BPKI. Kaum nasionalis berpendidikan Barat memberikan pandangan menurut sudut pandang masayrakat Barat : pemisahan agama dan negara. Hal ini juga merupakan aturan dalam pemerintahan kolonial. Dalam BPKI para pemimpin Islam mulai bertanya tentang sudut pandang ini. Taktik mereka ditujukan pada kaum nasionalis untuk pembentukan sebuah negara kesatuan, bukan negara federal. Pilihan antara negara monarki atau republik, yang diawal dianggap mengancam keberadaan Dewan Konsituante, tidak dianggap sebagai isu utama., oleh karena itu, keinginan untuk sebuah negara yang tak terbagi-bagi, ingin diwujudkan dalam bentukk sebuah negara Islam.
Negara seperti ini, tidak mengenal pemisahan agama, negara dan masyaraket. Walaupun argumen seperti ini benar dalam kontek diskusi, pengacara Soepomo menformulasikan apa yang menjadimasalah kaum nasionalis dan non-agamis.
Yang Terhormat Saudara Moh. Hatta telah menjelaskan secara detail bahwa dalam negara kesatuan Indonesia, masalah keagaman harus dipisahkan dari masalah negara. ...Tuan tuan, membentuk negara islam di Indonesia bukan berarti kita telah membentuk negara kesatuan , Membenuk negara Islam di Indonesia berarti menciptakan sebauh negara yang berhubungan dengan kelompok terbesar, yaitu kelompok Islam. Jika sebuah negara islam terbentuk di Indonesia maka masalah terhadap kaum minoritas akan muncul (Boland, 1971; Yamin 1959, I: 109-21)
Pembentukan sebuah negara Islam tidak akan membiarkan pemisahan agama, negara dan masyarakat tetapi akan mendiskriminasikan kelompok-kelompok tertentu berdasarkan prinsip-prinsip agamanya. Hal ini tidaklah dapat diterima dalam sebuah negara modern dimana persamaan seluruh warga negara diatur dalam undang-undang. Kesempatan untuk saling berunding kemudian diambil dan berakhir dalam proposal pembukaan UUD, yang diberikan dalam pertemuan 22 Juni 1945. Kemudian , setelah PPKI dalam pertemuna tanggal 18 Agustus memutuskan untuk menghilangkan semua pernyataan tentang Islam dari pembukaan UUD, proposal ini kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta. Dokumen ini berisi tentang sebuah konsep kemerdekaan yang berbuny : ‘Kemerdekaan Negara diatur dalam UUD Negara Indonesia, yang merupakan republik berkedaulatan rakyat dan didirikan berasaskan Ketuhanan YME, dengan kewajiban para pemeluk agama Islam untuk menjalankan syariah Islam...(Departemen Penerangan , 1959:14).
Jika kemerdekaan adalah untuk semua, maka penyebutan kelompok tertentu baik dalam pembukaan maupun dalam UUD tidak berdasar. Piagam Jakarta, kemudian, berstatus meragukan. (Boland, 1971 I:36-7).
Masalah tersebut diselesaikan dengan mengakui negara Indonesia sebagai negara bukan sekularis, namun menghormati kebebasan beragama seluruh warga negaranya. Tuhan berada di atas seluruh pihak dan negara, dan tidak dapat menjadi subjek yang didiskusikan dalam proses perancangan UUD. Poin tersebut diuraikan terpisah pada pasal 29 , yang mengatur tentang kebebasan beragama, dan juga didalam naskah Pancasila yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara agamis.
Keinginan akan Islam pada akhirnya menjadi valid untk semua agama dalam lingkup kenegaraan, yang mana, akan bekerja sama berjuang melawan kepitalisme dan imperialisme. Kerangka kerja dimana hal tersebut dapat diwujudkan adalah didalam Parlemen.
Organisasi Negara Menurut UUD 1945
UUD yang dihasilkan dalam pertemuan adalah sementara , hal ini berulang kali ditekankan oleh Sukarno. Hal tersebut berada ditengah-tengah pendapat : demokrasi diatas segalanya atau kemerdekaan dan persatuan diatas segalanya. Dimulai dengan menyatakan bahwa negara adalah Republik Kesatuan , yang berkedaulatan rakyat. Kedaulatan ini harus dibuktikan melalui DPR (pasal 1, bagian 1 dan 2). Bacaan selanjutnya mengungkapkan, bagaimanapunjuga, bahwa anggota DPR hanya dapat dipilih melalui pemilihan tak langsung dan akan menjadi badan penasehat dan perencana bagi presiden. Sedangkan presiden sendiri memiliki kekuatan eksekutif dan legislatif yang lebih jauh (pasal 2 dan 3 ). MPR memainka peran legislatif namun dapat diatur oleh Presiden dalam keadaan darurat. Bukanlah Presiden maupun anggota kabinet yang bertanggung jawab kepada MPR, walaupn anggotanya dapat meminta penjelasan khusus dari keputusan Presiden maupun menteri. (Bab 7).
Dari tulisan pada UUD jelas bahwa masih ada ketakutan diantara anggota BPKI dan PPKI akan kehilangan kekuasaannya pada saat perang. Jadi, disamping menerapkan kedaulatan rakyat, ketetapa-ketetapan dibuat untuk menguatkan kepemimpinan politis kepala negara. Kabinet presidensial menjadi instrument untuk perjuangan kemerdekaan, dibantu oleh MPR, DPR, Kementerian, dan Mahkamah Agung. Pemilihan Umum langsung dilaksakanan untuk memilih anggota MPR dan Presiden, pemilu tak langsung untuk memilih anggota DPR. Lalu, hal tersebut dianggap dapat menghasilkan kepemiminan yang kuat yang dikombinasikan dengan kedaulatan rakyat. Sebuah negara memerlukan pemimpin, baru selanjutnya demokrasi.
Dari awal, isu penting dalam pergerakan Indonesia adalah pertanyaan tentang sikap terhadap bantuan pihak asing terhadap perjuangan Indoneisa. Apakah sejak tahun 1920an masih ada tempat untuk kerja sama dengan penjajah Belanda ? Dikemudian hari, prinsip untuk tidak bekerja sama dengan negara imperialis dan sekutunya berlaku. Hal ini berlaku baik di belanda maupun di Indonesia., khusunya setelah kegagalan pemberontakan PKI tahun 1926 dan 1928. Di tahun 1930an , beberapa kaum nasionalis di Indonesia bersikap lebih bekerja sama. Bagaimana pun, perhimpunan pelajar Indonesia di Belanda yang radikal , Perhimpoenan Indonesia, setelah 1923 tetap bersikap untuk tidak bekerja sama. Apakah sikap BPKI dan PPKI dalam hal ini, ingat bahwa beberapa dari mereka adalah anggota perhimpunan tersebut.
Jawabannya tidaklah mudah. Pada saat berada di Belanda maupun di negara Barat, tidak ada pertolongan yang dapat diharapkan atau diinginkan. Maka sikap yang diambil adalah anti-imperialis. Ada kesiapan untuk melawan Belanda, bila diperlukan. Sikap yang diambil pada saat pendudukan Jepang adalah bekerja sama dengan hati-hati. Salah satu alasannya adalah Jepanglah yang memberi andil dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain sikap radikal anti-imperialis mereka. Selain tiu, kaum nasionalis Indonesia tidak ingin terlibat masalah dengan pihak Jepang. Jepang terlalu kuat , bahkan setelah kekalahan mereka dan selain itu , Jepang tahu banyak akan kekuatan dan kelemahan bangsa Indonesia.
Diskusi BPKI dan PPKI berakhir, dengan persetujuan dari Komando Militer Jepang. Sebuah percobaan yang dilakukan kaum nasionalis muda radikal pada hari pertama pengakuan kekalahan Jepang untuk membujuk Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa seizin Jepang, tidak menghasilkan apa-apa. Salah satu masalah adalah para pemimpin muda tersebut menginginkan agar kedua pemimpin itu mengutuk pendudukan Jepang. Hal ini beresiko timbulnya kerusuhan dengan tentara Jepang, yang di berikan tugas menjaga dan menegakkan hukum dan pemerintahan pada daerah yang diduduki sebelum kedatangan pasukan sekutu yang akan mengambil alih tugas mereka. Persiapan kemerdekaan kemudian dilaksanakan berdasarkan instruksi Jepang. Karena itu Sukarno dan Hatta memutuskan untuk mengikuti jalur dan aturan yang telah diberikan Jepang dan mereka tetap meminta izin dari Jepang.
Setelah kekalahannya, Jepang tidak dalam posisi dapat memberikan dukungan bagi kemerdekaan Indonesia. Mereka setuju, namun tidak mau terlibat terlalu jauh sehingga upacara pun dilaksanakan secara terbatas, secara lokal. Persetujuan ini dicapai pada malam tanggal 16 Agustus 1945. Pertemuan lainnya adalah pertemuan Sukarno dan Hatta dengan para kaum nasionalis muda di rumah Laksamana Maeda, pada Jumat padi tanggal 17 Agustus teks proklamasi kemerdekaan ditulis. Pada jam 10 pagi, Sukarno membaca Proklamasi Kemerdekaan dirumahnya di JalanPegangsaan ang dihadiri oleh Hatta dan beberpa yang lain. Diantara mereka hadir para pemimpin muda. Beberapa jam kemudian, para pekerja Indonesia yang bekerja di kantor berita Jepang Domei, menyiarkan teks tersebut keseluruh wilayah , bersama dengan pesan Hatta dan rekan-rekannya. (Kahin, 1970:124-8).
Adalah jelas bahwa diskusi oleh BPKI dan PPKI bahwa warisan budaya Indonesia hanya memaikna peran yang kecil dalam negara dn bangsa Indonesia.; dalam hal tertentu, karakteristik rasa kesetiaan keluarga pada semua kelompok di seluruh nusantara akan membentuk dasar perjuangan kemerdkaan. Secara umum, contoh-contoh seperti Nazi Jerman dan Kekaisaran Jepang, Konstitusi Amerika, dan Revolusi Rusia dapat dipilih sebagai model. Lebih khusus lagi, pemikiran yang berasal dari masa pencerahan atau Aufklarng (masyarakat dapat dibentuk oleh keinginan orang tertentu) juga dipakai. Karena itu, masyarakat Indonesia baru adalah ciptaan orang/bangsa indonesia bukan hasil dari sebuah kebudayaan, kolonialisasi, dan sejara prakolonial tertentu. Budaya Indonesia adalah hasil dari pembangunan bangsa , bukan penciptanya.Yamin merspon Ki Bagus Hadikusumo karena alasan penggunaan contoh, dan konsep asing dalam pembangunan bangsa, disamping resiko kesalahpahaman dan konflik.
Keberatan bahwa kata ‘republik’ adalah kata asaing adalah tidak terlalu serius. Karena hampir seluruh kata-kata yang digunakan adalah kata-kata asing. Karena itu kita tidak perlu merasa malu unuk menggunakannya , karena kata-kata tersebut berhubungan dengan keinginankita. Karena itu, argumen dari Ki Bagus Hadikusumo tidaklah penting bagi saya dan tidak semuanya benar adanya. (Yamin, 1959: i:173).
Adalah Raden Mas Mr. Soeripto, Presiden Asosiasi Belanda-indonesia, yang dalam artikel Indische Gid tahun 1929 menjelaskan sifat kaum nasionalis.
Judul artikel tersebut adalah ‘Semangat mahasiswa Indonesia di Belanda’. Dilihat secara moral, pendangan Soeripto sangat menyinggung. Mahasiswa Indonesia yang berpikiran nasionalis di Belanda tidak tertarik dengan budaya lokal mereka atau budaya Indonesia secara umum. Mereka adalah kaum nasionalis yang berpandangan kedepan yang tertarik dengan perwujudan kemerdekaan Indonesia. Ini adalah semangat yang mendominasi para anggot BPKI dalam diskusi mereka saat persiapan kemerdekaan.
Mengejar Nasionalisme Progresif
Hanya setelah tahun 1950 situasi kemudian menjadi apa yang Sukarno tulis, dalam artikelnya ‘ Nasionalisme, Islam dan Marxisme’ (1926) di Soeloeh Imdonesia Moeda menjadi bentuk terbaik dari nasionalisme Indonesia (Sukarno, 1959, I:5ff). Ia kemudain menguraikan hal ini dalam artikel tersbut pada sekitar tahun 1950an , dalam doktrin NaSaKom , yang memberi bentuk dalam Manifesto Politik.
Pemikiran utama adalah negara impartial hanyalah alat par excellence dari nasionalisme Indonesia, tetapi mesin penggerak nasionalisme berasal dari luar negara , yaitu bangsa. Hal ini harus didasarkan pada kerjasama antara Islam progrsif dan nasionalis dengan kaum sosialis komunis yang perpikiran nasionalis. Hal ini mencakup semuanya, karena hampir seluruh rakyat Indonesia adalah Muslim, dan setiap orang Indonesia selalu ingin melawan Imperialisme Barat.
Alat utama dari strategi progresif ini adalah kerjasama antara partai komunis, Islam dan nasionalis dibawah kendali Front Rakyat. Ini sangat beresiko, setelah tragedi pemberontakan PKI Madiun tahun 1948, PKI menjadi stigma bagi Masyumi dan Partai sosialis yang dianggap tidak dapat dipercaya, curang dan hanya mementingkan tujuannya sendiri. Sehingga kemunculan partai tersebut dapat menjadi masalah. Bagaimanapun, hubungan dengan Belanda setelah kemerdekaan membuat iklim politik yang lebih menarik untuk kembalinya PKI.
Perpecahanyang terjadi dalam nasionalisme progresif Sukarno adalah pertikaian yang terjadi di Indonesia antara kaum demokrat dan nasionalis terhadap hubungn dengan dunia Barat. Apakah bekerja sama atau tidak ? Aset utama dari sebuah perjuangan adalah kontrol terhadap sektor ekspor, dan pengorganisasiannya : membiarkan investor asing atau mengekploitasinya dibawah pemerintah dan manajemen Indonesia, dan jika perlu, menggunakan bantuan asing untuk kepentingan nasional.
Pergolakan tehadap isu ini dimenangkan oleh kaum demokrat pada masa perjuangan fisik untuk kemerdekaan. Diakhir tahun 1945, setelah kampanye yang dilakukan oleh Soetan Sjahrir dalam memperkenalkan demokrasi bergaya Barat di Indonesia, dan kanmpanye tokoh komunis Tan Malaka serta tokoh kiri nasionalis Mr. Subardjo untuk sebuah rejim nasionalis yang kuat tanpa Sukarno dan Hatta, kedua pemimpin tersebut memutuskan untuk mengikuti sistem yang disarankan oleh Sjahrir. Sebuah kelompok kecil dari pemimpin nasionalis yang berasal dari KNIP telah mengusulkan dalam bulan September untuk memperkenalkan demokrasi parlementer dengan Soetan Sjahrir sebagai pemimpinnya. Sukarno dan Hatta mengetahui keuntungan tkaktis dari proposal mereka. Dalam bulan Novemebr 1945 demokrasi parlementer diberlakukan, dengan Sjahrir sebagai perdana menteri. Bagi Sukarno dan Hatta, ini merupakan jalan terbaik untuk membalas tantangan terhadap pemerintah pusat dan posisi mereka didalamnya, dan , dapat diprediksi partai-partai pertama yang diperbolehkan terlibat dalam dunia politik adalah PKI, Masyumi, PNI, Partai Sosialis dan Partai Buruh Marxis. Komponen politik utama yang Sukarno perlukan untuk strateginya telah ada dan menjamin perwakilan orang-orangnya dalam Parlemen. Sistem demokrasi yang mengkombinasikan dua opsi terbaik untuk perjuangan kemerdekaan pada saat itu adalah demokrasi parlementer dan Front Rakyat Nasionalis progresif.
Kebijakan politik dan ekonomi Sjahrir disukai oleh Hatta, yang dimana, mencari bantuan dari pemerintahan Barat, khususnya Amerika Serikat, Inggris dan Australia dan menarik investasi negara-negara Barat termasuk Belanda. Menurut Hatta dan Sjahrir, kemerdekaan akan dapat diraih hanya dengan dukungan politik dan ekonomi dari phak asing. Dukungan ini akan diberikan apabila Indonesia dapat menjadi seperti negara Barat yang berdemokrasi konstitusional dengan sistem parlementer. Kebijakan ekonomi pintu terbuka sangat penting dalam hal ini. Itu adalah harga yang harus dibayar demi dukunagn dari pihak Barat. Hal tersebut teberada dalam kerangka kerja ini, yang diimbangi dengan keinginan kelompok gerilyawan, dan pasukan reguler Indonesia yang direkrut dari PETA dan heiho, bahwa perjuangan fisik merebut kemerdekaan telah dimenangkan.
Condition Sine Qua Non pihak Belanda untuk pengakuan kedaulatan kepada Indonesia, seperti yang tertulis pada Perjanjian Linggadjati tanggal 15 November 1946, terdiri dari 3 bagaian: 1) Pendirian negara federal (2) Penegakkan demokrasi parlementer dan undang-undang. Dan (3) Pengamanan kepentingan-kepentingan ekonomi belanda. Syarat yang pertama diakhiri dengan penggabungan dua negara bagian negara federal kedalam negara Republik Indonesia pada tahun 1950. Syarat kedua dapat disatukan dengan strategi Sukarno dan Hatta. Syarat yang ketiga dapat diterima dengan harapan bahwa Belanda akan mempromosikan investasinya di Indonesia. Hal ini menjadi sia-sia saat kekeras kepalaan kabinet Belanda yang ingin memberikan Papua Nugini Belanda status Republik, kaum nasionalis mulai mengkampnyekan peng- Indonesia-an dan kemudian, nasionalisasi sektor ekspor. Sukarno mengambil jalan ini, sedangakan hatta tetap dengan strategi kooperatifnya. Mereka masing –msing terpecah di tahun 1956, setelah diskusi tentang Papua Nugini berakhir, dan Indonesia secara sepihak keluar dari Persemakmuran Belanda. Kemudian, Sukarno mendedikasi kan hidup dan karir politiknya untuk strategi nasionalisme progresif. Demokrasi parlementer secara terbuka dikritik dan dikatakan merugikan perjuangan nasional untuk kemerdekaan politik dan ekonomi: Itu akan membagi-bagi negara dalam banyak faksi da kelompok dan menghancurkan kesatuan ekonomi dan politik yang diperluakn untuk perjuangan tersebut.
Ada 3 momen penting dalam perkembangan nasionalisme progresif di tahun 1950an. Yaitu :
1. Kembalinya Partai Komunis diawal 1950an setelah kegagalannya dalam pemberontakan di Madiun , September 1948.
2. Pemutusan hubungan dengan Belanda tahun 1956, yang menghasilkan filosofi dan kampanye pembangunan nasional yang baru; politik dan ekonomi nasional akan di organisir kembali untuk memperbaiki hubungan antara ekonomi dan politik yang telah dirusak oleh sistem demokrasi palementer.
3. Rehabilitasi UUD 1945 di tahun 1959, bersamaan dengan diberlakukannya sistem demokrasi politik dan ekonomi terpimpin.
Yang terpenting dari ketiga hal diatas adalah pemutusan hubunagn dengan Belanda tahun 1956. Dengan pemutusan tersebut, kaum nasionalis, dengan Sukarno sebagai pemimpinnya, memilih untuk sebuah sikap kepercayaan diri.Hal ini memberikan kesempatan bagi Sukarno untuk memformulasikan progam pembangunan nasional dibawah payung revolusi nasional (perjuangan final untuk kemerdekaan negara). Seluruh kelompok yang berpartisipai dalam arena politik harus bersatu dalam kepempimpinan Presiden sebagai mandataris MPR dan berjuang untuk kemajuan politik dan ekonomi. Deklarasi Kongres Perhimpunan Indonesia di Belanda, Maret1923, maupun Program Front Demokrasi Rakyat tahun 1948, akhirnya dilaksanakan, berdasarkan UUD 1945, yang diungkapakn dalam UUD 1945 dan pembukaannya, serta Pancasila. Tujian pertaman dari perjuangan kemerdekaan adalah menyatukan sektor ekspor ke dalam ekonomi nasional dan integrasi Papua Belanda ke dalam republik Indonesia.
Untuk melaksanakan operasi rekonstruksi politik, ekonomi dan sosial , Sukarno memerlukan bantuan dari kaum nasionalis, komunis dan Islamis dan seluruh rakyat Indonesia secara keseluruhan. Ini adalah momen dimana pemikiran tentang politik nasional yang berdasarkan fungsi kelompok dilaksakanan. Dimana PKI(kaum buruh tani), Nahdatul Ulama (ulama Jawa), Masyumi(kaum Sumatra), PNI (priyayi), dan Partai Sosialis Indonesia (intelektual progresif) memiliki orang-orangnya dalam fungsi dan kelompok yang berbeda, mereka diharapkan untuk menggunakan kekuasaan dan mempengaruhi pendukung nya masing-masing untuk mendukung kebijakan negara. Kembalinya PKI diawal tahun 1950an dan kesuksesan nya dalam Pemilu tahun 1955 memberikan kesempatan untuk memobilisasi petani dan kaum buruh. Modus Vivendi dari kerjasama ini berdasar atas awal-awal perjuangan merebut kemerdekaan.
Peristiwa Madiun
Peristiwa madiun tahun 1948 secara umum memberikan stigma bahwa kaum komunis mencoba untuk melakukan kudeta. Bagaimana pun, kenyataannya berbeda dan dapa secara langsung dihubungkan dengan isu kerjasama dan tidak bekerja sama pada saat itu. Secara politis , peristiwa madiun terjadi di Jawa Timur di kabupaten Madiun. Penyebab dari peristiwa ini adalah fakta bahwa pemerintah tidak bereaksi terhadap tekanan dari pihak nasionalis radikan dan komunis untuk menbatalkan perjanjian Linggadjati dan Renville (Kahin, 1970: 224-9, 256-303).
Perjanjian yang pertama, dilakukan dengan Belanda bulan November 1946, yang menghasilkan 4 syarat yang sulit untuk diterima oleh kaum nasionalis radikal.Syarat2 tersebut adalah 1) Pendirian negara federal (2) Pengembalian dan perlindungan kepentingan ekonomi Belanda (3) Kerjasama antara pasukan Indonesia dan Belanda untuk menegakkan hukum dan pemerintahan (4) Kerjasama antara pemerintah belanda dan indonesia dalam pembentukan Uni Indonesia Belanda sebagai bagian dari Persemakmuran Belanda.
Kabinet Indonesia, walau telah sadar bahwa penolakan terhadap syarat2 ini akan dilakukan oleh militer dan kaum nasionalis radikal, tetap mendukung, apapun syarat yang diterapkan oleh Belanda, tujuan pertama dan terutama dari negosiasi yang dilakuakn adalah untuk mengamankan kemerdekaan. Setelah itu , situasi kemudian berbeda, khususnya terhadap kedaulatan negara Indonesia terhadap negara lain, termasuk Belanda. Selebihnya isu tentang dilanjukannya kerjasama antara Indonesia dan Belanda tidaklah berlawanan dengan kebijakan pemerintah.
Bagaimanapun, saat Belanda mecoba memaksa Indonesia untuk menerima perjanjian dengan melakukan operasi militer di jawa pada bulan Juli 1947, yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan pemerintahan dan mengamankan jalur-jalur produksi didaerah yang ditempati oleh perusahaan-perusahaan, kaum nasionalis radikal menganggap Belanda tidak dapat dipercaya dan berlaku curang. Welaupun demikian, perjanjian gencatan senjata dilakukan oleh Kabinet Sjahrir bulan Januari 1948.
Perjanjian gencatan senjata, yang dikenal dengan perjanjian Renville, menghasilkan sebuah garis pembatas dan 12 syarat politis yang mempertajam implementasi perjanjian Linggadjati. Bulan Januari 1948 Sjarifudin, anggota Partai Sosialis Sjahrir, mengundurkan diri dari Kabinet, karena persetujuan Kabinet terhadap perjanjian Renville. Lagi, isu bekerja dan tidak bekerja sama memecah kabinet. Pada saat ini, PNI dan masyumi menolak memberikan dukungan.
Tidak dapat disangkal, bahwa kebijakan resmi yang diberikan demi keinginan Belanda dan kebohongan , demi mendapatkan kemerdekaan, tidak lagi dapat diterima oleh kelompok dewan KNIP yang dukungannya diperlukan oleh kabinet, khususnya PNI dan Masyumi.
Setelah mengalami bebererapa peristiwa dan perkembangan, situasi menjadi panas dalam bulan September 1948. Salah satu perkembangannya adalah, terjadi di awal tahun 1948, pembentukan FDR oleh Sjarifudin setelah pengunduran dirinya sebagai Perdana Menteri. FDR terdiri dari PKI, Partai Sosialis, dan partai-partai bergolongan kiri seperti Partai Buruh. Sjahrir, pada saat itu telah meninggalkan Partai Buruh dan mendirikan partai politik baru bersama beberapa politisi, yaitu PSI. Ia memiliki ketidakcocokan dengan Sjarifudin, dimana Sjahrir menganggap bahwa Sjarifudin mengikuti golongan kiri radikal, yang tentu saja proSoviet. FDR, mendukung pendekatan kembali dengan Uni Soviet, yang merupakan salah dsatu dari sedikit negara yang mendukung Indonesia baik di PBB maupun di Dewan Keamanan PBB. Hal ini akan berimplkasi pendefinisian kembali perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan dalam bentuk perjuangan kelas. Program FDR terdiri dari 4 point . 1. Pembatalan Perjanjian Renville, 2. Menghentikan perndingan dengan Belanda sampai mereka menarik diri dari Indonesia. 3. Nasionalisasi kepemilikan Belanda tanpa kompensasi dan 4. Penggantian kabinet Hatta dengan yang baru dimana FDR akan mengisi posisi-posisi penting. Sjarifudin membawa FDR ke dalam sebuah aksi yang merupakan tekanan politik terhadap Sukarno dan Hatta untuk membuat mereka membentuk sebuah kabinet yang akan menolak Perjanjian Renville dan secara aktif mencari dukungan dari negara-negara pro Indonesia, dalam hal ini Uni Soviet.
Terjadinya kebuntuan menyebabkan Sukarno dan Hatta memutuskan untuk membentuk sebuah kabinet yang terdiri dari PNI, Masyumi dan PSI dan mengeluarkan FDR. Hatta akan menjadi Perdana Menterinya. Kritik terhadap cara diplomasi Indonesia yang ‘mundur untuk menyerang kembali disaat yang tepat’ diterima oleh Hatta dan masuk ke kabinet karena mereka menolak alternatif2 yang diberikan FDR : pendekatan kembali kepada Uni Soviet. Mereka lebih memilih sebuah posisi netral diantara negara-negara besar , yang mengisyaratkan sikap ketahanan diri. Dengan pilihan ini, pilihan yang dibuat oleh dewan Perhimpunan Indonesia pada deklarasi Maret 1923 ditegaskan kembali. Program dari kabinet Hatta adalah : (1) Penerapan Perjanjian Renville (2) Percepatan pembentukan Republik Indonesia Serikat, (3) Rasionalisasi di tubuh Militer (4) Pembangunan kembali ekonomi (Departemen Penerangan 1970:11).
Salah satu hal yang Hatta siapkan , adalah kerjasama dengan pihak militer, untuk reorganisasi angkatan bersenjata menjadi sebuah badan professional, pembubaran kelompok2 gerilya. Beberapa kesatuan militer di Jawa tengah kemudian dibubarkan. Begitu juga dengan kesatuan Islam radikal seperti Hizbollah di Jawa barat dan kesatuan TNI-Masjarakat. Korban dari reorganisasi ini marah dan merasa bahwa mereka telah ditikam dari belakang oleh pemerintah yang menjual negara ini kepada musuh. Banyak dari mereka yang tidak mau mengikuti perintah. Diantaranya adaah laskar Hizbullah di Jawa Barat yang direkrut oleh Kartosuwirjo untuk gerakan Darul Islamnya, yang merupakan kesatuan yang terlibat dalam peristiwa Madiun. Bagaimanapun Hatta tetap melanjutkan progrma kabinetnya, menerapkan Perjanjian Linggadjati dan Renville dan program rasionalisasi.
Dalam situasi yang memanas ini, seorang Stalinis yang bernama Musso, yang tinggal di Eropa dan Russia sejak pemberontakan komunis di Jawa dan Sumatra tahun 1920an kembali ke Jawa dalam bulan Agustus 1948 bersama dengan Suripno. Dalam beberapa minggu, Musso memimpin golongan kiri dalam menentang kebijakan pemerintah. Sukarno, yang sangat mengenalnya, dalam pertemuan pribadi tanggal 13 Agustus, mendorongnya untuk mendukung pelaksanaan revolusi negara. Musso menjawab dalam bahasa Belanda, sesuai dengan tradisi lokal: ‘Itu adalah tugas saya, Saya datang kemari untuk membuat segalanya teratur.’ (Departemen Penerangan, 1970:16).
Kedatangan Musso menyebabkan antusiasme di kalangan kiri dan nasionalis radikal. Dalam beberapa minggu, ia telah memimpin FDR. Ini juga membawa kepemimpinan baru dalam PKI yang terdiri dari radikal2 muda seperti Aidit, Lukman, Njoto dan Sudisman. Pemimpin komunis generasi tua seperti Tan Malaka dan Tan Ling Djie, menduduki tempat kedua.
Setelah beberapa kerusuhan pada bulan September didaerah Surakarta dan Yogyakarta, pasukan liar yang sudah didemobilisasi dan pasukan republik, mengambil jalannya sendiri-sendiri. Musso kehilangan kendali pergerakan setelah komadan militer pemberontak memisahkan diri dari FDR tanggal 17 September 1948, dan mengumkan revolusi. Musso tidak mempunyai jalan lain selain bergabung dengan pasukan ini. Divisi Siliwangi Jawa Barat yang telah dipindahkan ke Jawa Tengah bulan Februari, berhasil menumpas pemberontakan pada tanggal 30 September 1948. Pemimpin dari pemberontakan ini ditembak mati , termasuk mantan perdana menteri Sjarifudin (Departemen Penerangan, 1970: 9-24).
Walau pun PKI, setelah pemberontakannya ditumpas oleh tentara Indonesia, tidak dilarang, PKI telah dicap buruk. Bukanlah partisipasinya dalam FDR, maupun penolakannya terhadap kebijakan pemerintah, yang tidak disukai. Sebaliknya, banyak kaum nasionalis yang memiliki pandangan yang sama dengan PKI. Partai tersebut, dianggap curang, dan mengancap keamanan nasional, karena keterlibatannya dalam pemberontakan tersebut. PSI dan Masyumi setelah tahun 1948 tetap menolak kehadiran kembali partai tersebut. PKI kemudian survive dan kembali ke kancah politik diwal tahun 1950an . Diakhir Desember 1949, setelah keberhasilan kesepakatan perjanjian Meja Bundar di Den Haag, Belanda akhirnya memberikan pengakuan kedaulatan terhadap Republik Indonesia Serikat. 9 bulan kemudian, 2 dari 3 negara bagian dari RIS bergabung dengan negara bagaian ke 3 yaitu Negara Republik Indonesia dan mengakhiri RIS. Negara Kesatuan Republik Indonesia , setelah mengalami pertumpahan darah dan kekerasan selama bertahun-tahun akhirnya menjadi kenyataan. Strategu politik taktis dan mundurnya militer telah sukses. Ini adalah waktu untuk membujuk musuh lama untuk bekerja sama membangun negara yang baru.
Berlawanan dengan yang diharapkan, di awal tahun 1950an, PKI hadir lagi dalam kancah politik nasional. Beberapa perkembangan yang terjadi menjadi penyebab hal ini. Menurut pemikirannya, bukan hanya semata-mata isu tentang kerja sama dan tidak bekerja sama dengan Belanda, namun juga berkembangnya kekuatan anti-imperialis, Muslim modern dan radikalisme yang mengutuk pemerintah akan toleransi terhadap komunis. Pembentukan negara Islam di usulkan sebagai jalan terbaik untuk menyatukan rakyat dalam perjuangan kemerdekaan. Disamping seluruh ideologi yangada, hanya Al-Quran lah yang dapat menjadi inspirasi bagi nasionalisme.
NU dan PNI yang menjadi penentang utama pendekatan kembali yang dilakukan oleh PKI. Nadlatul Islam berpisah dari Masyumi tahun 1951, Salah satu alasannya adalah berkembangnya penentangan terhadap penyatuan aliran Islam Indonesia oleh faksi modernis dalam Masyumi. Faksi ini melihat ulama sebagai pihak yang kembali melakukan perbuatan tercela, yang membiarkan penggabungan antara adat lokal dengan Syariah Islam. Ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap Al Quran. Ulama memandang kaum modernis sebagai kelompok yang memaksakan kemurnian Islam yang mempertaruhkan persatuan nasional dan umat Islam dan posisi ulama atau adat tradisional di dalamnya. Kampanye faksi modernis untuk kemurnian Islam dan Negara Islam beresiko memecah belah umat Islam dan bersifat tatalitarian , bukan nasionalistis. Dengan meninggalkan Masyumi, ulama mengikuti kepemimpinan NU , yang mana para pemimpinnya telah meninggalkan Syarekat Islam untuk alasan yang sama di tahun 1921. Mereka juga menontoh PSII yang berpisah dari Masyumi tahun 1948 dengan alasan yang sama pula.
Tentangan ulama terhadap berkembangnya radikalisme kaum modernis dalam Masyumi menarik perhatian pemimpin-pemimpin priyayi di PNI, yang tidak dipercayai oleh baik golongan radikalis kiri maupun kanan. Juga, perkembangan kesuksesan pergerakan Darul Islam di Jawa Barat menimbulkan perhatian khusu dalam lingkaran kaum nasionalis, termasuk kepemimpinan tradisional islam.Hubungan antara PNI dengan pemimpin2 tua sayap kiri seperti Tan Malaka, Tan Ling Djie, Abdul Malik dan lain-lain, menunjukkan bahwa kembalinya PKI dalam kancah politik akan berjalan mulus.
Radikalis muda seperti Aidit, mengambil kesempatan ini dan menerima syarat yang ditujukan kepada mereka untuk mendukung nasionalism lokal. Mereka membuat program yang berisi 3 elemen : (1) Masuknya Papua Barat ke dalam Republik (2) Nasionalisasi perusahaan asing (3) Perbaikan keadaan orang kecil (miskin).
Penerapan program ini di berikan kepada Aidit, Lukman dan Njoto serta Sudisman, keempat orang ini aktif dalam FDR tahun 1948. Dalam segala hal, keempat tokoh PKI ini bekerja untuk melaksanakan kepentingan Sukarno. Sukarno bagaimanapun memiliki alasan akan ketertarikannya terhadap kembalinya PKI. Karena setelahnya, mereka berjuang dalam sebuah Front Nasioanal, untuk menyelesaikan masalah internal dan external di Republik ini. Ini adalah alat dan arti politis yang disukai oleh Sukarno.
Sukarno, diawal tahun 1950an , berada dalam posisi terisolasi. Di bawah tekanan Belanda, manuver politik Indonesia telah memberikan jarak terhadapnya. Ia telah menjadi Presiden, didalam UUD federal, Presiden hanyalah simbolis, bukan politis. Situasi ini tidak berubah setelah penangguhan UUD federal tahun 950. Dengan kembalinya PKI, Sukarno lebih aktif dalam politik, dalam prosesnya ia berkonsentrasi pada hal-hal yang telah dibuat oleh PKI.
Perkembangan terjadi dengan cepat. Walau mendapat tentangan dari Masyumi dan pimpinan angkatan bersenjata, organisasi2 anggota PKI seperti SOBSI dan BTI berkemabng dengan cepat. Dalam pemilu tahun 1955, PKI, dengan 15 kursi menjadi partai terbesar ke 3 Masyumi dengan 22 kursi dan NU dan 17,5 kursi dan PNI dengan 22 kursi. Dalam pemilihan didaerah tahun 1957, partai ini meraih kesuksesan. Perkembangan ini terjadi karena adanya sling konsultasi antara PKI, PNI dan NU.
Lalu Masyumi, dimana Hatta berperan, menjaga jarak , begitu juga dengan PSI yang telah memberikan peringatan berulang kali tentang kemunculan PKI. Mereka mulai menganggap PKI sebagai bahya terbesar bagi Indonesia sejak pendudukan Jepang dan perang kolonial dengan Belanda. Dengan cara ini mereka juga menjaga jarak terhadap hal-hal yang dilakukan Sukarno.
Kembalinya PKI digambarkan sebagai keuntungan , yang bergantung pada kekuatannya sendiri sebagai partai besar yang terorganisasi secara baik. Namun akan lebih baik jika dilihat secara ideologi dalam pandangan pendekatan kembali Sukarno-PKI tahun 1950an dan posisi PNI dan NU terhadap PKI. Kedua partai tersebut tergolong loyal terhadap Sukarno sampai tahun 1964. Ada 3 keuntungan dari hal ini.
Yang pertama, kembalinya PKI adalah tepat karena pemimpinnya ingin kembali kekancah politik. Digunakannya kembali taktik dan strategi tahun 1926,yang menekankan pada kerjasama dengan partai borjuis dalam kerangka kerja gerakan Front Nasional , memberikan kemudahan bagi partai ini dalam melaksanakan srategi revolusi lokal. Panduan pelaksanaan pusat Moscow, yang diterima tahun 1948, melarang kembalinya PKI kedalam kancah politik Indonesia.
Kedua, kembalinya PKI juga sesuai dengan taktik yang telah dibuat oleh Sukarno tahun 1926.Sukarno juga berpikir berdasarkan keutusan Comintern di tahun 1926. Komunisme gaya baru juga akan memungkinkan kerja sama dengan kekuatan anti-imperialis dalam lingkup nasionalis. Tahun 1926, Sukarno mengungkapkan hal ini :
Taktik baru dari kaum Marxis tidak menolak untuk berkerja sam dengan nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxis yan gbaru malah mendukung pergerakan Islamis dan nasionalis. Kaum Marxis yang masih bermusuhan dengan kaum Islamis dan nasionanils di Asia adalah kaum Marxis yang tidak mengikuti perkembangan zaman dan tidak mengerti bahwa taktik marxis telah berubah.
Jika seseorang dapat mengetahui mengapa Sukarno membutuhkan PKI , jawabannya sederhana : karena keunikan dari mobilisasi dan organisasi massanya, dan karena program-program baru nya . Dengan itu, baik masalah neo-kolonialisme dan kemiskinan dapat diatasi. Tidak ada partai lain di Indonesia yang mengemukakan isu ini dalam program politik mereka. Dan tidak ada partai politik selain PKI yang dapat mengorganisir dengan baik kelompok-kelompok sayap kiri, baik didaerah perkotaan maupun pedesaan. Mengapa PKI membutuhkan Sukarno, jawabannya juga sederhana : karena dukungan pribadinya. Ketiga, kembalinya PKI juga merupakan sesuatu yang penting bagi partai2 seperti PNI dan NU, karena ketakutannya akan modernisme Islam sebagai awal dari radikalisme Islam dan totaliterisme.
Pemutusan Hubungan Dengan Belanda : Sebuah Permulaan
Ketika di tahun 1956 saat Indonesia keluar dari Uni Indonesia-Belanda karena kebuntuan perundingan dengan Belanda mengenai Papua Barat, Sukarno terlah diberikan kekuatan eksekutif sebagai presiden, seperti yang tercantum dalam UUD 1945. Sejak saat itu is mulai bekerja untuk mewujudkan apa yang menjadi pemikirannya. Pendekatan yang ia lakukan memiliki point sbb :
1. Sebuah bentuk pemerintahan dan undang-undang yang baru dibuat , berdasarkan kerjasama antara golongan nasionalis, komunis dan Islamis.
2. Demokrasi parlementer harus berada di bawah payung nasionalisme melalui pembentukan front demokratik nasional.
3. Semangat revolusi baru harus diperkenalkan; banyak partai politik dan kelompok yang bekerja hanya untuk kepentingan diri dan golongannya saja.
4. Belanda harus di paksa, jika perlu menggunakan kekuatan snejata untuk menyerahkan Papua Barat.
5. Masalah kemiskinan harus diatasi dalam skala besar;
Dari ungkapan Sukarno tentang kerjasama antara Islamis dan komunis , dapat disimpulkan bahwa ia bukanlah orang yang ortodox dalam kedua hal tersebut. Apa yang menjadi hal bagi nya adalah bahwa kedua kelompok tersebut siap untuk melupkan perbedaan masing-masing demi perjuangan melawan imperialisme Barat. Untuk melakukan ini, sesorang harus melihat kelompok yang lain dan negaranya dan belajar dari pengalaman yang lain. Untuk menganggap bahwa kehidupan Sukarno bertentangan dengan Islam adalah juga sulit. Penyebabnya adalah, pelatihan tradisional guru-guru dan pemimpin Islam di pesantren dan madrasah. Bahkan di tahun 1964, dalam pidatonya saat menerima gelar Doktor Honoris Causa dari IAIN, is berkata sbb :
Bebaskan pikiranmu dari lingkup pesantren. Bangkitlah seperti yang ku lakukan dan lihatlah keluar ! Dan jangan melihat Arab Saudi, Mekah atau Madinah., tetapi lihatlah Kairo, Spanyol dan seluruh dunia, lihatlah sejarah, dimasa lalu, sejarah dari manusia di seluruh dunia, bukan hanya Indonesia dan Rabas, tetapi juga sejarah kemanusiaan. Hanya dengan itu kalian dapat membuat apa yang disebut sebagai studi perbandingan , dalah hal ini perbandingan agama, ‘untuk membandingkan’, membandingkan satu dengan yang lain....(Boland 1971:130).
Itu adalah, pandangan Sukarno, hanya dengan pengetahuan tentang masa lalu dan sekarang, dan apa yang terjadi diluar professi dan dunia kita, kita dapat memutuskan jalan hidup kita.
Tanpa itu , ia akan tetap terkungkung pada pemikiran sempitnya. Jika kita pernah mendengar seroang sosiolog Perancis dan pendiri positifisme sosiologi, August Comte, mengajarkan tentang pentingnya warga negara yang cerdas. Hanya dengan itu dapat menyelamatkan (perancis) dari prasangka, kebodohan dan penindasan. Terhadap Islamis anti-imperialis, Sukarno memandang : Muslim tidak akan lupa bahwa kapitalisme adalah musuh dari Marxisme, juga adalah musuh dari Islam! Bagi kaum Marxis, penambahan nilai sama dengan riba bagi Muslim. Kepercayaan memang indah, namun yang lebih penting adalah apa yang membawa orang bersama-sama berjuang melawan setan dari dunia luar. Pemimpin Islam yang sesuai dengan hal tersebut diatas adalah mereka yang antara 1945 dan 1948 memimpin baik Masyumi maupun sebagai anggota komite KNIP (Mohammad Roem, Jusuf Wibisono dan Dr. Abu Hanafiah) . Beberapa tahun kemudian pendirian mereka berubah karena perkembangan politik yang terjadi.
Dari ungkapan Sukarno yang lain, sikapnya mengenai islam menjadi jelas. Dalam setiap diskusi bersama pimpinan Islam, ia berulang kali menekankan bahwa ia adalah seeorang Islam abangan. Dalam pidatonya yang berjudul Tjilaka , Sukarno memiliki latar belakang orang tua Hindu-Jawa (ayah) dan Hindu Bali (Ibu).
Jika anda bertanya apakah Bung Karno percaya kepada Tuhan, maka saya akan menjawab Ya, saya percaya Tuhan....dari sejak saya kecil, saya diarahkan oleh orang tua saya untuk percaya kepada Tuhan. Ayah saya adalah Muslim, sebenarnya Islam-islaman lah..Dia lebih dekat dengan apa yang disebut agama Jawa. Dan ibu saya, berasal dari Bali, orang Bali....Tentu saja, diukur dari norma Islam, pendek kata, ayah saya adalah setengah Islam, agamanya Islam namun dicampur dengan agama Jawa. Dan ibu saya, agamanya Hindu yang bercampur dengan Budha. (Boland, 1971 :126).
Banyaknya terminologi Jawa yang dipakai Sukarno dalam tulisan ini lebih mencerminkan pandangan PNI dan NU tentang Islam Indonesia daripada pemikiran Masyumi. Yang lebih patut dicatat adalah pemikiran terbuka dimana ia mengakui bahwa orang tuanya bukanlah muslim ortodok daripada mengatakan bahwa mereka memiliki agama campuran . Selebihnya, Sukarno menjelaskan bahwa ia sendiri adalah muslim abangan dan menilai bahwa pendidikan Islam sebagai sesuatu yang kuno dn berpikiran sempit. Dari sini dapat diketahui bahwa ia tidak melaksanakan kewajiban dalam Islam. Hal ini terbilang ganjil, karena diwajibkan oleh para militan Muslin , bahwa dalam UUD 945 , seorang presiden haruslah Islam. Sikap Sukarno yng memancing perseteruan dengan Islam adalah ukuran kekuasaan dan karisma yang ia miliki terhadap Islam khusunya dengan NU dan Islam Jawa. Sukarno yang memiliki latar belakang setengah Islam dan setengah Hindu-Budha, menggerakkan para priyayi di NU, PNI dan elemen moderat Muhammadiyah. NU tidak hanya setia terhadap Sukarno sejak tahun 1952, tapi juga terhadap Islam Indonesia, yang dikatakan sebagai Islam abangan.
Walau hubungan Sukarno dengan kelompok Islam moderat di masyarakat , menurutt hemat saya, menunjukkan bahwa Sukarno menempatkan orang yang religuis diatas orang yang percaya. Tidak penting baginya berasal dari agama apa sebuah kelompok tersebut. Yang penting adalah seseorang percaya kepada Tuhan dan mengakui keberadaan dan pengaruh Tuhan dalam hidupnya. Ini adalah pandangan seorang nasionalis tahun 1945. Pada pasal 29 UUD 1945, dikatakan “ Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Menjamin kemerdekaan penduduknya untuk memeluk dan menjalakan agama dan kepercayaan nya masing-masing’ . Tujuan dari pidato Sukarno adalah untuk menjelaskan hubungan antara agama dengan negara.
Sebuah Akumulasi Masalah
Tahun 1957 mengajarkan kepada Sukarno sulitnya situasi dalam negeri. Di Sumatera dan Sulawesi, gerakan separatis muncul, yang menamakan diri sebagai Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI/Permesta). Bertujuan untuk melawan kebijakan Jakarta yang memihak Jawa dan partai komunis. Salah satu penolakan dari gerakan ini adalah dana yang didapat oleh Jakarta dari pulau-pulau lain yang digunakan untuk menyokong perkebunan gula di Jawa. Karena kesulitan penjualan gula tebu untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia, Jakarta terus menambah produksi gula, dan membelinya dengan harga yang lebih mahal dari haraga pasaran dunia. Hal tersebut memungkinkan para petani untuk membayar konstribusi kepada persatuan petani. Walaupun tidak pernah menjadi perhatian, kemungkinan hal ini adalah cara untuk mensubsidi pergerakan komunis di Jawa. Pimpinan angaktan bersenjata di Jakarta telah mengumumkan keadaan darurat karena gerakan PRRI/Permesta dan , ketakutan akan aksi serangan kaum komunis dan nasionalisasi yang tak terkontrol terhadap perusahaan-perusahaan asing.
Sukarno memandang semuanya ini dengan kecemasan. Konsepnya tentang nasioanlis progresif , kerjasama antara kaum Islamis dan komunis terancam, dan terjadi begitu cepat saat debut nay secara politis sebagai kepala negara dimulai. Dalam pidatonya pada HUT Kemerdekaan RI tahun 1957 Sukarno mengatakan :
Apakah kita mau jadi orang bodoh , yang membiarkan diri kita sendiri terbawa dalam sistem politik liberal ? Yang hanya dalam 12 tahun kepemimpinan denagn 16 kabinet atau dengan rata-rata 1 setiap delapan bulan ? Yang telah meracuni angkatan bersenjata kita sehingga kita sekarang dengan mudah nya berbicara tentang krisis di angkatan bersenjata ? Yang pada dasarnya telah mengikis perhatian kita akan negara dan pemerintahan yang hampir memecah-mecah kita jika kita berhati-hati ? Yang juga membawa kita kepada kebangkrutan dan krisis ekonomi ?....(Sukarno, 1965, II: 296).
Sukarno melihat masalah-masalah ini dengan jelas dan menyebutnya secara langsung. Diagnosa nya, tidak berdasarkan penyebab, seperti ekonomi dan politik , melainkan semangat. Diagnosa itu telah hilang semenjak kemenangan setelah kemerdekaan, kebesaran Korea yang berumur pendek tahun 1950an, dan demokrasi parlementer yang dipercayakan Belanda kepada Indonesia, telah menjauhkan rakyat dari perjuangan demi kepentingan bangsa. Rakyat terlalu banyak peduli pada dirinya sendiri dan kelompoknya, dan sangat tidak tertarik dengan kepentingan bangsa.
1959 : Kembali ke 1945
Hanya di tahun 1959, setelah PRRI/Permesta diselesaikan oleh Kepala Staff AD Yani, situasi internal membaik pada tingkat tertentu sehingga perluasa koalisi progresif dapat dipertimbangkan. Persetujuan telah dicapai dengan penyelesaian masalah hubungan antara tuan tanah dan tuna tanah di Jawa, begitu juga di pulau lain. Untuk itu, pembagian tanah pertanian yang lebih baik diantara para petani sangat diperlukan. Hal ini memerlukan reformasi undang-undang pertanahan yang lebih baik.
Uni Soviet juga telah setuju untuk menyediakan bantuan peralatan militer dalam skala besar. Paling tidak, ada kemungkinan untuk berkonfrontasi militer dengan Belanda di Papua Barat.
Tahun 1957, Inggris memberikan kemerdekaan kepada Semenanjung Malaya dan tahun 1963, kepada Borneo Utara. Nasionalis radikal, dalam hal ini Sukarno dan PKI, tidak percaya akan tujuan ini. Mereka khawatir ini akan menjadi sebuah penyamaran dari noe-kolonialisme dan mengancam batas-batas Indonesia di Utara Kalimantan. Ketika tahun 1963 Sarawak dan Sabah bergabung dengan Federasi Malaya yang pada saat yang sama menajdi Federasi Malaysia, nasionalis radikal kembali waspada. Angkatan Bersenjata melihat kemungkinan untuk menghentikan dan meredakan penyebrangan yang dilakukan gerilyawan komunis di perbatasan, khususnya di Borneo Utara, begitu juga di penyebrangan dari semenanjug ke Sumatera.
Diakhir 1950an dan awal 1960an, keseimbangan kepentingan di Indonesia membuat kemungkinan akan pecahnya kerja sama terjadi . Pemimpin angkatan bersenjata mendesak pemerintah untuk memperkuat kepemimpinan dan menggunakan kekuasaan yang lebih jauh sehingga dapat mewujudkan situasi darurat perang seperti yang terjadi sejak tahun 1957. Hanya dengan itu hukum dapat ditegakkan di Indonesia. Tahun 1959, diputuskan untuk membubarkan ‘Konstituante kedua’ yang setelah 3 tahun terbentuk belum menghasilkan draf UUD baru. Walaupun ‘Konstituante bukan untuk menyelesaikan masalah pemimpin Islam radikal yang menginginkan Islam sebagai agama negara, tidak jelas alasan yang disampaikan kepada publik. Menyebut secara terbuka bahwa kebuntuan ini desebabkan oleh karena posisi Islam di Indonesia tertulis dalam Konstituante akan sangat memalukan. Selebihnya, disaat tahun 1945, dalam 3 bulan, sebuah UUD dan dasar negara dihasilkan , dan umat Islam disebut telah berada dibawah kendali dengan baik, satu dekade kemudian 3 ahun penuh diperlukan untuk sampai ke sebuah persetujuan, dimana kaum Islamis mengklaim telah membagi golongannya. Semangat revolusi diperlukan saat pendangan yang sama sulit tercapai.
Juga merupakan tekanan dari angkatan bersenjata untuk kembali kepada UUD 1945, dimana telah menjadi pengendali bagi perjuangan merebut kemerdekaan terhadap Belanda. UUD 1945 boleh jadi memiliki efek simbolis bagi semua kelompok dan mendukung semangat revolusi.
Penting bagi tulisan ini adalah kampanye indoktrinasi yang terorganisir. Hal tersebut merupakan pelajaran bagi murid dan guru secara umum.
Bagian dari kampanye indoktrinasi adalah pelatihan miiliter dan pegawai negeri. Pengangkatan pegawai negeri diideologikan untuk menempatkan seseorang dengan pendidikan ideologi yang tepat pada posisi yang benar. Partai-partai politik ditempatkan dibawah rejim ideologi yang keras., yang menyebabkan persaingan baik secara parlementer maupun ektra parlementer menjadi keras. Tujuan dan nilai dari nasionalisme diberikan seluas mungkin. Dalam kontek ini, pemikiran di tahun 1945 dan pendekatan Sukarno menjadi sentral bagi pembentukan budaya nasional. Setiap anak kecil tahu akan lima sila dalam Pancasila, termasuk pemikiran Sukarno dan pendiri bangsa lainnya. Pendekatan yang sama terjadi di Cina, Zambia dan Kuba. Apa yang menjadi pemikiran dan strategi langsung dalam menghadapi imperialis Barat, menjadi standar dan nilai bangsa. Lalu, sifat dan asal dari nasionalisme Indonesia ditentukan.
Supremasi tema perjuangan untuk kemerdekaan masih ada: tetapi sekarang ada budaya nasional Indonesia. Ini adalah sumber langsung pemikiran politik Indonesia. Berlatar belakang hal ini lah 2 terbitan yang dibuat oleh Yamin (Naskah UUD 1945) dan Sukarno (Dibawah Bendera Revolusi) sangat penting. Dalam kedua terbitan ini,bangsa Indonesia dapat membaca bahwa sumber intelektual dari revolusi Indonesia telah ada. Hal ini nyata bahwa terjemahan dalam bahasa Inggris dari Kementerian Penerangan yang disebuat diawal yang termasuk didalam Naskah Vol 1, yang ikuti dengan terjemahan orisinil dan penjelasan pada bulan Sept 1945 , merupakan indikasi jelas bahwa keinginan untuk memberlakukan kembali UUD 1945 adalah serius. Dasar spiritual dari revolusi di rehabilitasi dan diberikan kepada publik.
Tindakan politik dan ideologis ini menempati posisi penting dalam kebijakan Ekonomi dan Demokrasi Terpimpin yang diserahkan kepada kepemimpinan Sukarno. Kepala negara kemudain menjadi guru dan pemimpin ideologi. Hal ini juga tertulis dalam pasal 33 UUD 1945 yang menjadi dasar intervensi negara dalam bidang tarif ekspor dan impor . Pasal 33 juga memberikan dasar hukum untuk nasionalisasi perusahaan asing pada sektor produksi primer. Selanjutnya, negara dapat melakukan sedikit monopoli dalam pembangunan nasional. Inisiatif politik pribadi manjadi beresiko. PKI makin dekat dengan presiden dan menjadi lebih keras dalam menghasilkan pemikiran mereka.
Eksperimen Sukarno, dala analisis akhir, manjadi tidak berarti karean peristiwa 30 September dan 1 Oktober 1965. Di hari pertama bulan Oktober 1965 kepemimpinan politik Angkatan Darat dibersihkan. Jenderal-jenderal yang dianggap berkonspirasi melawan Sukarno ditahan . Satuan Pengawal Presiden, yang dibantu unit para-komando dari Jawa Tengan, melaksanakan penangkapan para Jenderal tersebut dibawah perintah dewan pimpinan yang setia dengan Sukarno. Di waktu yang sama, beberapa pesan radio dari dewan pimpinan disiarkan diseluruh stasiun radio. Pihak tersebut menamakan diri sebagai pimpinan dari Gerakan 30 September. Penahanan Jenderal-jenderal tersebut diumumkan ke publik sebagai aksi yang resmi dan berdasar hukum terhadap kelompok Jenderal yang korup dan berkonsiprasi menjatuhkan Sukarno. (disebut sebagai ‘Dewan Jenderal’). Disebutkan juga bahwa Kabinet di bekukan dan Dewn Revolusi dibentuk (Holtzappel, 1979:218).
Secara langsung Angkatan Darat menunjuk keterlibatan PKI dalam kejadian ini, khususnya di Jawa Tengah, dan juga di Jakarta. Walaupun tidak ada bukti keterlibatan PKI dalam penangkapan tersebut, atau keterlibatan PKI sebagai partai pada aktivitas lain yang dilakukan Dewan pimpinan pada 1 Oktober , ada bukti nyata , di Jawa, pada tingkat lokal, pemimpin komunis telah memberikan bantuan dalam operasi tanggal 1 Oktober untuk menyelamatkan jiwa Presiden. Keseluruhannya kemudian, secara langsung di interpretasikan seperti peristiwa Madiun 1948. Menurut pendapat banyak orang, ada banyak bukti bahwa PKI adalah pihak yang tidak dapat dipercaya dalam Front nasional. Hal ini menyebabkan dibunuhnya pimpinan dan eksekutif tinggi PKI. Eksekutif yang lebih rendah ditangkap dan dipenjara, tanpa proses pengadilan. Banyak yang lain, yang dianggap memiliki hubungan dengan PKI dan golongan kiri mengalami nasib yang sama. Masa nasionalisme progrsif secara total telah berakhir. Tahun 1967, Presiden Sukarno menyerahkan kekuasaannya kepada MPR. Ia meninggal di Jakarta tahun 1970.
Setelah sekian tahun berlalu, masih sulit untuk menerka apa yang akan terjadi seandainya peristiwa tragis tahun 1965 tidak terjadi. Bagaimanapun , sejak akhir 1950an, ada perkembangan yang menunjukkan keruntuhan Front Nasional. Penyebabnya bermacam-macam. Salah satunya, Front Nasional gagal dalam hal ketidaksetujuan terhadap masalah ekonomi dan keuangan Indonesia diawal 1960an. Indonesia terlibat konfrontasi militer dengan Belanda dan Inggris karena masalah perbatasan yang menghabiskan biaya dan seharusnya dapat dihindari. Hal ini menyebabkan keluarnya investasi asing dari Indonesia. Menjadi tidak jelas bagi banyak kaum nasionalis dimana nasionalisme Sukarno berakhir dan komunisme PKI dimulai.
Nasionalisasi perusahaan asing terjadi diakhir 1950an dan awal 1960an, tetapi perusahaan yang dinasionalisasikan tidak menjadi milik pengusaha Indonesia. Perusahaan yang dinasionalisasi menjadi milik negara dan berada dalam manajemen angkatan bersenjata. Undang-undang Reformasi Tanah yang diberlakukan tahun 1961, dan dirancang untuk meredistribusikan kepemilikan tanah dari tuan tanah kepada petani kecl menyebabkan kerusuhan besar di daerha pedesaan di jawa dan sumatera. Para petani yang menantisipasi pembebasan tanah, menduduki tahan yang akan dibebaskan, dan daerah yang ditanami gula dibakar. Hama menyerang tanaman dan terjadi kelaparan di bebrapa daerah pedesaan di jawa.
Banyak yang percaya bahwa semua ini adalah rencana PKI, sebagai permulaan penbentukan Republik Rakyat Indonesia, dan Tuhan kemudian marah dan mengirimkan hama dan kelaparan bagi golongan Kiri. Apa yang sesungguhnya terjadi, adalah nasionalisme dan komunisme Indonesia bekerja sama dalam revolusi Indonesia, dalam percobaan menciptakan persamaan untuk semua dan bertarung melawan kemiskinan. Untuk semua ini, sosialisasi dalam artian produksi mutlak diperlukan. Persis seperti yang tertulis dalam kebijakan Comintern 1926 yang ditujukan bagi partai-partai komunis : kerjasama dengan kaum nasionalis dan demokratis. Bagi pendukungnya kebijakan tersebut sama dengan yang Sukarno pernah katakan : kerjasama antara semua kekuatan politik dibawah payung nasionalime. Nasionalisme radikal diterapkan, selebihnya nasionalisasi dalam artian produksi, sebagaimana juga komunisme.
Tidak mudah untuk menghubungkan peristiwa tragis 1 Oktober 1965 dan perkembangan setelahnya. Peristiwa tersbut terjadi ditengah ketidakpercayaan dalam lingkaran Angkatan Darat dan antara president , pemimpin angkatan bersenjata, dan anggota Front Nasional. Secara praktis kelompok manapun dan motif yang melatarbelakangi peristiwa tersebut dapat terlibat. Tujuan dari perwira yang mengkomandani operasi 1 Oktober , menurut pesan radio yang disiarkan hari itu, tidak secara langsung berhubungan dengan masalah dasar negara ini. Salah satu tujuan nya adalah menyelamatkan nyawa Presiden dari konspirasi. Yang lainnya adalah (1). Mengamankan kelanjutan revolusi Indonesia (2). Memerangi korupsi di tubuh angkatan bersenjata dan merestrukturisasinya (3) mengubah kepemimpinan negara dan menyiapkan pemilihan umum. Secara umum, adanya banyak kepentingan menunjukkan sebuah perebutan kekuasaan antara Presiden dan beberapa sekutu militer dan politik disis yang satu, dan kelompok pimpinan angkatan bersenjata disisi yang lain. Partai-partai politik mana yang terlibat hingga kini setelah sekian tahun masih tidak diketahui. Kurangnya informasi ini mengindikasikan sebuah situasi dimana kepentingan seseorang dan dasar politik nasional bukanlah isu utama, melainkan intrik pribadi dari orang-orang yang mencari kekuasaan. Hal itu adalah konsekuansi dari diberlakukannya kembali UUD 1945 sebagai pilihan sistem politik dan kepemimpinan, berdasarkan adaptasi dari tradisi lokal bagi kepentingan revolusi Indonesia. Dalam ‘pertempuran’ 1 Oktober 1965, beberapa pejabat Partai Komunis dengan bodohnya bertindak atas nama Presiden dan melawan jenderal-jenderal yang dicurigai. Mereka harus membayarnya dengan nyawanya dan nyawa ribuan orang lainnya. Sebagaimana di masa lalu dalam kerajaan Jawa, pembunuhan terhadap raja berarti juga pembunuhan terhadap seluruh pengikutnya.
Walaupun cakupan peristiwa 1 Oktober 1965 terbatas dan tidak jelas baik kelompok yang terlibat dan tujuannya, namun memiliki efek yang hebat: seluruh kekuatan Front nasional pecah. Partai Komunis dibubarkan bersama dengan seluruh kelompok Kiri. Sekutu presiden yang lain seperti PNI dan NU akhirnya bergabung dengan kelompok Suharto.
1965 dan setelahnya
Jadi, di tahun 1965, posisi Sukarno dan seluruh kekuatan politiknya hilang, baik secara fisik dan ideologi berakhir. Untuk itu, hampir semua tindakan yang dilakukan sejak tahun 1959 dan setelahnya di ambil alih Suharto, tanpa amandemen. Koalisi progresif diganti dengan yang baru. Sebuah koalisi yang baru muncul antara pemerintah dan Angkatan Bersenjata (Darat). Pemikiran Sukarno tahun 1950an dan 1960an dihilangkan. Pemikiran yang dihasilkan oleh BPKI dan PPKI diikuti sebaik mungkin. Pemikiran ini menjadi inti dari budaya politik nasional setelah tahun 1965. Lalu, nasionalisme 1945 dinyatakan sebagai sumber dan dasar dari budaya nasional. Suharto, menerapkan pendekatan ideologi Sukarno dalam indoktrinisasi militer dan birokrasi. Ideolog Sukarnois dalam kampanye indoktrinisasi di akhir 1950an dan wal 1960an diberikan tempat yang sama dalam pemerintahan Suharto. Kaum nasionalis tidak hanya menciptakan masyarakat baru, tapi juga memberi budaya yang baru.
Dibawah rejim yang baru, kelompok lobi angkatan bersenjata, yang disebuat Golongan Karya (Golkar), mengambil peran PKI yang berperan dalam strategi progresif. Golkar menjadi pusat kekuatan idelologi dan pengawal politik bagi Orde Baru. Adalah Jenderal Nasution yang membuat dasar bagi Golkar pada saat pembentukan Sekber Golkar dalam bulan Oktober 1964. Sekber Golkar dimaksudkan untuk menjadi sekretaris jenderal umum yang baru dari kelompok fungsional., yang dipimpin angkatan bersenjata. Tujuannya adalah untuk melengkapi klaim angkatan bersenjata akan peran politik.
Sesuai namanya, Golkar memiliki akar dalam perjuangan diakhir 1950an yang memberikan kesempatan kepada partai politik untuk muncul menurut karakteristik fungsional dari akar rumputnya. Kader-kader Golkar berada di dalam kemiliteran dan birokrasi pemerintahan. Dengan kemenangan mutlak Golkar di tahun 1971, Suharto mulai menguasai kabinet. Golkar menyediakan sumber daya manusianya, baik dengan manipulasi langsung maupun tak langsung, yang didukung ple PNI dan NU, bekas sekutu Sukarno.
Orang mungkin akan bertanya bagaimana Suharto mengatur keotoriteran dan nasionalisme konservatif nya dengan dasar pemikiran yang sama dengan para anggota BPKI dan PPKI 1945, termasuk Sukarno. Jawaban nya sederhana : (1) Dengan melaksanakan aturan-aturan teknis kenegaraan dari pendahulunya Sukarno yang telah dilaksanakan pada masa darurat (1957-63), (2). Dengan memfokuskan tujuan nasional pada masalah administrasi internal (3). Dengan secara sistematis menggunakan pendekatan Sukarno dalam indoktrinisasi ideologi terhadap orang-orang yang terlibat dalam kekuasaan negara. Apa saja argument yang digunakan untuk melegitimasi pendekatan ini ? Ada dua dalam hal ini :
Yang pertama, Suharto dan pendukungnya menekankan kepentingan negara, termasuk badan-badan representatifnya, sebagai alat utama dalam perjuangan nasional untuk kemerdekaan. Dengan cara ini rejim Suharto dapat berdiri, sebagaimana pula pendapat dari mayoritas anggota BPKI dan PPKI tahun 1945. Lalu, UUD 1945 memberikan kekuatan eksekutif Presiden dan Legislator, dalam menghadapi perang kemerdekaan yang akan terjadi (Bab III UUD, Pasal 3 bagian 1 dan seterusnya, dan termasuk Pasal 15). Bagaimanapun, dalam UUD 1945, posisi ini tetap menjadi kedaulatan rakyat, dan baris pertama yang tertulis pada pasal 1, ayat ke 2, dan Pasal ke 2 ayat ke 3 UUD 1945.
Pasal 1 ,ayat 2 menyatakan bahwa ‘kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat’ .
Pada Pasal 2 , ayat ke 3, dikatakan bahwa ‘MPR dapat mengubah dan menetapkan Undang-undang berdasarkan kebujakan nasional’. Jadi, MPR adalah ‘hati dan pikiran’ Rakyat Republik Indonesia. Dalam badan negara ini, seseorang dapat menggunakan kedaulatannya secara penuh. Presiden dan Kabinetnya, adalah alat dari Kongres. Selebaran Kementerian Penerangan tahun 1959, diterbitkan pada bulan September yang menjelaskan sbb :
Adalah Majelis yang memiliki kekuasaan tertinggi Negara, dimana Presiden wajib melaksakan kebijakan Negara menurut garis tatalaksana yang telah ditetapakan oleh Majelis. Presiden, yang di pilih oleh Majelis, adalah bawahan dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah mandataris Majelis, dan berkewajiban melaksanakan keputusan Majelis...
Bagaimanapun juga, dalam kondisi tertentu, Presiden dapat bertindak sendiri. Ia diberikan kekuatan legistatif dan eksekutif. Adalah Sukarno yang mengubah posisi Presiden secara praktis menjadi kepala negara dengan kekuasaan absolut. Perkembangan ini merupakan akibat langsung dari situasi darurat yang diumumkan oleh militer tahun 1957 karena pemberontakan PRRI/permesta dan disetujui oleh Presiden tahun 1957. Pasal 12 dari UUD 1945 memberikan kendali dan organisari kepemimpinan ini kepada undang-undang. Adalah juga BPKI di tahun 1945 yang mengalami kebuntuan dalam memilih sistem kerajaan dan republik dan presidensial. Beberapa orang anggota pertemuan tersebut berpikir akan Sukarno saat mendiskusikan isu tersebut dan mengusulkan ide presiden seumur hidup.
Walaupun undang-undang darurat dicabut pada tahun 1963, undang-undang yang memberikan Presiden kekuasan tanpa batas tidak dicabut. Sukarno tidak mengambil langkah –langkah untuk mengembalikan kendali Presidensial dalam hal politik dan ekonomi ke arah yang semestinya. Adalah undang-undang hukum darurat, yang ditambah dengan undang-undang darurat tahun 1965, yang merupakan dasar bagi kekuatan hukum Presidensial. Masalahnya jelas, UUD 1945 , sepertai yang dikhawatirkan oleh Hatta, tidak memberikan alat perlindungan negara terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden. Hal ini membuat budaya nasional Indonesia menuju sebuah ideologi yang mengesahkan kepimimpinan absolut (kerajaan) sebagai perwujudan kedaulatan negara. Adalah Sukarno, seorang nasionalis , yang telah mengajarkan kepada Dewan Konstituante 1945 tentang hubungan nasionalisme dan kemanusiaan, yang telah membuka jalan bagi perkembangan ini. Dan kelihatan nya hal ini sebagai nasib tragis dari seorang pemimpin besar yang menyalahgunakan idealisme yang mereka perjuangkan saat mereka tidak lagi berkuasa.
Kesimpulan
Siapapun yang mengamati nasionalisme progresif pasca-perang sebagai sebuah strategi pembangunan nasional akan sampai kepada kesimpulan bahwa ditahun 1945, pada awal perjuangan kemerdekaan, sebuah percobaan heroik telah dilakukan untuk mengadaptasi beberapa elemen lokal kepemimpinan dan budaya Indonesia dalam kondisi ......
0 komentar:
Posting Komentar