Teori Interaksinalisme Simbolik

Sabtu, 27 Desember 2008

Oleh PolitikNews


Upaya menciptakan pembinaan bangsa dalam kehidupan bermasyarakat dengan cara integrasi terus dicarikan solusi antara kelompok etnis Madura dengan kelompok etnis setempat, pada akhirnya menimbulkan teori besar dalam memandang keteraturan atau keharmonisan masyarakat yaitu “teori interaksionalisme simbolik.”

Teori interaksionalisme simbolik sebagaimana dikemukakan oleh Veeger (1993:36) adalah menggambarkan masyarakat bukanlah dengan memakai konsep-konsep seperti system, struktur social, posisi status, peranan social, pelapisan social, struktur institusional, pola budaya, norma-norma dan nilai-nilai social, melainkan dengan memakai istilah “aksi”.

Berdasarkan uraian tersebut, masyarakat, organisasi atau kelompok terdiri dari orang-orang yang menghadapi keragaman situasi dan masalah yang berbeda-beda. Situasi-situasi itu minta perhatian untuk ditangani, masalahnya harus dipecahkan, suatu siasat bersama harus disusun. Maka muncullah suatu gambaran masyarakat yang dinamis, bercorak serta berubah secara pluralistis. Orang saling berhubungan satu sama lain dan saling menyesuaikan kelakuan mereka secara timbal balik. Mereka tidak bertindak dengan berpedoman pada suatu kebudayaan, struktur social yang khusus dan sebagainya, melainkan dengan mengahadapi situasi-situasi.

Blumer (1969:88) mengemukakan ciri-ciri structural seperti kebudayaan, pelampisan social atau peran social menyediakan kondisi-kondisi tindakan mereka, tetapi tidak menentkannya. Berdasarkan pernyataan Blumer di atas, dapat diilustrasikan bahwa Blumer maupun sosiolog-sosiolog lain dari aliran interaksionalisme simbolik tidak terlalu mementingkan struktur-struktur, antara lain struktur kekuasaan di dalam masyarakat, yang pada hemat penulis berpengaruh atas kelakuan anggotanya, hampir tidak disoroti, sehingga gambaran masyarakat menjadi agak voluntaristis dan subyektivistis. Mengingat pengremehan struktur-struktur itu, memberikan pertanyaan kepada penulis apa yang sebenarnya mempersatukan masyarakat.

Menurut aliran fungsionalisme structural, penyebab terjadinya persatuan atau terintegralnya masyarakat dalam suatu lingkungan disebabkan adanya consensus bersama yaitu kesesuaian faham tentang nilai-nilai dan bentuk-bentuk tertentu, yang telah dibatinkan dan diungkapkan dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan, merupakan pengikat masyarakat. Blumer yang menentang aliran fungsionalisme structural, mengemukakan bahwa aliran interaksionalisme simbolik bertitik tolak dari self image para peserta, bahwa apa yang diinginkan dan diharapkan mereka tidak sama.

Pada permulaan banyak situasi interaksi perbedaan visi dan pendapat yang menyolok. Banyak pandangan yang berlain-lainan bertabrakan. Tiap-tiap peserta individual akan berusaha untuk memenangkan pandangannya dan memaksakan definisi-definisinya sendiri kepada pihak-pihak lain jadi bukanlah consensus yang ditonjolkan. Pada peserta akan tarik-menarik dan tawar-menawar, sebelum pada akhirnya suatu working consensus semacam kompromis dicapai, yang memungkinkan joint actions.

Aliran interaksionalisme simbolik berpendapat bahwa pada umumnya suatu masyarakat akan banyak ditandai oleh “orde” daripada konflik karena orang saling membutuhkan demi pemuasan kebutuhan mereka. Para sosiolog interaksionalisme simbolik menyebut secara khusus “kebutuhan-kebutuhan social” seperti antara lain kebutuhan agar self image seseorang senantiasa perlu diteguhkan oleh orang lain melalui proses interaksi, supaya bertahan. Orang bergantung satu sama lain, hal mana menjadi nyata dalam proses-proses interaksi. Jadi kebutuhan dan ketergantungan menurut aliran interaksionalisme simbolik merupakan perekat masyarakat.

Penciptaan proses integrasi masyarakat atau kohesi akan dapat berjalan dengan lancer menurut aliran interaksionalisme simbolik sebagaimana diungkapkan Mead sebagaimana dikutif Veeger (1993:229) harus memiliki syarat utama, yaitu dimilikinya sejumlah symbol-simbol yang dibagi bersama oleh semua peserta dalam interaksi. Orang harus berpegang pada suatu perspektif bersama yang menghasilkan bahwa para peserta memperoleh pandangan kurang lebih sama mengenai situasi dan peran kebersatuan cultural, supaya proses-proses social dapat berjalan.

Teori interaksi simbolik merupakan penolakan terhadap teori fungsionalisme, sebagaimana dikembangkan oleh Tallcot Parsons mengenai pola hubungan social dalam suatu lingkungan masyarakat pada dasarnya menekankan keteraturan social serta keseimbangan (equilibrium), dalam analisisnya masih terdapat kekurangan, yaitu hanya memandang penyebab terjadinya perubahan dan ketidakseimbangan dalam masyarakat itu sendiri. Selain itu, menurut teori fungsionalisme, bahwa fonflik harus dihindarkan, ini berarti pandangan fungsionalisme sebagaimana dikemukakan Fakih (2001:52), mengabaikan dan melanggengkan nasib mereka yang ditindas, dieksploitasi maupun didiskriminasi dalam masyarakat; dengan kata lain, adanya potensi konflik untuk mengubah masyarakat menuju masyarakat tanpa eksploitasi kelas, penindasan gender ataupun diskriminasi ras menjadi tertutup.

Teori structural fungsional juga tidak memformulasikan suatu teori umum yang mencakup static dan dinamik, tetapi sebaliknya mencoba membentuk teori sebagian atau partial theory yang meliputi unsur-unsur yang diabaikan oleh pendekatan structural fungsionalisme melihat masyarakat atau satuan-satuannya itu sebagai system atau jaringan relasi-relasi yang terintegratif, serta menggunakan istilah system social bagi masyarakan dan satuan-satuannya, melainkan menggunakan himpunan individu-individu yang digabungkan oleh pihak yang berwenang. Dengan kata lain, masyarakat dipandang sebagai himpunan para individu yang secara paksa ditempatkan ke dalam suatu orde, sedangkan konflik adalah situasi yang menyangkut hal tentang terbaginya status atau kedudukan-kedudukan social.


0 komentar: